JAKARTA, KOMPAS — Kemerdekaan dalam pendidikan tinggi terbentur masalah aturan yang kaku serta biaya yang mahal sehingga menjadi tidak ramah bagi rakyat kecil. Harus ada kebijakan pendidikan tinggi yang manusiawi daripada memberikan pinjaman lunak.
”Pemberian pinjaman justru akan mendatangkan masalah di masa depan,” kata Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghifarry Aqsa dalam diskusi ”Relasi Isu Pendidikan dengan Perjuangan Rakyat”, di Jakarta, Jumat (27/4/2018).
Ia mengkritik pemerintah yang berkiblat kepada Amerika Serikat dalam memberikan pinjaman lunak kepada mahasiswa. Sistem ekonomi AS yang liberal menerapkan bunga cukup tinggi, yakni 7 persen per tahun. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi banyak yang terlilit utang.
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa pemberian pinjaman lunak harus dilakukan tanpa bunga. ”Kenyataannya, aturan tersebut tidak berlaku. Ada bank yang justru menerapkan bunga pinjaman 6 persen per tahun,” ujar Alghifarry.
Menurut dia, wacana pemberian pinjaman lunak perlu ditinjau kembali. Belajar dari AS, masyarakat terpaksa bekerja tanpa libur, tidak bisa mencicil rumah, berwirausaha, atau melanjutkan pendidikan akibat harus melunasi utang biaya kuliah.
Pendidikan gratis
Alghifarry mengungkapkan, UU No 11/2015 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya justru mengamanatkan terwujudnya pendidikan gratis di segala jenjang.
”Harus ada perhitungan kebutuhan riil untuk mahasiswa di samping kebutuhan membangun gedung perguruan tinggi,” ujarnya. Dengan begitu, pemerintah bisa menyiapkan anggaran untuk mahasiswa.
Uang bisa diperoleh dari pajak progresif untuk pendidikan dan dana abadi. Menurut Alghifarry, jika ingin mencontoh AS, bisa dengan melihat bahwa perguruan tinggi di sana memiliki dana abadi pendidikan yang secara berkala diberi tambahan oleh pemerintah.
Narasumber lain, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Jimmy Paat, menjelaskan, pendidikan hendaknya memerdekakan masyarakat, bukan menjinakkan, apalagi bersifat eksklusif. ”Jika dari segi biaya sudah mengeliminasi masyarakat golongan tertentu, kebijakan pembiayaannya harus diubah,” katanya.
Alghifarry mengemukakan pentingnya ada peraturan pemerintah mengenai skema pinjaman lunak untuk mahasiswa dan harus berdasarkan UU Pendidikan Tinggi. Tanpa adanya peraturan turunan, bank dikhawatirkan menerapkan sistem pinjaman yang semena-mena.
”Akan tetapi, hendaknya prioritas pertama ialah mewujudkan pendidikan tinggi gratis sekaligus bermutu bagi rakyat,” ucap Alghifarry.