JAKARTA,KOMPAS —Tiga tahun terakhir, pembahasan draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran berulang kali macet, terutama pada pengambilan keputusan apakah infrastruktur penyiaran akan dikelola oleh negara atau swasta.
Mewakili negara, TVRI menyatakan diri siap menjadi penyelenggara multiplekser dalam proses migrasi penyiaran analog ke digital. “Kami seringkali dituduh tidak siap. Padahal kami sudah punya 68 pemancar digital di 68 titik menghabiskan dana sekitar Rp 100 Miliar,” kata Ketua Dewan Pengawas TVRI, Arief Hidayat Thamrin, dalam Diskusi Kelompok Terarah "Quo Vadis Revisi UU Penyiaran: Single Mux untuk NKRI" yang digelar Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia di Jakarta akhir pekan lalu.
Karena itu, menurut Arief sebenarnya tidak ada alasan lagi mengapa pembahasan RUU Penyiaran harus terus-menerus tertunda hanya pada penentuan apakah model migrasi penyiaran analog ke digital akan dilakukan dengan model multiplekser tunggal (single mux) oleh Lembaga Penyiaran Publik yaitu TVRI dan RRI atau multiplekser jamak (multi mux) oleh stasiun televisi swasta eksisting. Belakangan, bahkan muncul istilah hybrid multiplexing atau campuran antara Lembaga Penyiaran Publik dan swasta sebagai penyelenggara multiplekser.
Arief menilai, tuduhan yang sering muncul bahwa sistem single mux merupakan bentuk monopoli negara atas frekuensi penyiaran adalah cerita karangan karena pada prinsipnya frekuensi memang milik publik yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik sehingga negara wajib mengaturnya. “Monopoli atas nama negara apanya yang salah?”kata dia.
Pengaturan terhadap pemanfaatan frekuensi televisi memang sangat dibutuhkan mengingat betapa dahsyatnya pengaruh televisi. Hingga saat ini, tingkat paparan televisi terhadap masyarakat, khususnya anak-anak masih tinggi.
Di Indonesia, rata-rata setiap anak menonton televisi sekitar 3-5 jam per hari. Artinya, rata-rata setiap anak Indonesia terpapar oleh siaran televisi hingga sekitar 1.500 jam setiap tahun. Jumlah ini jauh lebih lama dibanding waktu sekolah anak yang hanya sekitar 300 jam setiap tahun.
Ditunda
Anggota Komisi I DPR Elnino M Husein Mohi mengungkapkan, Komisi I DPR sudah menyerahkan draft RUU Penyiaran kepada Badan Legislasi DPR Februari 2016 lalu. Namun, pembahasan RUU ini sangat alot sehingga per Februari 2017 sampai sekarang ditunda.
Saat ini, posisi terakhir draf RUU Penyiaran, masih tertahan di Badan Legislasi DPR. Menurut Anggota Komisi I DPR Roy Suryo, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), Badan Legislasi bisa memutuskan kebijakan tanpa harus meminta persetujuan dari komisi. “Ini masalah,”kata Roy.
Menyikapi berlarut-larutnya pembahasan RUU Penyiaran, pengamat penyiaran Ade Armando beranggapan, saat ini publik sedang melihat dan menunggu apakah anggota DPR akan berpihak pada pemodal atau rakyat. "Semua ini harus dibuka ke publik. Jika dibiarkan, maka pemodal tetap akan menguasai (frekuensi penyiaran) negara ini,"kata Ade.
Menurut Ade, tidak ada istilah hybrid multiplexing tetapi yang ada hanya single mux dan multi mux. “Hybrid multiplexing itu sama saja dengan multi mux. Kalau multi mux yang dipilih, maka kembali lagi yang akan menguasai frekuensi penyiaran hanyalah enam ‘naga’ atau pemilik stasiun-stasiun televisi besar. Tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk percaya bahwa multi mux tidak dikuasai oleh pemodal,”paparnya.
Ketua Umum Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar sepakat TVRI dan RRI dijadikan sebagai multiplekser tunggal. “Inilah kesempatan untuk mengembalikan marwah TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik,”kata dia.
Ketua Panitia Khusus UU Penyiaran 2002, Paulus Widiyanto menambahkan, industri-industri televisi yang sudah terlanjur membangun infrastruktur akan berusaha mempertahankan frekuensi penyiaran yang mereka pinjam dari negara.
Sebelumnya, pada bulan Mei 2017 lalu, Ketua Asoiasi Televisi Swasta Indonesia Ishadi SK menggulirkan istilah sistem hybrid multiplexing yang menurutnya merupakan antitesa dari monopoli sistem single mux. Menanggapi hal ini, Anggota Dewan Pengawas LPP RRI Hasto Kuncoro mengatakan, tuduhan monopoli dan kecurigaan terhadap TVRI dan RRI akan bertindak semena-mena jika sistem single mux diterapkan tidak beralasan sama sekali.