Menyikapi maraknya kasus-kasus intoleransi yang terjadi di sejumlah daerah, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mencoba menyuguhkan bukti-bukti arkeologis tentang jejak-jejak toleransi di Nusantara. Tak perlu diragukan lagi, para leluhur Nusantara ternyata sudah merajut toleransi sejak dahulu kala.
Rangkuman hasil penelitian Puslit Arkenas tentang tradisi toleransi diwujudkan melalui penerbitan buku seri 1 Rumah Peradaban berjudul Jejak Silam Toleransi yang ditulis arkeolog Bambang Budi Utomo dengan editor Prof Harry Truman Simanjuntak. "Kami ingin arkeologi bisa menjawab masalah-masalah masyarakat saat ini, seperti maraknya kasus-kasus intoleransi dan massifnya penyebaran berita-berita bohong. Selain menyampaikan nilai-nilai kearifan budaya, arkeologi diharapkan juga bisa menyumbangkan kebijakan-kebijakan publik berbasis hasil-hasil riset," kata Kepala Puslit Arkenas I Made Geria, Senin (26/2) di Jakarta.
Buku Jejak Silam Toleransi dikemas sangat ringkas menjadi semacam buku saku yang sangat mudah dipahami masyarakat. Di dalamnya dijelaskan secara singkat bagaimana jejak-jejak toleransi sudah lama mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara.
Di Goa Harimau, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan misalnya, arkeolog menemukan fakta bahwa gua tersebut pernah dihuni oleh dua ras manusia berbeda, yaitu Austromelanesoid dan Mongoloid sekitar 22.000 tahun lalu hingga awal masehi. Dilihat dari cara-cara penguburannya, terlibat bahwa dua ras manusia tersebut pernah hidup berdampingan pada masa-masa awal ras Mongoloid hadir sekitar 3.500an tahun lalu.
Pada abad ke 8 hingga 10 masehi, di antara Gunung Sumbing-Sindoro dan Merbabu-Merapi berkembang peradaban tinggi Dinasti Syailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Yang menarik adalah, meski mayoritas penduduk kerajaan ini beragama Budhha, namun agama lain, yaitu Hindu juga dibiarkan berkembang. Bukti nyatanya adalah keberadaan candi-candi Hindu seperti Candi Prambanan yang dibangun berdampingan dengan Candi Sewu yang bersifat Buddhis.
Kompleks candi Buddhis Plaosan Lor, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah bahkan dahulu dibangun dengan gotong-royong oleh masyarakat. Nama-nama penyumbang stupa candi itu terukir di dinding-dinding batu, salah satunya tertulis "asthupa sri maharaja rakai pikatan" yang artinya persembahan stupa oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan yang merupakan penganut agama Hindu. Penemuan ini menunjukkan bahwa pada abad ke-9 masehi, pemeluk agama Buddha dan Hindu hidup berdampingan dengan damai, bahkan bersama-sama saling membantu mendirikan bangunan suci.
Bambang Budi Utomo menyebutkan, rasa toleransi sudah menjadi sifat dasar penduduk Nusantara. "Pada institusi kerajaan, toleransi diakomodir ke dalam sruktur pemerintahan dan diwujudkan dalam pendirian bangunan-bangunan suci. Para penguasa pun turut membantu meski berbeda keyakinan. Kalau sejak dulu ternyata kita sudah memiliki toleransi dalam kehidupan beragama, haruskah sekarang hilang tergerus?,"paparnya.
Menurut Budi, di Indonesia, toleransi seharusnya tidak perlu dipermasalahkan lagi karena masyarakat Indonesia sudah sangat terbiasa dengan perbedaan yang ada. Di negara ini, perbedaan adalah sebuah keniscayaan karena keanekaragaman budaya dan etnik bangsa ini terbentuk seiring perjalanan waktu.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno menegaskan, keberagaman yang tumbuh di Indonesia tidak mungkin terjadi tanpa adanya sikap toleransi dan rasa kebersamaan di antara kelompok-kelompok masyarakatnya.
Turun ke masyarakat
Kritik bahwa riset dan penelitian semestinya tidak hanya jatuh pada diskusi ilmiah elitis serta penerbitan jurnal-jurnal semata terjawab dalam program Rumah Peradaban yang digelar Puslit Arkenas. Tujuan utama dari program ini adalah membumikan hasil-hasil penelitian kepada masyarakat.
Program Rumah Peradaban diwujudkan dalam berbagai macam kegiatan, seperti pameran, penerbitan buku pengayaan, serta pelibatan pelajar dan mahasiswa dalam penelitian-penelitian arkeologi. Tahun ini, Puslit Arkenas menggelar 26 program Rumah Peradaban yang tersebar di berbagai daerah, seperti di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Nusa Tenggara Timur. Adapun total situs yang akan diteliti selama 2018 ditarget 97 titik.