JAKARTA,KOMPAS-Tahun 1979 silam, lima seniman yang tergabung dalam Kelompok 5 Putri menggelar pameran bersama di Gedung Seni Sono Yogyakarta. Setelah hampir 40 tahun terpisah dan berkarya di sejumlah tempat, lima perupa alumni Sekolah Tinggi Seni Rupa "Asri" Yogyakarta (kini bernama Institut Seni Indonesia Yogyakarta) itu akhirnya bereuni lagi di Galeri Hadi Prana tahun 2017 lalu dan di Bentara Budaya Jakarta tahun ini.
Dengan lima gaya yang berbeda-beda, mereka mengusung tema sama "Becermin di mata Perempuan", Jumat (20/4/2018) malam di Bentara Budaya Jakarta yang dibuka budayawan Toeti Heraty. Kelima permpuan seniman itu adalah Aishah Abdul Latif, Dyan Anggraini, Hartina Ajir, Ria Andaryanti, dan Trinawangwulan atau Wawang.
Menurut Toeti, pertemuan kembali Kelompok 5 Putri ini merupakan keajaiban. "Kita perlu membawa diri kita ke masa lalu dan mencari saksi-saksi di mana kita pernah muda, remaja, belia, dan bersemangat. Saksi-saksi itu diperlukan untuk mendasari pertemuan atau reuni menjadi sebuah ekspresi kreatif,"ucapnya.
Setidaknya ada lima gaya yang terpancar dari kelompok ini, yaitu realisme modern, realisme imajinatif, abstrak formal, abstrak geometris, dan kaligrafi modern. Realisme modern Dyan yang memunculkan sosok-sosok potret diri yang empatik berpadu dengan realisme imajinatif Wawang dengan imajinasi sosok-sosok samar.
"Abstrak Aishah jelas merujuk ke materi non organik dan Tina melantunkan gaya abstrak meliuk-liuk lebih bebas, malah lebih semi-organik. Sementara Ria menampilkan kaligrafi modern. Kelima putri Kartini ini secara komprehensif kompak telah bergabung, serasi, dan asri,"papar Toeti.
Kurator Bentara Budaya, Ipong Purnama Sidhi tidak menyangka, setelah sekian dasawarsa kelima perupa ini muncul kembali dalam formasi yang utuh. Ipong masih ingat betul ketika Kelompok 5 Putri menggelar pameran di Seni Sono 39 tahun silam. "Pameran mereka pernah saya catat dalam sebuah jurnal. Setelah sekian lama, muncul kesadaran mereka untuk berunjuk karya di tengah pertumbuhan seni rupa. Pengalaman dan perjalanan waktu pasti mereka mengalami perubahan identitas karya,"ujarnya.
Kesetiaan Ibu
Dyan dalam salah satu karya instlasinya berjudul "Bunda" membuat deretan peniti-peniti raksasa dengan juntaian-juntaian pakaian perempuan mencoba menyuguhkan kesetiaan dan semangat pelayanan sosok ibu. "Ada sebuah kebiasaan ibu yang selalu menyematkan peniti pada bagian-bagian bajunya tak peduli apakah itu akan berfungsi atau tidak. Tapi, begitu anaknya suatu saat membutuhkannya, maka ibu langsung sigap mengambil peniti itu untuk menempelkan baju anaknya yang sobek atau kancing bajunya yang terlepas,"ungkapnya.
Sementara itu, Wawang mencoba menyuguhkan suasana musim dingin di Berlin dalam rupa realisme imajinatif berupa goresan-goresan lembut mengalun. Lukisan bernuansa coklat itu mewakili suasana hatinya ketika tinggal di Berlin.