JAKARTA, KOMPAS — Delapan mahasiwa London School of Public Relation Jakarta tampil dalam pementasan monolog di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (29/6/2018). Setiap mahasiswa membawakan naskah yang ditulisnya sendiri. Pementasan ini sekaligus menjadi bukti bahwa mengarang itu mudah.
Sebelum pementasan monolog, sastrawan Arswendo Atmowiloto, yang juga dosen dari kedelapanan mahasiswa dari program studi art perfoming communication itu memberikan lokakarya bertajuk “Mengarang itu Gampang”. Tema dari lokakarya tersebut merupakan refleksi dari buku dengan tajuk serupa yang pernah ditulisnya pada 45 tahun yang lalu.
Menurutnya, mengarang merupakan hal yang mudah. Banyak orang berpikir, menulis itu butuh persiapan dan bakat tertentu. “Yang paling penting itu memulainya dulu. Kalau kebanyakan mikir malah enggak nulis-nulis,” ujarnya.
Arswendo mengungkapkan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menulis, yakni tokoh, lokasi, dan konflik. Jika ketiga unsur tersebut ada, karya tulis pun bisa dihasilkan dengan mudah.
Selain itu, menurutnya, penulis juga perlu memiliki empat hal dasar. “Pertama: kreativitas, kedua: need for achievement, ketiga: berkumpul dengan para penulis untuk sharing, dan keempat: profesional,” katanya.
Kreativitas yang ia maksud bisa dimulai dengan menulis sesuatu yang baru ataupun menulis hal yang lama tetapi diperbarui. Penulis tidak perlu khawatir dengan tanggapan orang lain yang membaca tulisannya karena setiap penulis pasti punya pembacanya tersendiri. Untuk aspek need for achievement atau kebutuhan untuk berprestasi disampaikan Arswendo sebagai langkah agar terus mengembangkan kemampuannya dalam menulis.
Sementara, berkumpul dengan penulis lain perlu dilakukan untuk saling berbagi pengalaman sekaligus mencari ide baru yang lebih menarik. “Profesional itu berarti tidak pantang menyerah dan setiap pada penulisan. Setia pada penulisan inilah yang menjadi kesulitan saat ini,” ujarnya.
Sejumlah buku yang ditulis Arswendo antara lain, “Keluarga Cemara”, “Menghitung Hari”, “Sudesi: Sukses dengan Satu Istri”, “Imung”, serta “Projo dan Brojo”.
Di tengah banjirnya media penulisan saat ini, Arwendo menyebutkan, generasi muda seharusnya lebih mudah untuk menulis karangan. Banyak wadah yang bisa menampung karya-karya yang dihasilkan. Meski begitu, jangan sampai media yang ada saat ini justru dijadikan tempat untuk menampilkan tulisan yang sifatnya berita bohong. “Hoaks itu bukan karangan. Sudah beda niatnya, bukan suatu seni yang bisa diapresiasi,” ucapnya.
Novita Kim (20), salah satu mahasiwa London School of Public Relation (LSPR) Jakarta yang turut tampil dalam pementasan itu menilai, ketika sering menulis maka akan lebih banyak ide yang bisa dituangkan dalam bentuk tulisan. Ia hanya perlu lebih peka untuk menangkap ide-ide yang sebenarnya terjadi dan ada di sekitarnya.
Sementara, bagi Agatha Valerie (19), yang juga mahasiswa LSPR Jakarta, kesulitan yang ia hadapi ketika menulis adalah dalam memilih kata-kata yang hendak digunakan. “Terkadang saya merasa saat menulis kata-katanya masih monoton. Untuk itu, perlu banyak membaca dan mendengarkan pembelajaran dari penulis-penulis lain yang lebih berpengalaman,” katanya.
Delapan monolog yang dipentaskan malam kemarin, yaitu “Jam di Atas Kepala” karya Adran Fajrin Putri, “Emma” karya Ivanka Nabila, “Harga Diri” karya Novita Kim, “Nadhira” karya Bartolomeus Ksatria Putra, “Aku” karya Siti Annissha, “Aku dan Santorini” karya Belabra Ripita Aryandalsa, “Aku Bisa Apa?” karya Nadhira Afiyana Putri Nasution, dan “Penjaga Lift” karya Tamara Zahra Uliniansyah.