JAKARTA, KOMPAS – Standar pengujian bahasa Inggris dalam pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada tahap akhir masa belajar, tanpa memberikan perhatian khusus dalam setiap proses pembelajaran. Hal itu disebabkan Indonesia belum memiliki standar pengujian sendiri. Padahal, standar pengujian itu penting untuk mencetak lulusan yang cakap dalam berbahasa Inggris untuk meningkatkan kemampuan diri dalam persaingan global.
Hal itu menjadi pembahasan utama dalam Simposium Nasional Pengujian Bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh British Council di jakarta, Senin (19/3). Simposium dihadiri oleh para pakar dan praktisi pendidikan dari berbagai sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan, politeknik, dan universitas.
Direktur British Council Indonesia Paul Smith mengatakan, di era globalisasi, standar pengujian bahasa Inggris yang berkualitas menjadi kunci sukses di dunia kerja. Bahasa Inggris tidak cukup hanya dilihat sebagai subyek pendidikan, tetapi juga untuk meningkatkan kapasitas kemampuan diri seseorang.
“Negara harus memiliki strategi nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan bahasa Inggris kepada masyarakatnya. Itu penting untuk kemampuan mereka dalam menjawab tantangan bahasa Inggris sebagai bahasa bisnis dan profesi di tingkat internasional,” ujar Paul saat ditemui di sela-sela acara simposium di Hotel Millenium, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (19/3). Adapun, selain diselenggarakan di Jakarta, simposium tersebut juga akan diselenggarakan di Surabaya (21/3) dan Yogyakarta (23/3).
Pakar pelatihan guru dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Itje Chodidjah, mengatakan, selama ini para guru hanya menilai siswa pada akhir masa belajar. Mereka lupa bahwa proses pengujian penting di setiap tingkatan dalam proses pembelajaran sebagai tolok ukur kemampuan bahasa Inggris dari peserta didik.
“Yang terjadi sekarang justru tes dilakukan di tahap akhir, tanpa kita tahu prosesnya seperti apa. Dalam artian, tes bukan untuk mendapatkan informasi bagaimana memperbaiki kualitas kemampuan bahasa Inggris dari peserta didik, tetapi untuk melakukan judgment bahwa anak-anak belum bisa,” ujarnya.
Itje menuturkan, seharusnya, guru sudah memiliki tujuan pembelajaran kemudian menyiapkan materi untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam proses belajar, guru perlu memotong-motong materi-materi itu sesuai standar kompetensinya dan melakukan pengujian.
“Indonesia sudah harus sesegera mungkin untuk mengembalikan proses assessment sebagai bagian dari proses pembelajaran agar anak-anak kita tidak menganggap bahasa Inggris hanya mata pelajaran untuk lulus tes, tetapi bagian dari penguatan life skill,” kata Itje.
Tidak sesuai kebutuhan
Guru bahasa Inggris SMKN 57 Jakarta Ida Mariyati mengatakan, kurikulum bahasa Inggris di SMK masih belum menyesuaikan kebutuhan dunia industri. Selama ini standar kompetensi mata pelajaran bahasa Inggris di SMK disamakan dengan SMA di mana kedua sekolah itu memiliki perbedaan dalam mencetak lulusan.
“Kurikulum yang ada lebih banyak untuk kuliah, sedangkan mereka kan kejuruan di mana nanti tujuannya ke dunia industri, berarti percakapan dan penerapan. Tetapi, selama ini kebanyakan reading. Jadi mereka buat skill berbicara masih kurang,” ujar Ida.
Ida juga tidak memungkiri kompetensi dari guru bahasa Inggris di SMK masih kurang karena tidak ada keinginan meningkatkan keterampilannya. Bahkan, ada guru kejuruan yang juga sekaligus mengajar bahasa Inggris.
“Padahal, kemampuan bahasa Inggris ini tidak sekadar bisa berkomunikasi, tetapi harus benar-benar mengerti dan paham teori dan praktiknya,” tuturnya.
Kepala Konsentrasi Penerjemahan Bahasa Inggris dari Politeknik Negeri Jakarta Ina Sukaesih menuturkan, bagi mahasiswa-mahasiswi di politeknik, pendidikan bahasa Inggris merupakan ilmu pendukung di tiap-tiap program studi.
“Kendalanya, waktu jam mata kuliah itu untuk Bahasa Inggris sebagai supporting subject di beberapa program studi sangat terbatas, satu minggu paling banyak empat jam. Itu buat reading saja bisa menghabiskan waktu keseluruhan, sebelum kita masuk ke tahap berikutnya,” kata Ina.
Staf Ahli Bidang Akademik Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Paulina Pannen mengaku, Indonesia memang belum memiliki standar kompetensi pendidikan bahasa Inggris. Selama ini, pendidikan di Indonesia hanya berpanduan pada standar kompetensi dari TOEFL (Test of English as a Foreign Language) dan IELTS (International English Language Testing System).
“Jadi, sebetulnya kita mengikuti standar internasional, cuma sayang ketika standar nasional ini cukup tinggi, kita untuk mengikutinya kayak loncat. Nah, kadang-kadang orang-orang kita tidak bisa loncat setinggi itu,” ujarnya.
Karena itu, menurut Paulina, penting adanya standar pengujian di tiap-tiap tingkatan pembelajaran bahasa Inggris sehingga mempermudah anak didik dalam pemahaman. Menurut dia, hal itu juga perlu bantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam memasukkan standarisasi di tingkat pendidikan vokasi.
“Kita harus punya di Indonesia sendiri standar-standar yang akan menjadi tangga untuk nanti mencapai standar internasional sehingga anak kita akan lebih mudah. Kepentingan utama adalah standar itu penting untuk anak-anak SMK agar memiliki daya saing global,” katanya.
Paulina mengatakan, Kemenristek dan Dikti akan membangun sebuah pusat pengujian nasional (national testing centre) untuk bahasa Inggris. Tujuannya agar Indonesia memiliki standar di satu pusat tersendiri.
"Secepatnya akan dibangun. Kalau sudah ada itu, semua akan terstandarisasi. Dengan standarisasi seperti itu, kita juga bisa duduk bareng dan sejajar dengan negara luar secara global karena validitas dan reliabilitas pasti diurus di situ,” ujarnya. (DD18)