Sehari sebelum Hari Kartini 2018, Jumat (20/4/2018), Presiden Joko Widodo mengundang sejumlah aktivis perempuan berdialog di Istana Bogor, Jawa Barat. Bagi kalangan aktivis perempuan, pertemuan tersebut bukanlah pertemuan biasa.
”Pertemuan dengan Presiden merupakan wujud dari adanya perhatian kepada gerakan perempuan atau kelompok-kelompok perempuan,” ujar Misiyah, Direktur Lingkar Pendidikan Alternatif Perempuan (Kapal Perempuan), Senin (23/4/2108).
Pertemuan dengan Presiden, yang saat itu didampingi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise, serta Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki, itu sangat berarti bagi gerakan perempuan untuk menyuarakan aspirasi perempuan di Tanah Air.
Bagi Misiyah, dan sejumlah aktivis perempuan yang selama ini berkecimpung dengan berbagai persoalan perempuan dan anak, pertemuan dengan kepala negara sekaligus menjawab keraguan sejumlah aktivis, yakni Presiden peduli dengan masalah-masalah perempuan. ”Ini pengakuan bahwa masalah perempuan sebagai bagian dari masalah negara,” kata Misiyah.
Salah satu topik yang diusung para aktivis perempuan dalam pertemuan tersebut adalah ”cegah dan hentikan perkawinan anak”, yang sekian lama disuarakan perempuan-perempuan di Tanah Air. Hadirnya negara untuk melindungi anak-anak perempuan dari praktik perkawinan anak sampai saat ini masih menjadi ”asa” anak-anak negeri ini.
Perkawinan anak masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Indonesia karena Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Tahun 2017, angka prevalensi perkawinan anak tergolong tinggi. Pada 2015, perkawinan anak tersebar di 21 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Sebaran perkawinan anak di hampir seluruh provinsi di Indonesia ini sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan, yakni 61 persen. Bahkan, Indonesia masuk dalam darurat perkawinan anak.
Sementara itu, berbagai program yang dilakukan pemerintah tak cukup untuk menghadang praktik perkawinan anak di sejumlah daerah. Kondisi tersebut terus langgeng selama Pasal 7 Ayat 1 UU Perkawinan mengenai batas usia kawin anak perempuan 16 tahun tetap ada.
Di sejumlah daerah, praktik perkawinan anak terus membayangi anak-anak di negeri ini. Di Bantaeng, Sulawesi Selatan, misalnya, Sy (15 dan Fa (14) yang masih duduk di bangku SMP di Bantaeng mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama Bantaeng hingga akhirnya dinikahkan oleh Kantor Urusan Agama setempat. Sementara itu seorang anak perempuan berumur 11 tahun yang masih duduk di kelas V SD di Distrik Nalo, Kabupaten Merangin, Jambi, juga dikabarkan menikah dengan laki-laki berumur 30 tahun.
Memecahkan masalah
Karena itu, pertemuan dengan Presiden memberi makna tersendiri bagi gerakan perempuan di negeri ini. ”Dalam pertemuan ini, Presiden Jokowi secara nyata memberikan komitmen untuk memecahkan masalah perempuan. Ini artinya memecahkan masalah perempuan dianggap sebagai bagian dari memecahkan masalah bangsa,” kata Misiyah.
Sementara itu, Presiden Jokowi sangat terkesan dengan para aktivis perempuan yang gigih mengurus banyak hal, mulai dari nelayan, petani, buruh, lingkungan, pemberdayaan ekonomi, hukum, persamaan hak, hingga intoleransi. ”Menurut Presiden mereka militan,” ujar Teten Masduki.
Bahkan, lanjut Teten, ”Kata Presiden, kalau semua warga bangsa melakukan hal yang dilakukan para aktivis perempuan ini (mereka punya kesadaran politik dan kepedulian sosial yang tinggi) kita akan punya fondasi masyarakat yang kuat untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah akan dipandu dan dikawal masyarakat yang kritis dan berdaya,” ujar Teten.
Setelah pertemuan tersebut, Yohana Susana Yembise menyatakan siap berjuang supaya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak yang diharapkan menjadi solusi dari perkawinan anak saat ini bisa digolkan.
Di luar isu perkawinan anak, para aktivis perempuan juga mendorong Presiden segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, dan mengetuk hati Presiden agar menarik RUU Hukum Pidana dari pembahasan di DPR. Mereka meminta Presiden mengkaji ulang RUU yang dinilai sangat berpotensi mengkriminalisasi perempuan dan kelompok rentan tersebut. Dua isu terakhir tersebut juga tak kalah kuat perhatian aktivis perempuan.
Besar harapan para aktivis perempuan kepada Presiden Jokowi. Mereka menanti langkah besar pemerintah seraya menyerahkan asa kepada Presiden Jokowi.