Samsudin Berlian, yang dijuluki ”penggulat makna kata” oleh editor rubrik Bahasa, di Kompas terbitan Sabtu, 3 Maret 2018, agaknya terusik oleh frasa ”Agar Jaga Jarak Aman” yang dipasang di sepanjang jalan tol oleh polisi lalu lintas (atau Dinas Perhubungan?).
Para pengendara lain juga melihat peringatan itu, dan langsung tahu apa maksudnya. Secara intuitif frasa yang tidak benar itu bisa diterima oleh publik pengguna jalan tol.
Akan tetapi, pencinta bahasa Indonesia seperti Samsudin Berlian terpanggil untuk meluruskan frasa yang tidak benar itu. Koreksinya dapat kita terima, yakni ”Jagalah Jarak Aman”. Tanpa bermaksud membela polisi lalu lintas, biarlah saya bertanya, ”Apakah frasa di jalan tol itu tidak baik?”
Benar atau salah itu ditinjau dari kaidah tata bahasa, sedangkan baik atau tidak itu kena-mengena dengan tempat, waktu, suasana, dan dengan siapa kita berbahasa. Orang Jawa mengatakan bahwa berbahasa yang baik itu yang empan-papan (dan unggah-ungguh).
Lagi pula, frasa dan kalimat yang dipakai dalam peringatan kepada publik dan sebagai judul atau iklan tidak harus sempurna. Bahkan, dalam tata bahasa pun ada elipsis.
Di zaman penjajahan Belanda, gardu trafo milik ANIEM (Perum Listrik Hindia Belanda) dipasangi peringatan: Levensgevaar (Bahaya maut/Mengancam jiwa), lalu ditambahkan (dalam bahasa dan aksara Jawa): ”Sing ngemèk mati” (Yang menyentuh mati).
Sebagai peringatan kepada publik, kalimat ”yang menyentuh mati” itu dimengerti oleh masyarakat. Peringatan itu efektif. Kalimat itu juga benar (terdiri atas subjek dan predikat), meskipun agak taksa secara struktural. Apakah kalimat itu juga baik? Silakan ”digeluti” sendiri.
Samsudin Berlian juga memakai kata-kata pesastra, pefilsafat, dan pebahasa. Seandainya saya yang menulis di kolom Bahasa, saya akan memakai kata-kata sastrawan, filsuf (atau falsafawan), dan bahasawan. Awalan pe- mengawali kata-kerja (verba) seperti dalam pemirsa (bukan pirsawan, sebab pirsa bukan kata benda atau nomina).
Selain petinju, ada peninju. Dalam kata yang kedua ini bunyi wanda (syllable) pertama dari verba tinju luluh, sedangkan dalam kata yang pertama tidak. Ini untuk menunjukkan bahwa petinju itu orang yang bertinju sebagai profesi, sedang peninju ialah orang yang meninju orang lain.
Tulisan ini saya harapkan akan membujuk editor untuk membuka ragam ”Tanggapan dan Tangkisan” (Review and Rebuttal) dalam kolom Bahasa. Dengan demikian, menjadi kritis dan rubrik Bahasa ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Akhirul-kalam, izinkan saya bertanya, apakah Samsudin Berlian (dan para ”penggulat bahasa” lainnya) berani mengoreksi frasa ”mengentaskan kemiskinan” (yang sering kita dengar di masa Orde Baru, dulu)? Ataukah lebih bijaksana untuk membiarkan frasa itu menjadi ungkapan salah-kaprah (idiomatic misnomer)?