Di dinding tembok berwarna coklat terpampang lukisan sepasang mata yang tengah menerawang. Bagian hidung ke bawah tampak terpisah. Bibirnya tertutup rapat dengan goresan gincu merah melebar seperti wajah Semar, sang pamomong dengan tulisan Mr President Semar???
Lukisan berjudul "Semar Tersamar" itu adalah satu dari 30 karya perupa Zaenal Arifin yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, 2-10 Maret 2018. Pameran ini dibuka oleh dosen sekaligus pemerhati seni Tommy F Awuy yang juga menampilkan beberapa lagu Pink Floyd di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (1/3) malam.
Dengan konsep dasar melukis di atas tembok, Arifin mencoba mengangkat tema tentang laku atau perilaku, salah satunya sosok Semar Tersamar itu. Dengan simbol tiga tanda tanya, karya tersebut hendak menggambarkan sebuah kepura-puraan sosok pamomong atau pemimpin.
Pesan kritis juga disampaikan Arifin dalam lukisannya berjudul "Monyet di Uwongke" dengan media akrilik di atas kanvas. Dalam sebuah latar belakang bidang tembok retak, Arifin menggambar secara samar perkembangan evolusi manusia.
Pada bagian awal tampak gambar kera berjalan bungkuk yang kemudian berkembang menjadi manusia purba berjalan tegak. Yang menggelikan adalah, perubahan paling akhir evolusi itu bukan berwujud manusia modern tetapi justru mundur lagi menjadi monyet berekor panjang yang tengah memegang payung seperti halnya "Sarimin", aktor topeng monyet keliling.
Lukisan itu mewakili kegeraman Arifin tentang kemunduran sifat-sifat dan perilaku manusia saat ini yang justru semakin jauh dengan rasa kemanusiaan. "Tembok-tembok itu menyimbolkan perilaku-perilaku manusia," kata Arifin.
Tembok sebagai metafor
Bagi Arifin, tembok merupakan metafor. Di tengah kejenuhannya berkarya, pada 2013 ia menemukan sebuah konsep baru yaitu mengangkat grafiti-grafiti dari tembok-tembok beton agar bisa berdiri sendiri dalam bentuk lukisan di atas kanvas.
Karena itulah, dalam lima tahun terakhir sebagian besar lukisannya selalu menggunakan latar belakang konsep gambar tembok yang kemudian ditimpa dengan goresan-goresan realis maupun abstrak di atasnya. Kadang Arifin iseng bertanya kepada orang apakah karyanya termasuk dalam genre realis atau abstrak dan salah satu budayawan Yogyakarta, Sindhunata dengan tegas menyebut karya Arifin sebagai pemberontakan realis terhadap realis.
Menurut Arifin, tanpa disadari, perilaku manusia telah membangun tembok-tembok itu sendiri, saling membatasi satu sama lain, merasa eksklusif, dan sebagainya. Di sisi lain, tembok juga bisa dimaknai secara positif sebagai bagian-bagian yang saling direkatkan agar lebih kuat dan bisa menjadi tempat perlindungan bersama.
Tommy F Awuy memaknai tembok sebagai lambang pemberontakan. Temboklah yang menghalangi kreativitas dan imajinasi. Karena itulah, seperti dinyanyikan Pink Floyd, tembok adalah target yang harus dihancurkan. Semangat pemberontakan terhadap realitas ini juga tergambar dalam karya-karya Arifin.
Rishal M Luthan, kurator pameran ini melihat sosok Arifin sebagai perupa yang tidak mau ikut arus dari dunia pasar seni rupa. "Di tengah kondisi pasar seni rupa yang sedang lesu, Arifin mampu menolak dominasi pasar-pasar spekulan dan artisan. Dengan idealismenya, dia tetap konsisten dan sadar betul dengan segala konsekuensi yang harus dihadapi, yaitu miskin. Saya salut dan bangga, ternyata masih ada seniman yang mau hidup idealis," paparnya.