Dari sisi lakon, Kidung Tahta Asmara mungkin terdengar menggugah. Kisahnya tentang Keraton Surakarta saat diperintah Paku Buwono II yang pro-VOC. Timbul keresahan yang makin luas di kalangan bangsawan keraton, juga di kalangan rakyat. Mereka berpandangan PB II beserta kroninya naif karena menganggap VOC/Belanda hadir untuk berdagang, padahal sebenarnya untuk menjajah.
Menurut kesaksian rakyat, sejak kompeni datang ke Surakarta, suasana berubah total. Kompeni menguasai pasar, jual-beli harus lewat orang Belanda dengan harga jauh lebih tinggi, sementara harga jual hasil petani anjlok. Saat itulah mulai terdengar suara bersatu melawan penjajah. Dalam kaitan inilah mereka mendengar perlawanan Raden Mas Said.
Di sela-sela isu kolaborasi PB II-VOC, ada juga roman antara pemuda pejuang dan kekasihnya, Bintoro dan Widyawati, sebagai pemanis cerita. Demikian pula suasana batin bangsawan, seperti Ibu Panggeran Buminata, Ratu Amangkurat, yang sudah tidak betah lagi tinggal di lingkungan istana karena suasana yang penuh konflik. Ditampilkan juga sosok seperti Martapura yang sikapnya memuakkan karena jadi begundal Belanda.
Kisah inilah yang digarap oleh Winarto, Sutradara merangkap penulis naskah. Ia sarjana seni yang kini lebih aktif dalam pelestarian seni tradisi. Mengambil momentum HUT ke-38 Universitas Slamet Riyadi (Unisri) dan HUT ke-4 PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar), Winarto berhasil menggerakkan para mahasiswa. Selain PGSD, juga ada yang dari Institut Seni Surakarta dan Badan Koordinasi Kesenian Tradisional Universitas Negeri Surakarta, Jawa Tengah.
Yang tak kalah menarik dalam ketoprak yang memuncaki rangkaian acara mahakarya PGSD ini adalah tampilnya sejumlah bintang iklan dan tokoh seni dari Jakarta, seperti Hendrayani Suroyo dan Bambang Trijoko.
Menghidupkan seni
Keterbatasan sarana dan prasarana tidak menciutkan hati pendukung ketoprak untuk tampil maksimal. Saat perang massal/brubuh, mahasiswa tampil dalam adegan laga realistik dan Bambang Trijoko melantunkan tembang Pucung dan Palaran yang merdu.
Para seniman senior yang sudah makan asam garam dalam seni ketoprak berpandangan bahwa keikutsertaan mereka dalam kancah lokal sederhana di PGSD Solo bisa menambah semangat sivitas akademika PGSD Unisri untuk aktif menghidup-hidupkan seni tradisi dan kelak menularkan pengalaman mereka kepada anak didik.
Pementasan ketoprak sepanjang sekitar 2 jam ini meninggalkan kesan positif bagi Unisri dan tuan rumah berharap tahun depan acara serupa bisa digelar kembali.