Kita patut dan boleh berbangga sekaligus bergembira dengan kian menggemuknya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) meski kuantitas tak menjamin atau, bahkan, tak berkorelasi sama sekali dengan kualitas. Demikian yang dikeluhkan Eko Endarmoko dalam kolomnya, "Jumlah Dahulu, Mutu Nanti Dulu", di Tempo edisi 19-25 Februari 2018.
Penganggit Tesamoko tersebut mengatakan bahwa semangat mengejar jumlah merupakan cerminan kompleksitas kerendahdirian sekaligus, di saat bersamaan, menunjukkan degradasi kualitas tiap kata yang menjadi entri atau lema. Dengan pelbagai argumentasi, dia memperlihatkan satu lema dengan dua ejaan yang berbeda: cape dengan capai, konde dengan kundai, reak dengan riak, prei dengan perai.
Kondisi perkamusan kita memang masih jauh dari paripurna. Kita tahu bahwa Badan Bahasa terus berdalih, syarat dan ketentuan sebuah kata masuk ke dalam KBBI kian tahun kian diperketat dan diperbaiki. Badan Bahasa mengatakan bahwa ada setidaknya lima syarat fundamental yang ia tetapkan untuk menimbang bisa-tidaknya sebuah kata diakomodasi ke dalam KBBI.
Lima syarat tersebut: unik, sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, eufonik (sedap didengar), memiliki konotasi positif, dan berfrekuensi pemakaian yang tinggi. Lima syarat itu masih harus berhadapan dengan serangkaian pertimbangan, seperti apakah kata tersebut ditemukan di pelbagai sumber, apakah digunakan beragam kalangan, dan apakah kata itu diprediksi bertahan lama.
Tentu kita masih menghadapi banyak soal. Selain ihwal presisi dan akurasi menerjemahkan dan memberi makna kata, banyak problem yang masih menjadi pekerjaan rumah besar kita bersama. Sebut misalnya perihal seksisme dan politik penentuan contoh dalam KBBI. Kita dengan mudah akan menjumpai kata-kata yang secara stigmatif dikategorikan ke dalam kelamin tertentu.
Sebut saja, misalnya, kata cerewet. Untuk entri satu ini, KBBI memberikan arti dengan "suka mencela (mengomel, mengata-ngatai, dsb); banyak mulut; nyinyir; bawel" dengan contoh pemakaian pembantu rumah tangga biasanya tidak suka bekerja pada nyonya rumah yang-- Sampai di sini kita sah bertanya dan mencurahkan amatan kita pada frasa nyonya rumah yang--- yang secara langsung menggiring opini dan hendak mengatakan bahwa sifat cerewet lazimnya disematkan kepada seorang perempuan.
Demikian pula dengan lema ceriwis, KBBI mengartikan dengan suka "bercakap-cakap; banyak omong" dengan contoh pemakaian sudah umum setiap gadis itu--. Sebagaimana dalam lema cerewet, KBBI langsung menggiring pembaca pada pilihan makna yang bias gender, yakni makna yang cenderung menguarkan aroma seksisnya. Dari arti ceriwis tersebut, jika kita berpedoman pada kamus, sulit rasanya menyematkan adjektiva ceriwis untuk seorang laki-laki. Padahal, sifat cerewet dan juga ceriwis sah dimiliki dan melekat pada keduanya dalam kehidupan nyata. Perempuan bisa cerewet, laki-laki pun demikian.
Sepenarikan napas, kita juga menemukan hal serupa pada lema nyinyir. KBBI mengatikannya sebagai "mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet" dengan contoh pemakaian nenekku kadang-kadang--, bosan aku mendengarkannya. Pemilihan contoh yang menempatkan nenek sebagai subjek kalimat untuk menjelaskan adjektiva nyinyir lagi-lagi mengurung kita pada sebuah aktivitas pemaknaan bahwa sifat nyinyir itu khas dimiliki oleh perempuan. Padahal, nyinyir ini laik dan cocok tersua pada laki-laki maupun perempuan selama yang bersangkutan memang nyenyeh.
Belum lagi kita berhadapan dengan sundal, jalang, dan juga lacur. Ketiga lema ini kerap dijadikan pintu masuk oleh kebanyakan kita untuk melancarkan kritik betapa KBBI masih memiliki sejumlah soal dan urusan yang belum beres dengan makna dan gender.
Sementara itu, jika kita periksa adjektiva seperti tampan, KBBI tindak memberikan kurungan makna sebagaimana yang diberikan pada adjektiva yang disebutkan di atas. Tampan diartikan sebagai "elok (rupanya, sikapnya, bentuknya, letaknya); gagah" dengan contoh pemakaian ia tampak – kalau memakai jas dan dasi. Pemilihan contoh dengan menjadikan kata ganti orang ketiga tuggal (ia) tentu saja dirasa lebih netral dan tidak bias gender. Pilihan ini sebetulnya sangat bisa dilakukan terutama dalam membuat contoh-contoh penerapan kata sifat.
Sifat sampai kapan pun bisa melekat pada siapa pun tanpa harus membeda-bedakan kelamin. Kitalah yang memahat, membentuk, dan kadangkala secara tidak tepat menyematkannya pada kategori dan persona tertentu. Apa yang dikatakan de Beauvoir bahwa gender adalah konstruksi sosial dengan megacu pada kasus-kasus pemaknaan dan politik penentuan contoh makna kamus benar-benar nyata. Padahal, Pramoedya Ananta Toer jauh-jauh hari mengingatkan bahwa seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran.
Fariz Alniezar
Pengajar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta