Usulan Revisi HPN Perlu Disikapi dengan Proporsional
JAKARTA, KOMPAS--Menyikapi protes keras dari sejumlah Persatuan Wartawan Indonesia daerah terkait usulan revisi Hari Pers Nasional (HPN), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) meminta sejumlah pihak menyikapinya dengan proporsional dan tidak emosional.
Pernyataan resmi kedua organisasi profesi jurnalis itu disampaikan Ketua Umum AJI, Abdul Manan dan KetuaUmum IJTI, Yadi Hendriana, dalam siaran pers, Jumat (20/4), di Jakarta. Hal itu tertuang dalam lima poin di bawah ini:
Pertama, meminta semua pihak untuk melihat soal ini secara bijak dan obyektif. Apa yang disampaikan AJI dan IJTI adalah upaya untuk menjawab aspirasi dari anggota AJI dan IJTI yang menghendaki agar ada penyelesaian dari keengganan kedua organisasi ini untuk terlibat dalam HPN.
Penyelesaian soal ini dilakukan melalui cara prosedural, yaitu meminta agar dibahas di komunitas pers dengan difasilitasi Dewan Pers. Penyelesaian masalah sebaiknya melalui jalan musyawarah dan dialog adalah cara demokratis dan bermartabat untuk menyelesaikan masalah, termasuk soal HPN.
Pihak AJI dan IJTI sejauh ini memakai cara prosedural untuk menuntaskan soal itu dan belum memakai cara legal, yakni mencari solusi atas kasus ini antara lain dengan menyoal dasar hukum HPN ke Mahkamah Agung. "Cara itu tak kami tempuh karena kami menganggap kita memiliki Dewan Pers, yang menjadi tempat berhimpun konstituen Dewan Pers," kata Abdul Manan dan Yadi Herdiana, dalam keterangan pers.
Cara itu tak kami tempuh karena kami menganggap kita memiliki Dewan Pers, yang menjadi tempat berhimpun konstituen Dewan Pers.
Jadi HPN ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985, yang dasar hukumnya memakai Undang Undang No 21 tahun 1982. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 ini sudah tak berlaku lagi setelah lahirnya UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Kedua, organisasi wartawan diminta bersikap proporsional dan tak emosional melihat perkembangan ini. Sikap memertanyakan Dewan pers adalah bentuk ketidaktahuan atas apa yang terjadi selama ini.
Dalam soal ini sikap Dewan Pers sudah benar dan tepat dengan menggelar pertemuan soal itu karena ada aspirasi dari konstituennya yang meminta, yaitu AJI dan IJTI. Jadi, gugatan terhadap Dewan Pers jelas sesuatu yang berlebihan, emosional, dan mendasarkan pada kemarahan tidak jelas.
Ketiga, keduanya menegaskan bahwa apa yang dilakukan AJI dan IJTI ini lebih sebagai upaya meminta komunitas pers memperbincangkan kembali soal penetapan HPN. "Kami tak punya kepentingan dengan hari lahir organisasi wartawan PWI yang diperingati setiap 9 Februari. Kami hanya minta ada peninjauan ulang untuk peringatan HPN yang juga memakai tanggal 9 Februari," kata mereka.
Hal itu disebabkan pemakaian tanggal yang sama untuk dua peringatan (hari lahir PWI dan HPN) menimbulkan kesan bahwa itu hanya hari peringatan untuk satu organisasi wartawan dan bukan hari lahir yang patut diperingati komuitas pers Indonesia. Tanpa ada perubahan signifikan, salah satunya berupa tanggal, akan sulit mengubah kultur pelaksanaan HPN secara signifikan.
Keempat, dalam pertemuan itu, wakil dari PWI memertanyakan apakah benar anggota AJI dan IJTI adalah wartawan. AJI dan IJTI juga menjawab dengan menyatakan, apakah benar anggota PWI semuanya wartawan.
"Tapi kami sepakat bahwa ini harus menjadi perhatian Dewan Pers. Oleh karena itu kami setuju Dewan Pers melakukan penertiban kepada anggota konstituennya. Salah satu caranya adalah, mengecek apakah anggota organisasi wartawan itu memang jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik atau bukan? Atau orang yang punya kartu pers dan mengaku sebagai wartawan tapi pekerjaannya hanya mencari uang dari nara sumber?" ucap mereka.
Pihaknya mengusulkan agar Dewan Pers membuka pengaduan soal ini. Contohnya, meminta publik memberi laporan atas praktik seperti ini di masyarakat. Sebab, umum terdengar bahwa ada orang mengaku punya kartu pers atau kartu organisasi wartawan meski sebenarnya orang itu tak berhak memilikinya karena dia sebenarnya berstatus pegawai negeri atau lainnya, yang intinya tak ada kaitannya dengan kerja jurnalistik.
Kelima, kami menghormati upaya Dewan Pers dengan menggelar pertemuan untuk membahas soal itu. Seperti yang disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu untuk mendengarkan pandangan komunitas pers atas usulan AJI dan IJTI yang minta perubahan tanggal HPN.
Seusai pertemuan, Dewan Pers akan merangkum usulan itu dan membahasnya di internal Dewan Pers. AJI dan IJTI, sebagai pengusul penggantian HPN, akan menyatakan sikap setelah ada hasil resmi dari Dewan pers atas usulan tersebut.
Diusulkan ke Dewan Pers
AJI dan IJTI mengajukan usulan perubahan tanggal HPN yang selama ini diperingati setiap 9 Februari. Usulan yang disampaikan pada Maret 2018 itu direspons Dewan Pers dengan menggelar pertemuan terbatas pada Rabu, 18 April 2018, di lantai 7 Gedung Dewan Pers di Jl Kebon Sirih Jakarta.
Pertemuan itu dihadiri anggota dan mantan anggota Dewan Pers serta konstituen Dewan Pers. Antara lain, wakil dari AJI, IJTI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).
Dalam pertemuan sekitar 3 jam itu wakil dari AJI dan IJTI menyampaikan apa dasar pemikiran munculnya usulan revisi tanggal pelaksanaan HPN dan dituliskan secara lengkap dalam bentuk kajian sejarah.
Wakil dari konstituen Dewan Pers menyampaikan pandangannya terhadap usulan AJI dan IJTI itu. Ada sejumlah pandangan atas usulan tersebut. Seperti disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu baru sebatas mendengarkan masukan dari konstituen sehingga belum ada keputusan atas usulan AJI dan IJTI itu.
Menjelang pembahasan ini, soal revisi HPN ini sudah menjadi perdebatan hangat di komunitas media. PWI dari sejumlah daerah sudah mengeluarkan pernyataan, yang isinya antara lain memertanyakan sikap Dewan Pers yang berencana merevisi HPN; mendesak agar PWI mensomasi Dewan Pers dan mengganti ketuanya karena memfasilitasi pertemuan itu; mendesak PWI pusat menarik wakilnya dari Dewan Pers; dan menyatakan HPN tanggal 9 Februari adalah harga mati.
Menyikapi hal itu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley mengungkapkan, banyak pihak termakan berita-berita bohong atau hoaks terkait usulan perubahan HPN. "Ada berita hoaks yang menyebar bahwa Dewan Pers sudah mengubah HPN. Seharusnya mereka paham bahwa yang berhak ubah HPN adalah Presiden," kata Stanley, Kamis (19/4/2018) di Jakarta.
Menurut Stanley, bahwa Dewan Pers memfasilitasi konstituen untuk mendiskusikan kemungkinan menemukan hari pers yang tepat itu memang kewajiban Dewan Pers. Apalagi ada dua konstituen yang meminta, yaitu Aliansi Jurnalis Independen dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia.
Permintaan tentang sistem keanggotan Dewan Pers diatur secara proposional kembali dilayangkan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Ilham Bintang. Menurutnya, sebagai anggota Dewan Pers dengan jumlah anggota terbesar, sudah sewajarnya PWI mempunyai suara di Dewan Pers yang sebanding dengan jumlah anggotanya.
"Keputusan Dewan Pers tidak pernah dibuat berdasarkan voting karena hubungan di dalamnya kolektif kolegial, seluruhnya mufakat. Ada sesuatu yang salah dengan pikiran-pikiran itu, yaitu menyamakan Dewan Pers dengan Parpol atau DPR, yang paling banyak yang menentukan. Ini kan kacau," kata Stanley.