DPR Diminta Tetap Pertahankan Sembilan Jenis Kekerasan Seksual
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat diminta untuk tetap mempertahakan sembilan bentuk atau jenis kekerasan seksual yang masuk dalam draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Kesembilan jenis kekerasan tersebut merupakan elemen kunci, karena pengaturan terhadap berbagai kekerasan tersebut akan menjadi solusi terhadap hukum positif di Indonesia.
Hingga kini, aturan perundang-undangan yang berlaku belum mampu menanggulangi korban dan melindungi hak-hak korban kekerasan seksual, menangani kasus secara komprehensif, dan mencegah berulangnya kejahatan seksual.
Kesembilan jenis kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
“Kami berharap DPR membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan tetap mempertahankan sembilan bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU tersebut,”ujar Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti, Rabu (11/4/2018, di Jakarta.
Kemarin, sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam JKP3 berdiskusi dengan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (FPDI-P) di DPR, membahas usulan dan masukan JKP3 terkait Daftar Isian Masalah (DIM) dan sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Kami juga berharap DPR memperbaiki definisi-definisi kekerasan seksual sesuai dengan usulan JKP3, serta memperbaiki definisi-definisi dari bentuk kekerasan seksual agar lebih implementatif sehingga tidak membebankan korban untuk proses pembuktiannya,” ujar Ratna.
Anggota DPR, terutama yang masuk dalam Panitia Kerja (Panja) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR diharapkan mempertajam rumusan-rumusan dalam RUU tersebut sehingga lebih sesuai dengan situasi di lapangan.
“JKP3 telah menyerahkan DIM khususnya Bab V tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual untuk masukan kepada anggota Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” tambah Ratna.
Permintaan kepada DPR untuk tetap mempertahankan sembilan jenis kekerasan seksual, karena beberapa waktu yang lalu, akhir tahun lalu dalam pertemuan dengan DPR, Pemerintah yang diwakili Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengusulkan agar sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang masuk dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikurangi menjadi empat.
Bahkan, dalam DIM yang disusun pemerintah hanya empat jenis kekerasan yang dimasukkan. Itu pun kalimatnya diganti, yakni pencabulan persetubuhan dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, eksploitasi seksual, dan penyiksaan seksual.
Kementerian PPPA beralasan jenis-jenis kekerasan yang diusulkan dalam RUU tersebut telah diatur dalam KUHP dan peraturan lain.
Politik membangun peradaban
Anggota DPR dari Fraksi PDI-P Diah Pitaloka yang juga anggota Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menegakan fraksinya sangat serius membahas dan memperjuangan RUU Penghapusan Kekerasan agar segera disahkan menjadi undang-undang.
“Posisi Fraksi PDI-P tidak Cuma mendukung, tapi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kami anggap penting dalam rangka politik membangun peradaban. RUU tersebut bagus untuk revolusi paradigma hukum di Indonesia agar lebih berperspektif jender, lebih peka terhadap kondisi perempuan di Tanah Air,” ujarnya.
Karena itulah, Fraksi PDI-P sangat terbuka terhadap berbagai aspirasi publik, karena hal tersebut akan menjadi masukan yang baik dalam proses pembahasan RUU tersebut. Ia mencontohkan, masukan-masukan yang terkait dengan pasal-pasal yang mengatur tentang kekerasan seksual yang menimpa penyandang disabilitas dan anak-anak, juga mendapat perhatian penuh dari fraksinya.
Selain JKP3 masukan-masukan terkait draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga terus disampaikan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL) terhadap korban kekerasan yang beranggotakan organisasi-organisasi di lebih 30 provinsi, serta organisasi lainnya.
Sri Nurherwati, Komisioner Komnas Perempuan berulangkali mengungkapkan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak dibahas dan disahkan menjadi UU, guna mengatasi kekosongan hukum atas jenis-jenis kekerasan seksual yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Adapun mengenai rumusan kekerasan seksual yang terhadap dalam draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, semuanya berasal dari kasus-kasus yang pernah terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dan merupakan hasil pendokumentasian lembaga pengada layanan berbasis masyarakat.