GRESIK, KOMPAS – Anak-anak muda perlu didorong agar lebih peduli pada potensi budaya daerahnya dan mau menuliskannya. Di Gresik, Jawa Timur, saat ini tumbuh komunitas dan telah menerbitkan buku baik ditulis sendiri-sendiri atau ramai-ramai.
Terkait hal itu, Senin (30/4/2018), diluncurkan buku bertajuk Sang Gresik Bercerita Lagi di aula Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Gresik. Buku itu ditulis anggota berbagai komunitas, pelajar, mahasiswa hingga masyarakat umum yang punya kepedulian terhadap pengetahuan sejarah dan budaya literasi.
Karya itu juga dibedah oleh Pemerhati Budaya di Jatim, Henri Nurcahyo. Henri mengapresiasi upaya membukukan kekayaan budaya di Gresik itu. Ia menyarankan penulisan buku kisah kisah kearifan lokal tempo dulu, semacam itu perlu pengkategorian.
Tujuannya pengkategorian agar tidak timpang antara yang tradisi lisan, adat istiadat, pengetahuan tradisional, ritual suci, rupa-rupa, hingga tradisi baik permainan tradisional, atau olahraga tradisional.
Setelah ditelurusi betul, ini ada ketimpangan tulisan sebagian besar tradisi lisan.
Ia menyebutkan ada 47 tradisi lisan, tujuh adat istiadat, delapan ritus, sembilan pengetahuan tradisional, satu kehidupan tradisi, 10 blusukan dan dua rupa-rupa.
“Manuskrip, permainan rakyat, olahraga tradisional dan bahasa tidak ada,” kata Henri.
Mendata potensi budaya
Menurut dia, pemetaan kebudayaan sangatlah penting untuk mendata potensi budaya lokal, agar tidak terpaku pada sumber lisan. Sumber lisan bukannya salah, tetapi bisa ada banyak versi, bahkan banyak orang menuturkan asal mula nama tempat atau daerah, berdasarkan otak atik gathuk (dipas-paskan).
“Biasanya lebih dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung atau pesan tertentu, “ tutur Henri.
Ketua Yayasan Masyarakat Pecinta Sejarah dan Budaya Gresik (Mata Seger) Kris Adji menyatakan, upaya menulis sejarah dan budaya lokal itu untuk meningkatkan budaya literasi dan pengetahuan sejarah dan budaya Gresik khususnya bagi anak muda yang hobi menulis.
Menurut dia, kearifan lokal harus dipertahankan dengan menuliskan peninggalan sejarah, minimal anak muda tahu sejarah atau potensi budaya di desanya.
Kris mencontohkan dalam buku kali ini ada yang tulisan tentang Raja Demak, Raden Patah, kakek dan ibunya berasal dari Gresik. “Itu menunjukkan Gresik ini termasuk kota tua. Maka kami ajak anak muda gemar membaca dan menulis agar punya pondasi kuat dalam sejarah,” ujarnya.
Yayasan Mata Seger telah menerbitkan Sang Gresik Bercerita, dan Sang Gresik Bercerita Lagi dengan merangkul anak-anak muda. “Kami hanya menyemangati agar nanti hadir buku berikutnya lagi. Komunitas lain juga menulis buku,” kata Kris.
Ia mencontohkan Komunitas Benjeng Pribumi juga melahirkan sejumlah buku yang ditulis keroyokan seperti Babat Alas Benjeng (2012) yang menghimpun cerita rakyat asal usul dan sejarah desa se-Kecamatan Benjeng, Kumpulan Cerita Pendek bertajuk Benjeng Always in My Heart (2013) ditulis delapan anak muda Benjeng. Selain itu ada tulisan buku antologi puisi berjudul Sajak Bumi Benjeng.
Sebuah novel berlatar sejarah pertempuran di Gresik pada masa kemerdekaan melibatkan Kapten Dulasim dan Darmosugondo berjudul Biarkan Aku Bersamamu Satu Jam Saja. Bahkan novel karya Ahmad Ali Murtadho (23) itu juga dibuatkan versi filmnya secara indie.
Semangat literasi
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kabupaten Gresik, Siti Jaiyaroh, mengatakan, saat ini semangat literasi harus ditingkatkan agar anak-anak bisa mengetahui sejarah lokal. Buku anak-anak yang khas lokal Gresik diperlukan agar anak-anak mau membacanya tidak melulu lari ke gawai.
Sebenarnya sudah ada beberapa orang yang menulis buku tentang sejarah maupun budaya di Gresik, seperti Mustakim, Loemaksono dan Oemar Zainoeddin. Mustakim, guru sejarah sekaligus anggota Masyarakat Sejarawan Indonesia menulis Gresik: Bandar Dagang dan Jejak Islam, Mengenal Sejarah dan Budaya Masyarakat Gresik; Babat Gresik: Historiografi Tradisional tentang Gresik 1774-1880 M; Gresik dalam Panggung Sejarah Indonesia dari Kerajaan sampai Kemerdekaan; Gresik dalam Lintasan Zaman, Kajian Sejarah Ekonomi, Politik Sosial Budaya; Satu Kota Tiga Zaman, Gresik masa Praliterasi, Hindhu-Budha dan Islam.
Loemaksono menulis buku Sekelumit Riwayat Tokoh Gresik, Sekelumit Kisah Asal usul Nama Desa, Sekelumit Kisah dan Asal usul Kuliner yang Ada dan Pernah Ada di Gresik, Sekilas Sejarah dan Jari Jadi Pakelingan, serta Sekilas Kisah Sejarah dan Syahbandar Besar Gresik.
Sementara buku Jelajah Gresik Kota Tua, Kesaksisan tentang Kota Gresik di Masa Lampau ditulis Oemar Zainoeddin, Mustakim, Nuruddin, dan Muhammad Thoha. Oemar Zainoeddin juga menulis Kota Gresik 1896-1916, Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi.