Pemerataan Pendidikan Harus Jadi Fokus Perbaikan Pemerintah
JAKARTA, KOMPAS – Pemerataan layanan dan fasilitas di tingkat sekolah harus jadi fokus pemerintah guna mewujudkan kesetaraan pendidikan. Tanpa pemerataan, tujuan sistem zonasi, menghapus “kastanisasi” pendidikan, sulit terwujud.
Pemerhati Pendidikan Doni Koesoema berpendapat, sistem zonasi sudah tepat dilakukan sebagai langkah awal untuk memperkecil disparitas akses pendidikan di Indonesia. Namun, pemerintah harus memastikan layanan pendidikan berkualitas sudah setara di semua sekolah negeri, baik di kota besar, pedesaan, maupun daerah pinggiran.
“Konsep kastanisasi sekolah atau sekolah favorit adalah persepsi masyarakat. Pemerintah akan sulit mengintervensi persepsi bila layanan pendidikan berkualitas tidak dipenuhi di semua sekolah negeri,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (2/7/2018).
Di DKI Jakarta, misalnya, masih ditemukan orangtua calon peserta didik memilih sekolah yang dianggapnya favorit meskipun di luar zonasi tempatnya tinggalnya. Azhar Firdaus (45), warga Pondok Labu, Jakarta Selatan, mendaftarkan anaknya di tahap kedua jalur umum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta. Dengan nilai rata-rata ujian nasional 9,25, ia percaya anaknya bisa diterima pada jalur umum meski kuota yang ditawarkan jauh lebih kecil dibandingkan jalur lokal.
“Saya pilih SMA negeri dengan kualitas baik yang jauh dari rumah, daripada dekat rumah tetapi kualitasnya kurang. Memilih SMA harus selektif karena berpengaruh pada penerimaan anak saya di perguruan tinggi nanti,” katanya.
Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 638 tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2018/2019, disebutkan kuota yang disediakan untuk PPDB tahap pertama jalur lokal minimal 55 persen dari daya tampung, tahap kedua jalur umum (35 persen), jalur prestasi (5 persen), dan jalur afirmasi (5 persen).
Akan tetapi, menurut Doni, pemerintah masih belum fokus dalam upaya menyetarakan layanan pendidikan. Kesetaraan itu mencakup sarana dan prasanana, pendidik dan tenaga pendidikan, serta kualitas pengajaran dan pembelajaran yang ditawarkan di sekolah. Diharapkan, selain akses pendidikan, tugas pemerintah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan juga dapat dirasakan masyarakat.
Ditemui terpisah, Kepala Sekolah SMAN 8 Jakarta Agusman Anwar menyatakan, melalui sistem zonasi, profil siswa yang masuk ke sekolahnya relatif lebih heterogen. Selain tingkat kecerdasan, latar belakang keluarga dan tingkatan ekonomi juga lebih beragam. Namun, kondisi tersebut dinilai tidak memengaruhi kualitas anak didik di sekolahnya.
“Justru, itu menjadi tugas sekolah untuk bisa memberikan layanan yang baik dan berkualitas dalam proses belajar sehingga siswa bisa memiliki kualitas yang sama-sama unggul saat lulus SMA,” katanya.
Pengaduan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPII) Ubaid Matraji mengatakan, sejumlah kasus terkait PPDB 2018 sudah dilaporkan ke posko pengaduan JPPI. Salah satunya, kebingungan orang tua dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang tidak terdaftar.
Jika masalah akses yang sulit atau server down mungkin bisa dilakukan dengan menunggu waktu sela, masalah NIK yang tertolak ini cukup membuat panik orang tua. Pasalnya mereka yang merasa tidak ada masalah dengan zonasi dan kuota, justru terganjal dengan NIK yang tidak bisa dimasukkan dalam sistem. Ini hampir terjadi merata di seluruh daerah.
Selain itu, Ubaid mengatakan, ada juga laporan soal manipulasi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Kasus ini sudah terjadi pada tahun lalu dan masih menjadi masalah tahun ini.
“SKTM masih diperbolehkan jadi syarat siswa masuk kuota miskin. Padahal, SKTM ini sangat rawan dimanipulasi karena dapat dibuat dengan mudah. Harusnya, bisa menunjukkan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), atau Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)," jelas Ubaid.
Ubaid mengatakan, di beberapa daerah terlihat antusiasme masyarakat yang mendaftar dengan mengisi bangku kuota 20 persen bagi anak miskin bermodal SKTM. Di daerah lain, yang melarang SKTM, tapi mengharuskan menggunakan KIP atau PKH, justru sepi peminat. Hal itu terjadi di Kalimantan Timur.
"Di posko pengaduan juga ada laporan soal pungutan liar alias pungli dan jual beli kursi.Pungli dan jual beli kursi dapat dilakukan selama proses berlangsung sebelum pengumuman dan masuk sekolah. Bisa dilakukan sebelum mendaftar, saat pendaftaran awal, dan saat proses daftar ulang,” kata Ubaid.
Ia mencontohkan, pungli di salah satu SDN di Gresik. Pungli dilakukan dengan alasan bantuan perbaikan fasilitas sekolah. Di daerah lain, ada juga pungli bermotif biaya lembar kerja siswa, seragam, hingga buku. Padahal pungutan seperti ini sudah jelas dilarang dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang larangan sekolah menyediakan atau menjual peralatan sekolah, baik itu seragam, buku.
Laporan lainnya, ujar Ubaid, soal tes membaca, menulis, dan menghitung (calistung) dan psikotes di madrasah setingkat SD. Kebijakan ini banyak dikeluhkan oleh orang tua, karena tidak mendorong akses, tapi membebani anak kali pertama bersekolah dengan berbagai tes yang membingungkan.
"Tahun lalu sudah banyak diprotes, tapi tahun ini dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No 481 Tahun 2018 tentang PPDB, aturan ini masih dilegalkan," ujar Ubaid.
Persoalan lainnya yakni tidak ada kuota afirmasi untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Padahal, tidak semua anak berkebutuhan khusus dapat mengakses Sekolah Luar Biasa yang terbatas jumlahnya dan jauh dari rumah tinggal. Keluarga yang memiliki ABK menyesalkan Permendikbud No.14 Tahun 2018 tentang PPDB tidak memberikan kuota afirmasi bagi kelompok difabel. Dalam konteks ini, aturan madrasah di bawah Kemenag lebih ramah terhadap difabel. Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 481 Tahun 2018 memberikan kuota minimal 10 persen bagi ABK.
Sementara itu, di Bandung, Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Barat Haneda Sri Lastoto mewaspadai adanya pelanggaran penyelenggaraan penerimaan siswa baru. Hal itu dipicu infrastruktur di setiap sekolah yang belum merata.
Haneda menilai, ketimpangan ini membuat praktik malaadministrasi masih dikhawatirkan terjadi. Sosialisasi, tutur Haneda, masih menjadi masalah dalam penerapan sistem ini. Tidak semua masyarakat paham sehingga masih berupaya memasukkan anaknya di sekolah yang diinginkan.
“Terkadang, potensi pelanggaran berasal dari masyarakat itu sendiri. Mereka masih berambisi menyekolahkan anaknya di tempat yang mereka anggap favorit. Jadi, oknum-oknum pasti mencari jalan bagi para orangtua, sehingga mereka mendapatkan keuntungan pribadi,” tuturnya.
Koordinator Pengawasan PPDB Jawa Barat ORI, Noer Adhe Purnama, menuturkan, meskipun sistem zonasi dianggap bisa mengurangi potensi pelanggaran, pihaknya tetap melakukan pengawasan di daerah untuk memastikan penerapan sistem sesuai dengan aturan. Ia berujar, dalam minggu ini ORI akan memantau lima daerah tingkat kota/kabupaten.
Menurut Noer, maladministrasi dikhawatirkan masih terjadi karena fasilitas pendidikan yang belum merata di semua daerah. Tidak hanya infrastruktur, kualitas pendidikan yang tidak merata membuat masyarakat berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya di tempat lain.