BANTUL, KOMPAS – Keragaman musik tradisi di Nusantara beserta bermacam keunikan alat musiknya hingga kini belum seluruhnya terdokumentasikan dengan baik. Upaya pengarsipan penting segera dilakukan agar warisan musik tradisi tetap lestari. Upaya tersebut salah satunya dilakukan oleh Forum Musik Tembi melalui ajang Festival Musik Tembi yang tahun ini kembali digelar untuk yang ke delapan kali.
“Kami berharap mempunyai sebuah dokumentasi dan pengarsipan secara literatur tentang berbagai musik tradisi. Jika memungkinkan kita juga berharap memiliki alat-alat musik tradisi sebagai sarana praktik dari laboratorium apresiasi musik kami ini,” tutur Direktur Festival Musik Tembi (FMT) Sheila Sanjaya di Tembi Rumah Budaya, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (3/5/2018).
Di tempat yang sama, Kamis malam juga akan diadakan kegiatan Sastra Bulan Purnama yang akan mengambil tema “Satoe Boekoe 31 Penyair ”. Salah seorang penyair Yogyakarta, Landung Simatupang, turut menyumbang puisi dalam antologi ini. Penyair lainnya antara lain Krishna Miharja, Purwadmadi, Wadie Maharief, Novi Indrastuti, Mustofa W Hasyim, Arief Junianto.
Puisi-puisi ini sebelum diterbitkan menjadi buku telah dipublikasikan di media online tembi.net pada rubrik sastra setiap hari. Pemimpin Redaksi Tembi.net sekaligus Ketua Yayasan Tembi Rumah Budaya Nuranto, merasa perlu memberi ruang pada puisi, yang banyak ditulis di media sosial. Karena ruang untuk publikasi puisi, kata Nuranto, tidak hanya media cetak, bahkan bisa dikatakan era media cetak mulai berkurang memberi ruang untuk puisi.
“Pada tahun 1970-an sampai tahun 1990-an saya masih melihat puisi mendapat tempat di media cetak, namun seiring munculnya media online banyak penyair mempublikasikan puisinya melalui media tersebut, dan saya kira hal itu perlu untuk diapresiasi” kata Nuranto.
Terbatas
Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2011, FMT terus berupaya memanggungkan berbagai musik tradisi seperti musik genteng dari Jatiwangi dan gamelan keramik dari Bandung, Jawa Barat, serta musik tubuh dari Aceh.
Pada tahun ini giliran alat musik bundengan dari daerah Wonosobo, Jawa Tengah, yang ditampilkan pada ajang tersebut. Bundengan dibuat dari anyaman bambu untuk merepresentasikan bunyi gamelan. Alat tersebut pada masa lampau menjadi wahana hiburan bagi masyarakat karena alat musik gamelan belum mudah diakses.
“Bundengan kami tampilkan atas dasar kegelisahan kami ketika tahun lalu kami mengenal alat musik tersebut. Pembuat alat musik itu sedikit, musisinya terbatas, dan meskipun banyak yang mempelajari namun belum sampai pada tahap memainkan dengan baik,” tutur Sheila.
Alat tersebut pada dasarnya adalah sebuah tudung yang pada jaman dahulu dibentangkan dengan ijuk. Menurut koordinator tim riset FMT Indra Waskito, ijuk kini digantikan dengan senar karena dapat menghasilkan suara lebih bagus.
Bundengan dimainkan dengan cara dipetik dengan kedua tangan.
Petikan senar dengan tangan kanan akan menampilkan suara kenong, kempul, dan gong, layaknya pada gamelan sedangkan tangan kiri mengeluarkan suara menyerupai kendang.
FMT pada tahun ini digelar selama dua hari dengan menampilkan sejumlah agenda diskusi tentang musik, lokakarya, dan pertunjukan musik. Deretan musisi seperti Endah Laras, Sruti Respati, dan Ayu Laksmi, dijadwalkan tampil pada event kali ini.
Para pembuat instrumen juga berkesempatan tampil pada FMT tahun ini. Kelompok Raw Creative termasuk salah satu yang akan menampilkan instalasi alat musik buatan mereka.
Kelompok itu akan menampilkan instalasi yang mereka namai Tradysinth . Instalasi tersebut menggunakan sensor gerakan serta sensor getar piezo yang dimainkan dengan menggerak-gerakkan tangan di depan sensor gerakan serta memukul-mukul sejumlah kotak berisi sensor getar dengan menggunakan stik.
“Kami menggunakan beberapa teknik pemrograman software dan hardware yang menampilkan manifestasi dari instrumen musik tradisi,” jelas Rangga Purnama Aji, salah satu anggota kelompok RAW Creative.