Uang Sekolah Tak Naik Saja Sudah Berat
Sejak Januari 2017, SMA/SMK negeri dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sebelumnya, sekolah menengah atas (SMA dan sekolah menengah kejuruan (SMK) di bawah naungan pemerintah kabupaten/kota. Maka, ada dua kota yang telah membebaskan biaya pendidikan dari SD hingga SMA/SMK, yakni Kota Surabaya dan Kota Blitar.
Keputusan pemerintah itu sempat digugat Surabaya dan Blitar melalui gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Empat wali murid di Surabaya ke Mahkamah Konstitusi karena tidak sepakat atas adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah kota kepada pemerintah provinsi terkait pendidikan karena selama dikelola pemkot biaya pendidikan gratis.
Gugatan itu kandas, dan sejak Januari 2017, SMA dan SMK negeri dikelola pemprov. Sejak saat itu, siswa SMA/SMK negeri di Jatim tak lagi menikmati sekolah gratis karena Gubernur Soekarwo menerbitkan surat edaran terkait sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Berdasarkan surat edaran Gubernur Jatim Nomor 120/71/101/2017 tentang SPP, besaran SPP SMA dan SMK 2017 tidak sama setiap daerah, tapi disesuaikan dengan kemampuan indeks daerah.
Terbitnya surat edaran tersebut, ada sekolah yang semula SPP tinggi justru turun drastis. Untuk itu perlu penyesuaian dengan kondisi sekarang sehingga kemungkinan nominal SPP SMA/SMK negeri naik mulai tahun ajaran baru.
Sejak dikelola pemprov, ada tiga kategori SPP, yakni SMA, SMK teknik, dan SMK nonteknik. Biaya SPP termurah SMA di Pacitan, Bondowoso, Pamekasan, dan Sampang Rp 60.000, sedangkan standar SPP termahal Rp 215.000 per bulan (SMK teknik). Siswa Kota Surabaya SPP Rp 135.000 per bulan.
Menurut rencana, tahun ajaran baru 2018 ini yang dimulai pada Juli mendatang, SPP SMA/SMK akan naik karena menyesuaikan kondisi sekarang. Hampir semua sekolah mengeluhkan terbatasnya biaya operasional sehingga SPP harus naik.
Rencana kenaikan SPP, SMA/SMK negeri di Jatim karena banyak sekolah yang mengajukan dibenarkan Kepala Dinas Pendidikan Jatim Saiful Rahman.
Menyikapi kebijakan itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini semakin kesulitan memenuhi permohonan bantuan pendidikan dari siswa SMA/SMK negeri dan swasta. Hampir setiap hari tak kurang 10 permohonan bantuan biaya sekolah, uang transpor, dan uang praktikum, termasuk SPP, masuk ke meja Risma.
”Belum naik saja sudah banyak yang mengeluh tak mampu membayar, lha tahun ajaran baru mau dinaikkan, kemungkinan semakin banyak yang putus sekolah,” kata Risma.
Selama ini bantuan pendidikan untuk siswa SMA/SMK baik negeri maupun swasta disalurkan lewat dinas sosial. Paling tidak ribuan siswa sudah dibantu Pemkot Surabaya untuk melunasi SPP, bayar uang ujian, serta biaya lain untuk menunjang pendidikan.
Beberapa perusahaan juga ikut membantu meringankan beban siswa, dan untuk menekan jumlah siswa putus sekolah. Perusahaan peduli terhadap generasi muda dengan memberikan bantuan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Seperti diungkap Welly Hariyanto, pemilik warung kopi yang sudah mendengar informasi rencana kenaikan SPP SMA/SMK di Jatim, ayah empat anak ini semakin kebingungan karena tahun ini dua anaknya akan duduk di bangku SMA. ”Pusing juga kalau SPP anak akan naik. Untuk biaya hidup sehari-hari saja sudah pas-pasan,” kata Welly.
Hal senada juga dialami Djumain (48) yang sehari-hari sebagai kuli batu dan memiliki anak tak sekolah. Seharusnya, putranya bersekolah di jenjang SMA/SMK, tetapi karena tidak ada biaya, keputusan berhenti mengenyam bangku pendidikan pun harus diambil.
Dengan penghasilan Rp 2 juta per bulan, Djumain harus menghidupi istri dan keempat anaknya. ”Sedih ketika anak saya tidak bisa bersekolah, tetapi mau gimana lagi,” katanya dengan nada pasrah.
Wacana kenaikan SPP untuk SMA/SMK dengan alasan banyak sekolah merasa tidak mampu menjalankan operasional sekolah. SPP sesuai surat edaran Gubernur Jatim 2017, nominal SPP terlalu rendah. Dengan demikian, sekolah mau tidak mau harus mencari sumber dana operasional lain, yang dipungut dari siswa.
Menurut Biyanto, anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur, surat edaran Gubernur Jawa Timur itu sejatinya sudah melalui proses kajian. Namun, dia tidak menampik bahwa faktanya, di lapangan banyak sekolah yang memutuskan menempuh rencana kenaikan SPP untuk menutup biaya operasional sekolah.
Tujuannya mencari tahu kira-kira kurangnya itu di mana.
Biyanto menyatakan, opsi tersebut harusnya ditempuh dengan mekanisme audit dan diskusi bersama dengan komite sekolah. ”Tujuannya mencari tahu kira-kira kurangnya itu di mana,” katanya.
Sementara Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi berpendapat, penyelenggaraan pendidikan seharusnya tidak terlalu membebani masyarakat. Dengan kenaikan SPP, tentu akan berdampak pada menurunnya potensi pendidikan. ”Kalau biaya dituntut meningkat, sementara daya beli masyarakat tetap, kan tentu menimbulkan potensi berhenti bersekolah,” katanya.
Martadi mendukung adanya audit yang melibatkan berbagai unsur, mulai dari komite sekolah, universitas, dan pemangku kepentingan lainnya. Audit perlu agar jangan sampai kenaikan SPP itu didasari pada perasaan kurangnya biaya operasional saja.
”Sebab selama ini kan sekolah sudah mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS) dari pusat dan dari APBD Jawa Timur. Seharusnya itu dirincikan dulu, baru bicara masalah kekurangannya di bidang apa,” ujarnya.
Sementara itu, banyaknya keluhan dari siswa putus sekolah yang masuk ke Pemkot Surabaya mengundang keprihatinan Risma. Dia mengungkapkan, banyak organisasi perangkat daerah (OPD), seperti dinas pendidikan, dinas pengendalian penduduk, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dinas sosial dan bagian kesejahteraan rakyat yang mendapatkan keluhan dari masyarakat.
Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini menjelaskan banyaknya siswa SMA/SMK yang harus menghabiskan waktu berjualan nasi goreng hingga ojek daring di sela-sela aktivitas belajar-mengajar. Para siswa tersebut lantas didata dan dipantau hingga ke rumah masing-masing. Hasilnya, para siswa itu berpotensi putus sekolah.
Masa hanya yang mampu saja yang bisa bersekolah. Kalau begini kan sama saja saat era penjajahan dulu
Menurut Risma, hal tersebut bertentangan dengan semangat kemerdekaan, di mana seharusnya seluruh lapisan masyarakat berhak mengenyam pendidikan minimal wajib belajar 12 tahun. ”Masa hanya yang mampu saja yang bisa bersekolah. Kalau begini kan sama saja saat era penjajahan dulu,” katanya.
Oleh karena itu, Pemkot Surabaya tidak tinggal diam. Selama ini, para pelajar yang putus sekolah atau kedapatan berada di tempat-tempat yang tidak semestinya didata dan didampingi.
Pemkot memberikan intervensi bagi keluarga mereka, seperti jaminan kesehatan (BPJS) dan penyaluran di bursa kerja. Hanya upaya tersebut tetap tidak bisa terlalu banyak berpengaruh terhadap sektor pendidikan karena terhalang aturan.
Jika Pemprov Jatim tak mampu membiayai pendidikan warganya, ada baiknya pengelolaan dikembalikan saja kepada kabupaten/atau kota yang selama ini mampu menggratiskan biaya sekolah anak. Cara ini sebagai benteng untuk menekan angka anak putus sekolah karena ketiadaan biaya.