JAKARTA, KOMPAS — Papua kerap dilihat dari kacamata pemerintah pusat sehingga solusi-solusi yang diberikan tidak sesuai dengan kebudayaan lokal. Karena itulah, Festival Puncak Papua diinisiasi sebagai upaya ikut menyelami kehidupan masyarakat lokal untuk dapat memberikan solusi yang lebih membumi, sekaligus melakukan pendakian beberapa puncak di Papua.
Festival Puncak Papua digelar Indonesia Mengajar dan sebuah organisasi pendaki gunung Indonesia, Wanadri. Kegiatan tersebut memiliki tujuan utama untuk memberikan pendidikan dengan hidup dalam masyarakat (livein) ke tujuh desa di Kabupaten Pegunungan Bintang, yakni Desa Okatem, Parim, Aboding, Mimin Ngangom, Bumbakon, Pepera, dan Bime.
Kegiatan diakhiri dengan mendaki dua puncak gunung yang juga masih berada di kawasan Pegunungan Bintang, yakni Puncak Yamin dan Puncak Mandala.
Sekitar 30 orang akan ikut dalam Festival Puncak Papua. Kegiatan hidup bersama masyarakat akan dilaksanakan pada tanggal 9 April. Sementara itu, pendakian pada tanggal 15 Mei.
Ketua Yayasan Indonesia Mengajar, Hikmat Hardono, mengatakan, masyarakat di luar Papua kerap memandang Papua sebelah mata. Hanya segelintir orang berniat untuk ikut terjun langsung ke kehidupan sosio-kultural masyarakat di sana.
”Cara kontekstual hanya bisa didapatkan kalau kita menghayatinya dengan langsung terjun ke sana. Kalau kita tidak pernah datang, kita akan selamanya melihat Papua sebagai pemandangan dan itu akan selalu berjarak,” ujar Hikmat dalam konferensi pers Festival Puncak Papua dengan tema ”Kolaborasi Menciptakan Dampak bagi Negeri” di Jakarta Creative Hub, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Kamis (1/3).
Indonesia Mengajar sudah hampir delapan tahun berada di Papua, secara khusus di Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Pegunungan Bintang. Di Kabupaten Fakfak, tenaga pendidik dari Indonesia Mengajar mengajar selama lima tahun, sedangkan di Kabupaten Pegunungan Bintang selama tiga tahun.
Ketua Wanadri Andi Angga Kusuma mengatakan, filosofi pendakian sesungguhnya tidak hanya sekadar pengalaman sampai di puncak, tetapi bagaimana pendaki dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Interaksi itu penting agar pendaki juga semakin mengenali kawasan pendakiannya dan belajar kehidupan masyarakat.
”Ruang interaksi itu harus dibuka seluas-luasnya agar kita bisa dapat banyak pembelajaran. Masyarakat sana akan selalu terbuka kalau kita juga membuka diri,” ujar Andi.
Tidak bisa disamakan
Pola kehidupan masyarakat Kabupaten Pegunungan Bintang tidak bisa disamakan dengan pola kehidupan seperti di kota, layaknya di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Mereka punya pola kehidupan sendiri untuk bisa mempertahankan hidup dengan tetap berpegang teguh pada budaya lokal.
Salah satu pendaki senior dari Wanadri, Evy Sylviani Suryatmana, bercerita ketika dirinya pertama kali mendatangi Mimin Ngangom, desa terakhir sebelum sampai ke Puncak Mandala, pada tahun 1991. Saat itu, Evy melihat kondisi masyarakat masih sangat natural. Semua sumber kehidupan masih berasal dari alam.
Evy menilai, solusi yang diberikan pemerintah pusat, baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan, tidak bisa diterapkan sepenuhnya di sana. Ketika budaya luar masuk, itu malah menjadi tantangan baru bagi mereka.
”Sebab, budaya yang diberikan belum tentu cocok dengan budaya mereka. Yang mereka butuhkan adalah pendampingan, dari tenaga pendidik dan tenaga kesehatan,” ujar Evy.
Pengajar Muda Angkatan XIII Indonesia Mengajar, Winda Ayu, menuturkan, dirinya sudah hampir satu tahun berada di Desa Mimin Ngangom. Menurut Winda, bukan hal mudah untuk bisa mengajar di sana karena dirinya selalu mendapatkan tantangan untuk berinovasi atas apa pun yang ada di sana.
”Muter otak setiap hari dan eksplorasi semua hal tanpa batas. Itu menyenangkan, sekaligus menantang bagi diri saya,” ujarnya.
Dengan segala keterbatasan, baik sumber daya manusia maupun sarana/prasarana, Winda harus berjuang mengembangkan daerah itu dari sisi pendidikan. Saat itu, dia ditemani satu guru lokal, dan guru tersebut hanya bisa datang setiap Senin-Jumat pada pukul 08.00-11.00 WIT.
”Siapa yang mau dilempar ke sana dengan kondisi serba keterbatasan yang ada. Tidak semua orang punya ketulusan hati untuk tinggal di sana dan eksplor apa yang ada di sana,” ucap Winda.
Ia menyebutkan, mengajarkan pola hidup kepada warga Papua tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pengajaran tidak bisa hanya sekadar dari pendidikan formal di sekolah, tetapi juga dari kehidupan keluarga.
”Jadi, pendidikannya harus menyeluruh, tidak hanya kepada anak-anak, tetapi juga orang tua mereka. Saya harus benar-benar masuk ke dalam kehidupan mereka,” ujar Winda.
Winda mengaku merasa sulit setiap kali meninggalkan Desa Mimin Ngangom. Ia masih punya utang setidaknya sampai ada penggerak dari desa tersebut yang bisa ikut menumbuhkan kemandirian dan keberdayaan masyarakat di sana.
”Bukan butuh waktu yang sebentar untuk bisa memunculkan bibit-bibit penggerak itu. Kami harus berjuang membangun kemajuan pendidikan sampai warga di sana sudah sadar akan pola hidup yang sehat. Setelah itu, saya baru tenang untuk bisa pindah ke kabupaten tertinggal yang lain,” tutur Winda. (DD18)