Tekankan Kemampuan Berpikir Kritis kepada Siswa
JAKARTA, KOMPAS — Dunia pendidikan, baik guru maupun kegiatan siswa atau kemahasiswaan, harus bersih dari paham radikal. Pelajar harus berpikir kritis dan terus membawa narasi perdamaian untuk menangkal setiap paham baru yang menyimpang dari toleransi keberagaman.
Direktur Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid mengatakan, jejaring terorisme mengincar dunia pendidikan karena pelajar masih dalam fase pembentukan identitas diri. Anak-anak yang semula ingin punya gairah belajar ilmu agama, tetapi pada tahapan selanjutnya malah terpapar radikalisme.
”Anak-anak jadi persemaian subur bagi mereka. Gerakan-gerakan ini mencoba untuk membuat jejaring menanamkan bibit-bibit, salah satunya intoleransi,” ujar Yenny, dalam diskusi ”Melawan Teror: dari Kampus Menyebar Damai”, di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rabu (23/5/2018).
Acara itu juga menampilkan Wakil Rektor IV Bidang Perencanaan dan Kerja Sama UNJ Achmad Ridwan, Direktur Regional Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Andhika Chrisna, dan dosen Sosiologi UNJ, Robertus Robert.
Menurut Yenny, dunia pendidikan tidak akan menjadi lahan yang subur bagi persemaian paham radikal jika sejak dini para pelajar diajari berpikir kritis terhadap paham baru yang di luar konteks toleransi. Pelajar harus diberi wadah untuk memperluas perspektif dan terbuka terhadap keberagaman.
Peran guru
Dalam pertemuan pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Jakarta, Rabu, ditegaskan perlunya inklusivitas dalam dunia pendidikan.
”Keberagaman mutlak menjadi bagian dari proses pendidikan,” kata Muhadjir.
Terkait ada guru yang menyebarkan ujaran kebencian di media sosial dan diproses oleh kepolisian, Muhadjir mengatakan hal tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi lebih dari tiga juta guru.
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan PGRI prihatin dengan fenomena radikalisme dan intoleransi. Bahkan, para pendidik pun terlibat dalam ujaran kebencian yang menjurus simpati kepada radikalisme. Padahal, perilaku para pendidik tersebut dapat memengaruhi siswa.
Secara terpisah, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir mengatakan, perguruan tinggi harus waspada terhadap benih-benih radikalisme yang masuk ke dalam kampus. Tindakan tegas akan diberikan kepada para dosen dan mahasiswa yang tidak setia kepada Pancasila dan NKRI.
”Para pemimpin perguruan tinggi diminta mengawasi keadaan di kampus. Jika ada dosen yang terlibat, agar ditindak dan diberi sanksi. Demikian juga kegiatan mahasiswa, harus diawasi,” ujar Nasir.
Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengatakan pihaknya terus memantau situasi internal kampus. Penguatan wawasan kebangsaan dan nasionalisme bagi mahasiswa juga dilakukan. (BOW/ELN)
Dunia pendidikan harus mampu berperan dalam merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu, institusi pendidikan harus mengusung semangat inklusif dalam penyelenggaraannya. Penerimaan ada keberagaman mutlak menjadi bagian dari proses pendidikan.
Hal tersebut terungkap dalam pertemuan pengurus Persatuan Guru Republik Indonsaia (PGRI) dari seluruh Indonesia dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Jakarta, Rabu (23/5/2018). Psrtdmuan tersebut sebagai ajang dialog mengenaik sejumlah persoalan guru, termasuk mengingatkan kembali peran guru dalam situasi bangsa dan negara yang memerangi radikalisme dn intoleransi.
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan PGRi merasa prihatin dengan fenomena yang terjadi terkait radikalisme dan intolernasi. Bahkan, para pendidik pun terlibat dalam ujaran kebencian atau menunjukkan simpati pada gerakan radikalisme. Padahal, perilaku para pendidik tersebut dapat mempengaruhi para siswa.
"Guru harus jadi teladan dalam menunjukkan sikap inklusif, yang mau menerima perbedaan dan menunjukkan sikap saling menghormati. Sekolah juga harus inklusif. Bayangkan, siswa kita dari TK hingga SMA sederajat ada sekitar 14 tahun di sekolah. Mereka harus dipastikan memiliki sikap inklusif yang tidak lepas dari peran guru di sekolah," ujar Unifah.
Unifah meminta agar Kemdikbud mengingatkan sekolah dan guru untuk berperan sebagai perekat kebangsaan. "Dalam pelatihan para guru, harus juga diselipkan pesan agar guru setia pada Pancasila dan NKRI. Para kepala sekolah diajak untuk bisa menyatukan komitmen para guru untuk menjaga perstuan dan kesatuan bangsa sehingga tidk mudah disisipi dengan gerakan radikalisme dan intoleransi," kata Unifah.
Muhadjir mengatakan semangat nasionalisme dan toleransi menjadi hal penting dalam penguatan pendidikan karakter (PPK) yang harus dijalankan sekolah. "Kmi meyakini, PPK yang menguatkan nilia-nilai karakter siswa akan membuahkan hasil. Kita ajak supaya sekokah dapat menumbuhkan sikap seperti toleran terhadap perbedaan dan semangat cinta tanah air. Ini sudah jadi komitmen bersama dunia pendidikan," kata Muhadjir.
Terkait ada guru yang menyebarkan ujaran kebencian di media sosial dan diproses oleh pihak kepolisian, Muhadjir mengatakan hal teraebut dapat jadi pembelajaran bgi lebih dari tiga juta guru. "Para guru harus bijak. Para guru ini jadi teladan," kata Muhadjir.
Secara terpisah, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan pergurun tinggi harus waspada terhadap benih-benih radiklisme yang masuk ke dalam kampus. Tindakan tegas akan diberikan padavpara dosen dan mahasiswa yang tidak setia pada pancasila dan NKRI.
"Para pimpinan perguruan tinggi sudah diminta untuk mengawasi keadaan di kampus. Jika ada dosen yang terlibat, bisa ditindak dan diberi sanksi. Demikian juga para mahasiswa harus diawasi kegiatannya. Sebb, potensi yadikalisme masuk ke kampus memang ada," ujar Nasir.
Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengatakan pihaknya terus memantau situasi internal kampus. Penguatan wawasan kebangsaan dan nasionalisme bagi para mahasiswa juga dilakukan.
Menurut Arif, pendidikan kebangsaan sebagai salah satu mata kuliah direformulasi. Di sekolah vokasi, ada pendidikan bela negara melalui kerja sama dengan TNI juga sudah dilakukan.
"Kami ingin mereformulasi pendidikan Pancasila yang kontekstual dan cocok untuk mahasiswa generasi milineal.
Kebetulan tahun 2018 ini, IPB akan merevisi kurikulum S1. Ini jadi kesempatan untuk memperkuat pendidikan pancasila," ujar Arif.
(ELN)