Para budayawan dan pakar berbagai bidang membahas visi kebangsaan di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (25/5/2018).
MAKASSAR, KOMPAS —Berbagai kearifan lokal di Indonesia kian tereliminasi dan pada tahap tertentu terasasinasi di tengah perkembangan zaman dan persoalan. Konsep kenegaraan dan kebangsaan yang dibangun para pendahulu juga banyak dikhianati.
Karena itu menyusun dan memikirkan ulang tentang kebangsaan di antaranya dengan menggali kekayaan dan kearifan lokal, diharapkan dapat menjadi solusi.
Pandangan ini mendasari bertemunya sejumlah pakar, akademisi, dan budayawan di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis-Jumat (24-25/5/2018). Mereka menyusun sejumlah poin yang akan dibawa dalam Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia di Jakarta, Agustus mendatang.
Tokoh yang hadir mewakili seluruh provinsi di Kawasan Timur di antaranya Dr Hasbollah Toisuta (Maluku) Prof Dr La Niampe (Sultra), Kamajaya Al Khatuuk (Sulut), serta Ishak Ngeljaratan, Qasim Mathar (Sulsel). Turut hadir Meutia Hatta, Edi Swasono, dan Radhar Panca Dahana sebagai penggagas gerakan Mufakat Budaya Indonesia.
"Apakah dasar yang telah disusun para pendahulu kita masih relevan di tengah perkembangan yang kian kompleks ini. Jika tak disusun dan dipikirkan ulang, kita akan keok. Sementara bangsa lain menjawab tantangan dengan mengubah diri, kita sejauh ini stagnan," kata Radhar.
Para tokoh merumuskan 15 poin penting terkait nilai-nilai utama kebudayaan bahari Indonesia. Perumusan poin ini mempertimbangkan dan mencari kesamaan dan keragaman kearifan lokal di tengah berbagai persoalan bangsa.
Poin ini di antaranya "kebersesamaan" yang hampir ada di semua budaya lokal Indonesia. Contohnya, kitorang basodara, tat twam asi, pela gandong. Poin berikut adalah keberagaman dalam kesatuan yang terwujud dalam beberapa prinsip primordial misalnya Tan Hana Dharma Wangrwa, Bhinneka Tunggal Ika, Aporomu Yinda Posaangu, Apogaa Yinda Koolata (berkumpul tidak bersatu, berpisah tidak ada antara).
Para budayawan juga merumuskan kata Akseptansi untuk menggantikan kata toleransi. Akseptansi dinilai memiliki nilai lebih tinggi dan tak terbatas dibanding toleransi.
Ini merujuk pada pandangan orang Melayu "yakni semua (apapun, dari manapun) berhak hidup bersama". Kebudayaan Indonesia tidak mengenal sikap chauvinistik dalam kelokalan atau xenophobic dalam menghadapi dunia luar.
Kamajaya Al Khatuuk mengatakan, di Minahasa ada pandangan lokal yakni si tou timou tumou tou. "Ini mengandung makna manusia hidup untuk memanusiakan orang lain. Ini yang mulai hilang pada sebagian orang Indonesia dan pandangan lokal ini mesti dihidupkan kembali," katanya.
Persoalan ketuhanan juga masuk dalam poin ini yakni Ketuhanan yang Berkebudayaan. Qasim Mathar, budayawan asal Makassar menyebut religiusitas di Indonesia sudah seharusnya juga mempertimbangkan kebudayaan. "Ini membuat agama selalu hidup berdampingan dengan kebudayaan. Ini juga penting dalam kehidupan berbangsa saat ini," katanya.
Menurut Radhar Panca Dahana, menggali kearifan lokal sangat penting karena saat ini banyak kearifan lokal yang kian tersisih.
"Dalam tingkatan tertentu kearifan lokal ini seperti terasasinasi dalam kehidupan. Ini yang akan pulihkan dalam bentuk revitalisasi untuk mengoreksi nilai kenegaraan kita. Ada banyak yang mesti kita pulihkan dan lihat kembali termasuk ideologi bangsa apakan masih relevan dengan kondisi saat ini. Pancasila pun akan kita lihat pasal-pasalnya termasuk UUD apakah perlu perbaikan atau masih relevan," katanya.
Poin-poin ini nantinya akan dibawa ke Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia. Tak hanya di Kawasan Timur Indonesia, diskusi dengan melibatkan para tokoh dan budayawan juga digelar di sejumlah wilayah Indonesia. Dalam temu akbar nanti, diharapkan seluruh persoalan bangsa dan kearifan dan budaya lokal terwakili.
"Nanti dari temu akbar akan dimufakatkan apa yang disebut budaya dan bangsa Indonesia. Tak ada bangsa tanpa budaya. Hasil rumusan ini nantinya akan diserahkan kepada Pemerintah sebagai eksekutor yang tentu saja melalui legislatif. Hasilnya, jika disetujui akan melahirkan turunan untuk melahirkan sistem seperti apa yang akan menjadi dasar pembangunan di berbagai sektor," kata Radhar.
Mufakat Budaya Indonesia adalah sebuah forum pertemuan gagasan terbuka bagi para pemikir Indonesia yang berasal dati latar belakang akademik, artistik, religius, tradisi, pemerintahan, dan lainnya yang didirikan pada Juni 2007 di Jakarta. Sejak dibentuk, mufakat Bidaya sudah dua kali menggelar temu akbar yakni pada 2009 dan 2014. (REN)