JAKARTA, KOMPAS — Kesamaan persepsi mengenai kesetaraan jender menjadi kunci pemberdayaan perempuan dalam rantai pasok komoditas berkelanjutan. Tantangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik perlu diatasi bersama. Untuk itu, penanaman pola pikir dan komunikasi yang baik diperlukan agar penyampaian pesan bisa tepat sasaran.
“Tanpa adanya kesamaan persepsi mengenai kesetaraan jender antara perempuan dan laki-laki, upaya pemberdayaan perempuan tidak akan tercapai. Selain itu, memberikan pemahaman ke dalam diri perempuan bahwa mereka mampu berkontribusi lebih juga perlu dilakukan,” ujar Agung Widiastuti, Direktur Yayasan Kalimajari di Jakarta, Jumat (11/5/2018).
Yayasan Kalimajari merupakan pendamping program kakao berkelanjutan di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya di Kabupaten Jembrana, Bali.
Agung menuturkan, menyamakan persepsi ini butuh waktu dan tenaga yang lebih dari pihak pendamping. Untuk mengoptimalisasi pemberdayaan perempuan di Kabupaten Jembrana misalnya, ia dan tim pendamping butuh sekitar tujuh tahun agar tujuan tersebut bisa tercapai. “Yang penting adalah komunikasi,” ucapnya.
Komunikasi yang ia maksud antara lain mengenai penggunaan istilah, bahasa, dan media penyampaian yang digunakan. Dalam budidaya kakao di Kabupaten Jembrana, Agung menggunakan istilah “Salon Kakao Lestari” untuk para petani di wilayah tersebut. Ia mencontohkan, proses fermentasi kakao ia ganti dengan istilah creambath. Istilah ini digunakan agar isitlah-istilah perkebunan bisa mudah diterima.
Membicarakan peran
Selain itu, ketika memberikan pelatihan kepada masyarakat harus melibatkan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama.
Direktur Yayasan Setara Jambi, Rukaiyah Rafiq berpendapat, perempuan dan laki-laki, terutama dalam keluarga perlu duduk bersama untuk membicarakan perannya masing-masing. Peran ini dijabarkan secara rinci, mulai dari bangun pagi hingga tidur malam. Dengan mengetahui apa saja peran yang dilakukan diharapkan bisa saling memahami.
“Jadi misalnya, setelah tahu bahwa pekerjaan rumah tangga cukup banyak, laki-laki bisa turut membantu. Begitu juga perempuan, pada pekerjaan yang jika ia lakukan bisa meningkatkan hasil komoditas, ia bisa turut terlibat,” katanya.
Aris Kadarisman dari Anomali Coffee menuturkan, peran perempuan di komoditas kopi, terutama di sektor hilir saat ini lebih berkembang. Hal ini terlihat dari banyaknya perempuan yang menjadi barista kopi atau pembuat kopi di Indonesia. Apalagi, katanya, sudah banyak metode penyeduhan dan pelatihan yang bisa didapatkan oleh masyarakat umum.
“Sangat memungkinkan perempuan berperan lebih di sektor hilir,” ujarnya.
Melati, perwakilan dari Yayasan Insiatif Dagang Hijau menilai, butuh perjalanan panjang untuk mewujudkan kesetaraan jender di Indonesia. Mengubah kebiasaan dan pola pikir, serta budaya patriarki di tengah masyarakat dinilai tidak mudah untuk dilakukan.
“Dukungan dari tokoh masyarakat juga dibutuhkan, terutama tokoh masyarakat perempuan,” ucapnya.
Menurutnya, perempuan perlu terlibat dalam kepemimpinan masyarakat. Dengan begitu, diharapkan lebih banyak orang yang percaya bahwa perempuan punya peranan penting dalam aktivitas rantai pasok komoditas berkelanjutan.
Rukaiyah menambahkan, pendekatan budaya juga perlu dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan jender di sektor komoditas berkelanjutan. Di Jambi misalnya, ia mengatakan, ada dua kelompok masyarakat yang butuh strategi pendekatan yang berbeda, yaitu pada masyarakat transmigran dan masyarakat lokal.
“Jika sudah tahu pola pendekatan yang tepat, sharing knowledge bisa lebih mudah dilakukan,” katanya.