JAKARTA, KOMPAS - Para sineas dituntut memiliki standar kompetensi agar dapat melaksanakan pekerjaan secara profesional dan menghasilkan film yang berkualitas. Namun, standar kompetensi yang ada saat ini dinilai belum lengkap. Perlu ada penambahan beberapa aspek yang harus menyesuaikan dengan perkembangan film.
Sertifikasi Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bagi para pekerja film dilakukan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Dalam sertifikasi tersebut, ada empat aspek yang diujikan, yakni tata suara, tata kamera, tata artistik, dan editing.
Wakil Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BFI) Dewi Umaya mengatakan, keempat aspek tersebut masih belum bisa mewakili seorang sineas mampu menciptakan film yang berkualitas. Ia menilai setidaknya masih ada sembilan aspek lagi yang perlu dimasukkan dalam uji kompetensi para sineas.
"Saat ini standar-standar tersebut sedang digodok. Beberapa hal penting belum masuk yang menyangkut teknik perfilman di era digital, itu juga perlu ada standar-standarnya untuk semakin meningkatkan kapasitas dan daya saing para sineas Indonesia," ujar Dewi dalam Taklimat Media Perayaan Hari Film Nasional 2018 di Plaza Senayan, Jakarta, Jumat (17/3) malam.
Acara tersebut juga dihadiri oleh beberapa aktris dan aktor senior seperti Ray Sahetapy, Niniek L Karim, dan Slamet Rahardjo.
Menurut Dewi, SKKNI akan mendorong para sineas untuk bisa bersaing dengan para sineas dari luar negeri dan menciptakan film yang makin berkualitas. Dewi menambahkan, terkait sertifikasi nanti, pihaknya juga telah menyiapkan sekitar 40 asesor di bidang perfilman.
Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) \'56 Marcella Zalianty menuturkan, SKKNI penting dalam upaya mempersiapkan bibit-bibit muda insan perfilman yang sesuai dengan kebutuhan. Apalagi, ia menilai, di era semakin canggih dan mudah dalam menciptakan sesuati, para sineas muda kerap mengesampingkan kompetensi-kompetensi dasar dalam sebuah film.
"Kehadiran SKKNI akan membuat regenerasi para sineas semakin kompetitif, berbudaya, dan kreatif," tutur Marcella.
Jaga kualitas
Produser film Night Bus, Darius Sinathrya, menuturkan, menjaga kualitas film tidak hanya sekadar memberikan sebuah tayangan hiburan. Menurut dia, sebuah film sepatutnya juga mengandung pesan moral.
"Jadi, ranahnya tidak semata-mata industri, tetapi budaya dan pendidikan," ujarnya.
Produser dari Max Pictures Ody Mulya Hidayat mengatakan, film yang diterima oleh masyarakat adalah film yang unik atau memiliki genre yang berbeda dengan film yang sedang ramai di pasaran. Prinsip itulah yang Ody terapkan ketika menggarap film Dilan 1990, yang hingga saat ini mencapai sekitar 6,3 juta penonton.
"Saya lihat kompetisinya ketika itu film horor lagi ramai, tetapi saya coba untuk buat hal yang beda. Film semasa SMA yang lucu, konyol, unik, dan cerdas. Selain tidak ada saingannya, orang pasti juga akan penasaran," ujar Ody.
Menurut Ody, ada beberapa aspek yang menentukan kualitas dari sebuah film, seperti sutradara, para pemain, nilai produksi (production value), set film, konten, dan promosi.
"Kalau unsur-unsur itu sudah terpenuhi pasti penonton akan berbondong-bondong datang ke bioskop. Jadi, introspeksi diri kita, apakah kita telah membuat film yang berkualitas yang layak untuk diapresiasi oleh penonton," tuturnya.
Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Maman Wijaya mengatakan, pihaknya selalu membuka ruang bagi para sineas yang ingin meningkatkan kompetensi, baik bergelar sarjana atau pun pelatihan film. Pada 2017, ia menyebut sekitar 1.200 calon sineas mengikuti pelatihan dan sebanyak 30 orang tiap tahun untuk sarjana perfilman di Institut Kesenian Jakarta.
"Jadi kami harap para sineas ini lebih aktif mengembangkan kompetensi dirinya," ujarnya.
Maman juga berharap agar para sineas tidak hanya melihat film sebagai barang komoditas, tetapi produk kebudayaan.
"Mau laku atau tidak laku, sepanjang film itu punya nilai budaya, kami pasarkan dengan cara Kemdikbud. Kami bisa sebarkan film tersebut kepada sektiar 57 juta siswa di Indonesia. Karena. pasar film kebanyakan di usia 14 hingga 22 tahun," tuturnya. (DD18)