Kementerian PPPA Gandeng Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Modus kekerasan terhadap anak dalam beberapa tahun terakhir semakin canggih dan tidak berperikemanusiaan. Karena itu, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus dilakukan bersama melibatkan semua kalangan, pemerintah, dan masyarakat.
Pemerintah tidak bisa lagi berjalan sendiri, tetapi harus bermitra dengan organisasi masyarakat sipil untuk bersatu dalam gerakan mengakhiri kekerasan terhadap anak. Organisasi masyarakat sipil yang juga selama ini aktif dengan kegiatan perlindungan anak, bisa hadir memberi penguatan terhadap sejumlah program-program pemerintah yang terkait perlindungan anak.
Komitmen untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak diwujudkan dalam Peluncuran Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) yang beranggotakan 27 organisasi masyarakat sipil, Senin (14/5/2018), di Jakarta.
Peluncuran Aliansi PKTA yang dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise juga dirangkaikan dengan Diskusi Publik "Sekolah tanpa Kekerasan dalam Mendukung Sekolah Ramah Anak melalui Pendekatan Displin Positif".
“Masyarakat salah satu bagian dari pilar pembangunan untuk membantu pemerintah mensukseskan program pemerintah. Aliansi PKTA kami harapkan membantu Kementerian PPPA terutama dalam perlindungan anak. Jadi kami harapkan mereka bergandeng tangan, membangun komitmen bersama dengan pemerintah untuk melindungi anak-anak,” kata Yohana.
Kerja sama bisa dilakukan Aliansi PKTA dengan Kementerian PPPA dalam berbagai bidang perlindungan anak, termasuk melakukan kampanye bersama kepada masyarakat.
Aliansi PKTA adalah koalisi masyarakat sipil Indonesia yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi yang memiliki kesamaan tujuan dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap anak di Indonesia. Hal ini sejalan dengan target dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs), yakni Target 16.2 yaitu “Menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak”.
Adapun Anggota Aliansi PKTA saat ini terdiri dari 27 organisasi non-pemerintah yakni Aliansi Remaja Independen (ARI), ChildFund Indonesia, ECPAT Indonesia,Fatayat Nahdatul Ulama, Gugah Nurani Indonesia (GNI), HI-IDTL, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), ICT Watch, JPAI - The SMERU Research Institute, Kampus Diakonia Modern (KDM), MPS PP Muhammadiyah, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Plan International, Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, Universitas Indonesia (PUSKAPA), Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Rifka Annisa, Rutgers WPF Indonesia, SAMIN, Sejiwa, Setara, SOS, Wahana Visi Indonesia (WVI), Yayasan Kakak, Yayasan Pulih, Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC), Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC), dan Youth Network on Violence Against Children (YNVAC).
Dukungan di enam bidang
Zubedy Koteng dari Yayasan Sayani Tunas Cilik yang juga presidium Aliansi PKTA mengungkapkan, ada sejumlah agenda untuk mendukung program pemerintah mengakhiri kekerasan terhadap anak. Agenda ini dibagi dalam enam bidang, yaitu legislasi dan penerapan kebijakan, perubahan norma sosial dan praktik budaya, pengasuhan anak, peningkatan ketrampilan hidup dan ketahanan diri anak, penyediaan layanan pendukung, dan peningkatan kualitas data dan bukti pendukung.
“Kita tidak melakukan sesuatu yang baru, tapi memperkuat program yang sudah ada. Dari sisi legislasi misalnya, kita punya Undang-Undang Perlindungan Anak, tapi belum menyebutkan spesifik larangan hukuman fisik,” katanya.
Hal lain yang harus diperkuat adalah kemampuan keluarga untuk melindungi anak-anak, perkuat wadah-wadah untuk menyuarakan aspirasi anak-anak, serta penguatan layanan perlindungan anak yang harus dilakukan sampai tuntas.
“Soal data perlindungan anak, sampai saat ini datanya sangat lemah. Kami ingin perkuat itu dari database yang terkait kekerasan terhadap anak. Tahun ini kami mendorong pemerintah untuk melakukan survei angka kekerasan terhadap anak. Kami juga akan melakukan studi kasus secara terpisah untuk mendukung survei tersebut, sehingga kita bisa mengetahui dengan pasti berapa sih prevalensi kekerasan terhadap anak,” kata Zubedy.
Tanpa data-data yang akurat, menurut Zubedy, target pemerintah untuk mewujudkan TPB pada tahun 2030 tidak akan tercapai.