JAKARTA, KOMPAS -- Kasus perdagangan orang atau trafficking dan eksploitasi seksual yang menyasar anak di bawah umur berkembang dengan modus baru. Pengawasan secara partisipatoris yang melibatkan penegak hukum dan masyarakat perlu dibangun guna mendeteksi dan melaporkan adanya kejahatan terhadap anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto di Jakarta, Selasa (3/4/2018), mengatakan, KPAI mengkaji tren kasus perdagangan orang dan eksploitasi anak yang muncul pada awal tahun ini. Modus baru yang perlu diwaspadai antara lain merekrut teman sebaya dalam komunitasnya, seperti anak-anak jalanan yang diajak dan diperkenalkan kepada warga negara asing oleh teman sebaya anak yang menjadi korban.
Selain itu, transaksi terjadi secara elektronik melalui media sosial atau kelompok grup tertentu sehingga memudahkan praktik eksploitasi seks komersial, bahkan anak-anak masuk dalam jaringan prostitusi.
Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak, Ai Maryati Sholihah, mengatakan, tempat eksploitasi seksual komersial tidak lagi hanya tempat hiburan, hotel, atau daerah wisata. ”Apartemen, bahkan rumah pribadi juga menjadi tempat prostitusi. Hal ini lebih menyulitkan aparat untuk mendeteksi terjadinya kejahatan di ruang privat,” kata Ai.
Sementara itu, untuk kasus eksploitasi ekonomi yang melibatkan anak, muncul lewat penawaran magang palsu kepada sekolah-sekolah kejuruan. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan, magang siswa SMK ke luar negeri diminati meski mereka mendapatkan jam kerja yang panjang hingga 18 jam per hari, gaji rendah, dan tidak diperlakukan secara manusiawi.
Modus magang palsu
Menurut Retno, kasus magang siswa SMK di luar negeri, disertai praktik eksploitasi, termasuk kategori trafficking. KPAI menelusuri laporan dari sebuah media yang menyebutkan ada 600 korban di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur sejak 2009. Siswa dikirim magang ke Malaysia dengan visa kunjungan yang berlakunya sekitar tiga bulan. Namun, ada siswa yang hingga 15 bulan belum kembali.
Retno menambahkan, berdasarkan koordinasi dengan Kepolisian Daerah NTT Bidang Trafficking, tahun 2016-2018 ada 38 kasus perdagangan orang usia anak, di luar kasus modus magang di luar negeri. ”Kasus yang terungkap soal modus magang palsu ini harus ditelusuri serius. Sekolah tidak menyadari mereka terlibat sebagai perantara. Sekolah hanya merasa bangga siswanya bisa magang di luar negeri, tetapi tidak memahami eksploitasi yang terjadi pada siswa,” kata Retno.
Terkait kasus trafficking anak berkedok magang, Retno mengatakan, KPAI meminta agar semua sekolah kejuruan waspada terhadap modus baru sindikat perdagangan orang tersebut. ”Kami mendorong Kemdikbud mengawasi secara ketat program magang di luar negeri bagi siswa SMK. Harus ada rekomendasi dari kedutaan besar RI di negara tujuan dan ada pemantauan ke perusahaan tujuan magang di luar negeri,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan M Bakrun mengatakan baru mengetahui ada kasus siswa SMK yang magang di luar negeri dan dieksploitasi dari media sosial. ”Saya sudah cek ke Jawa Tengah dan NTT, tetapi belum mendapat jawaban,” kata Bakrun.
Dari kajian KPAI soal kasus trafficking dan eksploitasi anak pada awal tahun 2018, terdapat korban trafficking sebanyak 8 kasus, anak korban eksploitasi seks komersial anak 13 kasus, anak korban prostitusi 9 kasus, dan anak korban eksploitasi ekonomi 2 kasus. Jika melihat akumulasi data Bareskrim Polri tentang tindak pidana perdagangan orang pada 2011-2017, terdapat 422 kasus anak korban kejahatan trafficking. Modus tertinggi adalah eksploitasi seksual.
Komisioner KPAI, Susianah Affandy, mengatakan, masyarakat harus diajak menjadi pengawas secara partisipatoris di lingkungannya. Hal ini diperlukan mengingat kasus-kasus tertentu dilakukan di lingkungan terdekat, sampai di rumah yang merupakan penghuninya sendiri.
”Masyarakat diharapkan punya kepedulian, keberanian, dan tergerak hatinya untuk segera mengadukan dan melaporkan jika terjadi hal-hal janggal yang berkaitan dengan perdagangan orang, terutama menyasar anak- anak,” kata Susianah. (ELN)