Tahun 2016 lalu, Pemerintah Desa Tesi Ayofanu, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur mengeluarkan Peraturan Desa yang melarang warganya menjadi pekerja migran. Peraturan tersebut lahir, menyusul banyaknya pekerja migran asal provinsi tersebut yang pulang ke kampung halaman tanpa nyawa.
Sebagian besar pekerja migran yang dipulangkan tanpa nyawa adalah perempuan. Mereka berasal dari sejumlah daerah pelosok di NTT, termasuk dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Karena itulah dengan perdes tersebut diharapkan akan melindungi perempuan-perempuan di bawah umur, agar tidak menjadi korban perdagangan manusia.
"Banyak yang berangkat sehat, tapi kembali sudah jadi mayat. Kami tidak ingin itu terjadi terus," ujar Kepala Desa Tesi Ayofanu, David Tamonob, Selasa (5/6/2018).
Seingat David dan aparat pemerintah desa lainnya, beberapa tahun lalu ada dua warga desa yang menjadi pekerja migran di luar negeri yang dipulangkan dalam kondisi meninggal.
Sejak saya menjadi Kepala Desa, tahun 2016, saya tidak pernah memberikan surat jalan kepada warga saya yang akan bekerja di luar negeri," kata David.
Meskipun ada pihak yang menilai langkah pemerintah desa sangat keras, David yang didampingi Sekretaris Desa Kirenius Ottu menegaskan, semua itu dilakukan demi melindungi warganya agar tidak menjadi korban ketika bekerja di luar negeri. Perdes tersebut, juga dikeluarkan karena melihat banyaknya warga dari Provinsi NTT dalam beberapa tahun terakhir, hampir setiap bulan ada pekerja migran dipulangkan dalam peti jenazah.
Pemberdayaan ekonomi
Tak ingin tragedi tersebut terus berlanjut, di sejumlah desa pemerintah dan masyarakat berupaya mencari cara, agar bisa menahan warganya keluar negeri. Selain regulasi, sejak beberapa tahun terakhir juga gencar dilakukan upaya pemberdayaan perempuan melalui ekonomi melalui Koperasi Serba Usaha (KSU) Wanita Kasih, yang berfokus pada peternakan.
Difasilitasi oleh Yayasan Plan International Indonesia, sejak tahun 2015 lalu, sejumlah ibu dan perempuan muda di desa tersebut mendapat pinjaman modal untuk beternak sapi, babi, kambing, dan ayam.
Dana pinjaman tersebut dikelola KSU Wanita Kasih. Anggota koperasi yang telah diseleksi diberikan pinjaman modal Rp 6 juta untuk membeli sapi. Sebelum mendapat modal mereka mendapat pelatihan tentang cara beternak sapi yang baik, mulai dari cara pemberian makanan hingga memelihara kebersihan kandang.
Sebenarnya penduduk di desa ini sejak dulu sudah beternak sapi, babi, kambing, dan ayam, tetapi cara beternaknya masih tradisional, sehingga ternak yang dipelihara tidak bisa dijual dengan cepat. Akan tetapi, semenjak ada pendampingan dari Tim Yayasan Plan International Indonesia- dalam bentuk pemberdayaan ekonomi bagi kaum muda laki-laki dan perempuan di Soe, Kabupaten TTS melalui dukungan yang berkelanjutan pada sektor Peternakan (proyek SCILD), kondisi di desa tersebut berubah.
Perempuan-perempuan di desa tersebut mendapat pendampingin terutama mendapat pengetahuan tambahan mengenai cara beternak yang cepat menghasilkan, termasuk belajar inseminasi buatan (IB) untuk sapi.
"Biasanya ternak baru dijual setelah dua sampai tiga tahun, sekarang satu tahun sudah bisa dijual," kata Ketua KSU Wanita Kasih, Adriana Nomleni (49) yang didampingi Salomi Tabun, Spesialist Livestock SCILD Project, Plan International Indonesia PIA Timor.
Adriana mengungkapkan, pihak koperasi menyalurkan modal Rp 6 juta per orang untuk membeli seekor anak sapi. Proses pembelian sapi yang akan dipelihara ibu-ibu dan perempuan dibantu oleh kepala desa dan para laki-laki di desa tersebut. Sapi biasanya dibeli di pasar hewan di desa lain.
Dalam setahun sapi yang dipelihara sudah bisa dijual dengan harga Rp 8,5 juta. Keuntungan dari beternak tersebut, sebanyak 20 persen diberikan kepada KSU Wanita Kasih, sisanya kemudian dibelikan ternak lagi untuk dipelihara selama setahun.
Seperti yang dilakukan Domi Tamonob (19). Tahun lalu, saat duduk di kelas III sekolah menengah atas, perempuan muda asal Desa Tesi Ayofanu tersebut bergabung dengan KSU Wanita Kasih dan mendapat modal Rp 6 juta untuk membeli seekor sapi. Awal 2018 lalu, sapi itu bisa dijual dengan harga Rp 8,5 juta. "Keuntungannya saya belikan dua ekor babi. Nanti saya pelihara, uangnya untuk biaya kuliah tahun depan," ujar Domi yang bercita-cita menjadi guru.
Anace Domleni (25) juga ikut dalam koperasi tersebut. Setahun lalu dia mendapat modal dan memelihara seekor sapi.
Keuntungannya dibelikan lagi sapi dan babi, sehingga bisa dijual dan mendapat penghasilan.
Domi dan Anace adalah salah satu dari 250 perempuan anggota KSU Wanita Kasih yang hingga kini mendapat pendampingan cara beternak yang cepat, sehingga dalam satu tahun bisa dijual dan menghasilkan uang.
Menurut Adriana sebenarnya, KSU Wanita Kasih sudah ada dirintis sejak tahun 2005. Anggotanya awalnya masih sekitar 70 orang, namun sejak tahun 2011 anggota koperasi bertambah hingga saat ini mencapai 250 orang, tidak hanya dari Desa Tesi Ayofanu tapi juga dari empat desa lain yakni Desa Belle, Nekmese, Fatuulan, dan Napi. Sebanyak 200 anggotanya adalah perempuan. Setiap anggota memberikan uang simpanan pokok Rp 100.000 dan simpanan wajib Rp 5.000.
Dengan beternak dan mendapat jaminan akan kepastian hasilnya, para perempuan di desa tersebut tidak lagi tergiur untuk keluar dari desanya.
Pemberdayaan ekonomi, setidaknya menjadi salah satu cara bagi pemerintah dan masyarakat di Tesi Ayofanu dan sekitarnya untuk melindungi perempuan dan memberdayakan perempuan. Dengan begitu, mereka menjadi mandiri dan tidak tergiur untuk berangkat menjadi pekerja migran di luar negeri.