Saatnya Perbaikan Pembelajaran dari Ruang Kelas Digenjot

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Pengamat pendidikan Conny R Semiawan

JAKARTA, KOMPAS – Perbaikan dalam pengajaran dan pembelajaran menjadi bagian penting yang harus dilakukan guru untuk memperbaiki kondisi pendidikan yang selama ini lebih fokus pada kemampuan berpikir tingkat rendah menuju kemampuan berpikir tingkat tinggi. Namun, perubahan yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran di ruang kelas juga butuh dukungan sistem pendidikan, utamanya dari pemerintah dan pemerintah daearah, yang berkelanjutan dan sesuai dengan kondisi kerja yang dihadapi para guru.

Praktisi pendidikan Weilin Han di Jakarta, Kamis (19/4/2018), mengatakan perubahan pembelajaran yang dimulai di ruang kelas yang harus difokuskan. “Di dalam kelas, guru pun belum mampu mengembangkan pertanyaan yang dapat membuat siswa memahami mengapa butuh belajar suatu topik dan apa kaitannya dengan kehidupan,” kata Weilin.

Menurut Weilin, secara umum guru masih terpaku pada buku teks, dan belum mampu mebawa suatu topik yang dipelajari pada konteks di mana sekolah berada dan kehidupan siswa. Demikian juga dalam mengetes siswa, kemampuan membuat lembar kerja secara mandiri masih rendah, sehingga lebih mengandalkan lembar kerja siswa yang diproduksi oleh pihak lain yang tidak relevan dengan konteks yang dihadapi.

“Jangan guru yang disalahkan karena belum mampu mengembangkan penalaran dalam pendidikan. Sistem pendukung guru, utamanya pemerintah dan pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan yang seharusnya sangat fokus meningkatkan kompetensi guru sesuai jaman, juga belum berbuat maksimal,” kata Weilin.

Secara terpisah, Perancang Sitem Penilaian di Pusat penelitian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Rahmawati, mengatakan diagnosa kemmapuan penalaran siswa yang rendah, bukan hanya ditunjukkan dari penilaian internasional. Dari pemetaan yang dilakukan secara random oleh Kemendikbud lewat Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) beberapa tahun terakhir, terlihat siswa masih bernalar tingkat rendah dengan menghafal. Adapun untuk menggunakan konsep sehingga dapat dipakai dalam pemecahan suatu kasus yang butuh penalaran sangat rendah.

Sebagai contoh, secara umum siswa menjawab betul jika ditanyakan arti dan contoh mahluk hidup dalam kelompok dari herbivora, karnivora, dan omnivora. Namun, jika pemahaman konsep ini dituangkan dalam soal cerita yang butuh diaplikasikan, sebagian besar siswa gagal menjawab.

“Ada soal yang meminta siswa mendesain sebuah kebun binatang. Perintahnya siswa harus mampu menempatkan mahluk hidup dalam kelompok herbivora, karnivora, dan omnivora, sedemikian rupa supaya kebun binatang bisa berjalan dengan baik. Untuk menjawabnya kan butuh pemahaman konsep dasar lalu berpikir dengan bernalar. Soal seperti ini umumnya gagal dijawab,” kata Racmawati.

Menurut Rachmawati, hasil tes yang dilakukan tiap tahun tidak bermakna jika tidak ada perubahan dalam pengajaran dan pembelajaran. Dari ebebrapa tahun tes AKSI, belum terlihat perubahan pembelajaran oleh guru secara signifikan.

“Akhirnya, AKSI diputuskan bukan lagi untuk tes semata. Namun, sekolah didorong memanfaatkan AKSI untuk dapat merangsang perubahan dalam pembelajaran oleh guru,” kata Rachmawati.

Kemdikbud menyiapkan aplikasi Motivasi atau modul tes inovatif untuk siswa yang berbasis komputer agar dapat digunakan secara mandiri oleh sekolah. Ada tiga hal yang bisa dimanfaatkan guru yakni untuk persiapan tes, soal ujian sesuai topik, dan guru bisa melihat jawaban siswa dan memberi umpan balik. “Saat ini tidak perlu lagi siswa terus-menerus dites. Tapi bagaimana mendorong guru memanfaatkan tes untuk membantu siswa menguasai kompetensi yang seharusnya dikuasai, terutama dalam penalaran,” kata Rachmawati.

Sementara itu, Pengamat pendidikan yang juga mantan Rektor Universitas Negeri Jakarta Conny R Semiawan mengatakan pendidikan yang berlangsung di kelas dan sekolah belum memberikan perhatian pada perkembangan pemikiran anak didik, termasuk karakter dan kepribadian. “Yang selalu ditekankan soal intelektual yang dangkal, nggak mendalam, yang nggak memberi makna. Akhirnya, perkembangan anak didik kurang diperhatikan dari perilaku, pikiran, dan perasaan,” kata Conny.

Menurut Conny, para guru lebih sibuk memeprhatikan materi kurikulum yang sifatnya rata-rata harus dikuasai siswa itu tuntas. “Guru sibuk supaya isi kurikulum selesai. Hal ini karena pengawas bertanya sudah sampai halaman berapa diselesaikan, bukan anaknya yang diperhatikan apakah menguasai atau tidak. Ini jadi persoalan utama dalam pendidikan kita. Padahal, anak didik perlu layanan pendidikan yang melayani dirinya. Para guru perlu dikenalkan untuk memahami soal neurosains dan pendidikan, yakni bagaimana kerja otak supaya pendidikan bisa jadi sistem yang bisa membantu perkembangan manusia sedemikian rupa,” kata Conny. (ELN)