BANDUNG, KOMPAS — Konten hoaks dan ujaran kebencian kerap menyebar lebih cepat dibandingkan berita yang terverifikasi kebenaran. Oleh karena itu, jurnalisme presisi diperlukan untuk mengurangi dampak penyebaran hoaks yang rentan merugikan kepentingan banyak orang.
Hal ini terungkap dalam diskusi bertema ”Cerdas Lawan Hoaks dengan Jurnalisme Presisi” di Telkom University Bandung, Jawa Barat, Kamis (3/5/2018). Hadir sebagai pembicara utama adalah pendiri PT Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi dan Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Sutta Dharmasaputra.
Ismail mengatakan, konten dan berita hoaks dewasa ini sangat cepat menyebar di media sosial. Hal ini dipicu besarnya propaganda dan karakter masyarakat yang menyukai informasi sesuai keinginan atau kepentingannya. Ironisnya, masyarakat kadang tidak peduli apakah kabar itu benar atau salah.
Mengutip penelitian Massachusetts Institute Of Technology Amerika Serikat tentang persebaran hoaks di Twitter selama sepuluh tahun terakhir, Ismail menyebutkan, persebaran hoaks 10 kali lebih cepat dibandingkan berita berisi klarifikasi atau sesuai kenyataan.
Ismail mencontohkan dua negara maju yang dinilai pernah melakukan keputusan kontroversial akibat propaganda di media sosial, yaitu Amerika Serikat yang memilih Donald Trump sebagai presiden dan Inggris yang memilih keluar dari Uni Eropa atau lebih dikenal dengan Brexit.
”Berita-berita hoaks biasanya diatur sesuai keinginan dan kepentingan. Jadi, bukan karena kekurangan literasi dan pendidikan,” ucap Ismail.
Untuk Jawa Barat, Ismail menyebutkan, ujaran kebencian dan berita negatif sudah mulai terlihat di Twitter. Hal ini terlihat dari analisis aplikasi drone politik yang dikembangkan Ismail dengan melihat interaksi positif dan negatif.
Ia menjelaskan, pemantauan dilakukan dari Twitter. Alasannya, media sosial ini lebih terbuka serta bisa diakses dan disebarkan siapa saja.
Dalam pemantauan satu bulan terakhir, para pasangan calon gubernur dari Jabar mulai terpapar isu negatif. Ismail mencontohkan, pernyataan negatif yang menyerang Ridwan Kamil lebih dari 3.000 mention (sebutan) di Twitter dari total 15.600 mention. Untuk Deddy Mizwar, mention negatif mulai terlihat, sekitar 500 dari 7.400 mention. Sementara untuk Anton Charliyan, dari 5.000 mention, terdapat sekitar 500 yang bermuatan negatif.
”Ada beberapa kelompok yang memiliki kekuatan untuk menyerang kelompok lain dan mempromosikan kelompoknya. Framing, hate speech, hoaks disebar demi kepentingan tertentu. Masyarakat harus menyadari itu. Jangan sampai kita menghabiskan waktu untuk membahas hal negatif,” paparnya.
Akses informasi
Sutta menyatakan, jurnalisme presisi adalah solusi untuk mengurangi persebaran berita hoaks di masyarakat. Jika masyarakat punya akses informasi yang benar dan tepercaya, mereka memiliki pilihan untuk tidak terpapar informasi merugikan.
Jurnalisme presisi dilakukan dengan memberikan informasi berimbang serta sesuai kebutuhan masyarakat. Sutta berujar, media harus bisa menyajikan informasi yang tidak menyesatkan masyarakat.
”Hoaks sudah sangat meresahkan. Kita harus melawannya. Caranya, jika informasinya tidak meyakinkan, jangan disebarkan,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu juga dilakukan penandatanganan dan penyerahan nota kesepahaman (MOU) antara Telkom University dan harian Kompas. MOU ini berkaitan dengan akses gratis Kompas.id bagi Telkom University selama tiga bulan ke depan. Kompas.id adalah platform digital harian Kompas yang mengedepankan berita akurat dan mendalam.