Pelaksanaan Program Indonesia Pintar Perlu Pengawasan
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pelaksanaan program Kartu Indonesia Pintar masih menuai beberapa permasalahan di lapangan, seperti pendistribusian dan pencairan. Perlu ada sinergisitas antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, dan perbankan, agar tujuan program untuk pengentasan angka putus sekolah tersebut dapat terwujud.
Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), dari Juli 2017 hingga Februari 2018, setidaknya terdapat 112 aduan terkait pelaksanaan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Aduan tersebut meliputi, tidak ada keterlibatan publik dalam memonitor data KIP (5 aduan), tidak ada data aktual KIP (8 aduan), keterlambatan pencairan KIP (10 aduan), kesulitan pencairan KIP (27 aduan), KIP tidak tepat sasaran (30 aduan), dan distribusi KIP tidak merata (32 aduan).
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji di Jakarta, Selasa (13/3), mengatakan, permasalahan-permasalahan di lapangan menunjukkan optimalisasi program KIP belum berjalan optimal.
"Di lapangan ternyata masih ada keluhan-keluhan yang perlu segera diselesaikan. Beberapa siswa masih belum mendapat akses pendidikan. Harus ada data yang akurat soal pendataan KIP," ujar Ubaid.
Pendistribusian KIP belum bisa menjangkau daerah-daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Selain itu, KIP juga belum bisa diakses oleh anak-anak yang tereksklusi. Di beberapa kasus juga dialami soal keterlambatan pencairan.
"Misal daerah Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, di beberapa daerah akses sekolah jauh, juga terjadi di Solok Selatan, medannya pegunungan. Kalau pun ada yang dapat akses, tetapi ke bank-nya susah," ujar Ubaid.
Berdasarkan data Kemdikbud per 11 Maret 2018, KIP sudah tersalurkan kepada sebanyak 18.248.287 anak usia 6-21 tahun. Penerima mencakup anak dari keluarga tidak mampu yang ada di sekolah dan anak yang tidak sekolah.
Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Monitoring Implementasi Kebijakan Alpha Amirrachman, menuturkan, pencairan dana KIP sudah mencapai 74 persen atau 13.424.149 anak.
Pencairan dana sebesar 26 persen belum terealisasi karena beberapa hal, seperti siswa kesulitan mengaktivasi rekening karena terkendala akses ke bank, dan siswa sengaja tidak mengaktivasi rekening agar uang terkumpul.
"Kalau di usia 21 tahun ke atas uang itu belum diambil juga, uang itu mau tidak mau harus kembali ke negara," ujar Alpha.
Karena itu, lanjut Alpha, pihaknya terus mendorong pemerintah daerah, sekolah, dan perbankan untuk secara aktif memberi tahu kepada siswa dan orangtua agar segera mencairkan KIP. Uang tersebut akan membantu mengentaskan masyarakat miskin, membuka akses pendidikan, dan memastikan anak-anak miskin tidak putus sekolah.
Terkait keluhan kesulitan pencairan dana, Alpha mengatakan sudah memberi kemudahan kepada siswa yang tinggal di daerah 3T untuk mencairkan dana KIP secara kolektif oleh pihak sekolah. Untuk aktivasi rekening, syarat yang diperlukan cukup fotokopi rapot dan surat keterangan dari kepala sekolah.
"Kami mendorong perbankan untuk ikut memudahkan. Sebagaimana pesan mendikbud agar pemerintah daerah, sekolah, dan perbankan di daerah aktif mendorong percepatan pencairan," ujarnya.
Alpha menuturkan, Kemdikbud melalui Data Pokok Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dapodikdasmen) akan terus berkoordinasi dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dari Kementerian Sosial terkait sinkronisasi data penerima KIP. Hal itu untuk meminimalisir kesalahan sasaran. (DD18)