Anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata (tunagrahita) kerap masih dipandang sebelah mata. Mereka dianggap tidak bisa berkegiatan sama dengan manusia normal lain. Namun nyatanya, mereka bisa tetap berkarya di tengah segala keterbatasan yang mereka miliki apabila mereka diberikan kesempatan.
Pementasan drama musikal yang dibawakan oleh anak-anak tunagrahita dari Yayasan Tri Asih (yang berada di bawah naungan Keuskupan Agung Jakarta), Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengamini pernyataan bahwa mereka juga memiliki kesempatan yang sama dengan manusia pada umumnya. Pada umur 6-24 tahun, mereka berusaha mengekspresikan kemampuannya dalam bidang seni drama sambil bernyanyi.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Tri Asih TA Widhiharsanto mengatakan, penampilan seni drama oleh anak-anak tunagrahita ingin memperkenalkan bahwa sebenarnya mereka memiliki potensi yang bisa dikembangkan.
”Masyarakat harus tahu, mereka sama dengan yang lain. Kalau kita tidak beri kesempatan, mereka tidak akan bisa. Justru kita yang harus beri mereka kesempatan. Dilihat potensinya, lalu dikembangkan. Buktinya, mereka mampu,” ujar pria yang kerap disapa Widhi, seusai pentas drama musikal bertajuk ”Amelia dan Alien” pada Sabtu (17/3) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pementasan berlatarkan kehidupan laut. Sepasang kekasih, Raja Paus dan Ratu Buntel, dari Kerajaan Banyu Biru sedang menantikan kelahiran anak mereka. Mereka berharap memiliki putri yang pintar, bijaksana, yang akan melanjutkan takhta kerajaan.
Berselang waktu, sang anak lahir dan dinamakan Amelia. Setelah beranjak dewasa, Amelia dimasukkan ke sekolah pada umumya. Namun, sayang, berselang beberapa tahun, sang guru memanggil kedua orangtua Amelia dan mengabarkan kabar buruk bahwa Amelia memiliki hambatan dalam mengikuti pelajaran dibandingkan teman-teman lain. Amelia pun direkomendasikan untuk masuk sekolah luar biasa.
Amelia pun tidak tinggal bersama kedua orangtuanya lagi. Amel kerap murung, tetapi teman-teman di sekolah selalu menghiburnya. Mereka saling menyemangati satu sama lain sehingga akhirnya Amelia bisa berjuang melawan kesedihannya. Amelia tumbuh sebagai anak yang bahagia dan terus mengembangkan potensinya dalam bernyanyi hingga kedua orangtuanya melihatnya dengan sangat bangga.
Sutradara Maria Dewi Arjani mengatakan, konsep cerita dibuat sederhana agar mudah dipahami oleh anak-anak. Adegan-adegan pun dibuat agar semua anak bisa ikut bermain, baik menggunakan kursi roda yang tampil sebagai bunga karang maupun anak-anak berumur 6 tahun yang tampil berseliweran sepanjang adegan sebagai ikan-ikan kecil. Dewi menambahkan, latihan drama sudah mulai dilakukan sejak September 2017.
”Mereka melakukan semuanya dengan sukacita. Jadi, mereka juga tertarik terus belajar menghafal peran mereka masing-masing meski masih harus kami bantu,” ujar Dewi.
Memanusiakan manusia
Pastor Vikaris Episkopalis Keuskupan Agung Jakarta Andang L Binawan mengatakan, dengan segala macam keunikan anak-anak tunagrahita, mereka telah memberikan tampilan yang tidak biasa dilakukan mereka sendiri. Penampilan anak-anak itu menunjukkan bahwa perbedaan fisiknya dengan anak-anak normal lain tidak pernah membatasi seseorang untuk berkarya.
”Mereka hanya berbeda, bukan kurang. Kurang hanya ukuran-ukuran yang kita ciptakan, tetapi apakah mereka sungguh-sungguh kurang? Saya kira dengan segala macam upaya ini, mereka bukan kurang, hanya berbeda. Ini adalah bentuk kita memanusiakan manusia, bahkan memuliakan manusia. Anak-anak ini kita muliakan sebagai manusia agar sama seperti kita. Apa yang diciptakan menurut kita kurang, tetapi ada maknanya, ada artinya,” ujar Andang.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Eusabius Binsasi menuturkan, kebinekaan pun tidak sekadar dilihat dari aspek keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan. Kehadiran anak-anak tunagrahita merupakan bagian dari kebinekaan itu.
”Kehadiran mereka mewarnai kebinekaan, keberagaman di Indonesia, yang kita juga perlu angkat harkat dan martabat mereka sehingga kita sebagai manusia sederajat dan sama dengan yang lain,” ujar Eusabius.
Eusabius mengatakan, anak-anak tunagrahita itu memang tidak bisa menyampaikan ekspresinya melalui bahasa verbal atau tingkah laku yang jelas, tetapi mereka mampu mengungkapkan itu semua melalui hati mereka yang disalurkan lewat seni drama. Karena itu, ia menyebut, penampilan itu merupakan pertemuan antarjiwa.
”Dalam seni, jiwa berbicara antarjiwa. Saya senang banyak orang menerima dan mendengar sapaan mereka dengan jiwa. Pendekatan hati lebih penting untuk memahami situasi yang tidak pernah tersampaikan dengan kata-kata,” ujar Eusabius.