JAKARTA, KOMPAS — Dalam atraksi tong edan, pemain harus terus memacu sepeda motornya, menentang gravitasi, dan melingkari dinding pertunjukan. Jika berhenti secara mendadak, ia bisa saja jatuh. Konsep itulah yang menginspirasi pameran karya-karya bertajuk “Tong Edan” yang dibuka pada Kamis (17/5/2018) petang di Bentara Budaya Jakarta.
“Pameran ini terinspirasi dari kondisi sosial dan budaya masyarakat, yang meski dipenuhi dengan kekompleksitasnya tetap terus berlanjut. Gagasan \'Tong Edan\' sebenarnya punya makna konotatif yang cair, tergantung pada pemaknaan akan kondisi dan situasi serta sudut pandang yang digunakan dalam melihat suatu hal,” ujar Kuss Indarto, kurator dalam pameran yang berlangsung hingga Sabtu (26/5/2018) ini.
Pameran ini terinspirasi dari kondisi sosial dan budaya masyarakat, yang meski dipenuhi dengan kekompleksitasnya tetap terus berlanjut.
Pameran karya “Tong Edan” ini akan dilaksanakan juga di Bentara Budaya Yogyakarta dan Bentara Budaya Bali dalam waktu dekat ini. Harapannya, melalui pemeran ini bisa memotivasi para seniman yang terlibat untuk terus menghasilkan karya-karya seninya.
Sebanyak 33 perupa terlibat dalam pameran ini, antara lain Aly Waffa, Andie Aradhea, Angga Yuniar Santosa, Dira Herawati, Ikhsan Breykele, Erik Wilean,Tito Tryamei,Nugroho Heri Cahyono, dan Yurisa Adhi. Setiap perupa telah mengubah “tong edan” menjadi simbol dan metafora ke dalam karya seninya sesuai dengan ekspresi dan interpretasi mereka masing-masing.
Misalnya pada karya Yurisa Adhi yang berjudul “Pady Go Go”. Dalam karyanya, ia ingin menunjukkan protes sosialnya terhadap kondisi tempat tinggalnya di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pembangunan yang terus berkembang dengan pesat.
“Pembangunan terus berjalan cepat seakan tidak bisa dikendalikan. Bangunan ini secara tidak langsung menyingkirkan lahan sawah yang ada di tempat itu,” ujarnya.
Sementara, Ikhsan Breykele dalam karyanya berjudul “Perselisihan Antar Kelas Tak Pernah Berakhir” mencoba mengimplementasikan konsep “tong setan” yang melingkar dan tidak pernah terputus. Dalam lukisannya yang berukuran 180 cm x 14 cm, Ikhsan menggambarkan bagaimana konflik personal itu saling mengikat dan tidak pernah berakhir jika terus dipermasalahkan.
“Sama seperti lintasan tong setan, yang terus berputar tidak pernah terputus,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Bentara Budaya Frans Sartono dalam kesempatan yang sama berpendapat, pertunjukan tong edan atau yang juga disebut tong setan atau tong maut ini, bisa menjadi metafora kehidupan yang selalu berputar. Karena itu, orang yang terlibat di dalam kehidupan perlu kestabilan, kecepatan, keberanian, serta totalitas dalam menjalaninya.
“Tong edan yang ditarik dalam kehidupan kreatif sebagai seniman, bisa juga diartikan bahwa seniman secara terus menerus dituntut untuk terus berproses kreatif dalam berkarya agar keseniannya tidak tenggelam,” kata Frans.