YOGYAKARTA, KOMPAS – Pemerintah dituntut memetakan permasalahan informasi dan komunikasi yang muncul akibat semua orang bebas memproduksi konten apa pun di media sosial. Regulasi dibutuhkan untuk mengamankan lalu lintas pengguna internet Indonesia dari penyebaran konten negatif.
Hal tersebut terungkap dalam seminar bertajuk “Inisiasi Rancangan Regulasi Media di Era Integrasi Media Lama dan Media Baru” di Yogyakarta, Rabu (21/3). Seminar diadakan oleh Yayasan Penelitian Pengembangan Profesi Jurnalisme (Yayasan LP3J) pimpinan Ashadi Siregar.
Pendiri Indonesia New Media Watch, Agus Sudibyo, menyatakan selain pembuat konten, penyedia layanan media sosial juga wajib bertanggung jawab atas penyebaran berita bohong atau ujaran kebencian yang tersebar lewat media sosial.
“Pemerintah dan penegak hukum Indonesia menangani penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong di media sosial dengan terlalu fokus menindak para pembuat berita bohong atau ujaran kebencian,” kata Agus.
Sementara Pemerintah Jerman, lanjut Agus, Sejak 2017 telah menerapkan denda bagi perusahaan media sosial yang menyebarkan berita bohong dan tak menghapuskannya dalam waktu 24 jam. Untuk tiap berita bohong tersebut diterapkan denda hingga 500.000 euro, setara Rp 7 miliar.
“Inilah perbedaan mencolok antara Indonesia dan Amerika Serikat atau negara-negara Uni Eropa, dalam upaya membendung penyebaran konten negatif melalui jejaring digital,” ujarnya.
Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belum secara spesifik merumuskan tanggung jawab perusahaan penyedia aplikasi media sosial sehingga penegakan hukum hanya terfokus kepada pengguna media sosial.
UU ITE menyamaratakan pengguna media sosial, perusahaan media sosial, portal berita, e-commerce, perusahaan mesin pencari (search engine), dan pengelola laman pada satu kategori yang sama yakni penyelenggara sistem elektronik.
Negara, lanjut Agus, harus hadir memberikan regulasi yang memadai untuk melindungi kepentingan publik. Namun regulasi harus dibuat berdasarkan roadmap atau peta jalan yang jelas sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik warga Indonesia pengguna internet.
Tenaga Ahli Kementerian Komunikasi dan Informasi Bidang Komunikasi Publik, Freddy Tulung, mengatakan dunia siber terus berkembang dengan berbagai permasalahan teknis yang juga cukup kompleks. Pemerintah tetap berusaha menyusun regulasi yang mampu mengakomodasi permasalahan-permasalahan tersebut.
“Indonesia membutuhkan strategi agar penggunaan dan pemanfaatan internet dapat sejalan dengan tujuan dan budaya bangsa. Sampai saat ini, kultur serta perilaku dunia siber masyarakat Indonesia belum memiliki corak yang jelas dan sesuai dengan kepentingan negara,” kata Freddy.
Permasalahan lain adalah Indonesia bersama Laos menjadi dua negara di kawasan Asia Tenggara yang belum memiliki regulasi terkait keamanan data pribadi. Situasi ini memprihatinkan mengingat generasi muda saat ini lebih memilih mencari informasi di media sosial dibanding media mainstream.
“Di Laos, regulasi keamanan privasi internet dan media sosial akan terbit sekitar Juni tahun ini. Artinya Indonesia akan jadi satu-satunya negara yang tidak punya regulasi keamanan internet,” ujar Freddy.
Medsos nasional.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, mengatakan pemerintah harus bergegas untuk mengembangkan infrastruktur untuk mendukung pengembangan media digital nasional lewat pengembangan mesin pencari dan media sosial.
“Mesin pencari dan media sosial adalah suatu keharusan jika mempertimbangkan betapa strategis kedudukan keduanya bagi kehidupan ekonomi, politik, dan sosial suatu bangsa,” ujarnya.
Pemerintah, lanjut Wahyudi dapat belajar dari pengalaman Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Rusia, dan Brasil, mengembangkan mesin pencari dan media sosial nasional. Sebagai contoh, Korea Selatan berhasil mengembangkan mesin pencari naver.com dan media sosial Kakaotalk sehingga warga lokal mulai meninggalkan Google dan Facebook.