Konten Pornografi Kian Mengkhawatirkan
Perkembangan teknologi informasi yang pesat, terutama kehadiran jaringan internet, memberikan dampak yang besar bagi masyarakat. Akan tetapi, ibarat pedang bermata dua, internet tak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif, terutama bagi anak-anak.
Di satu sisi, internet menyediakan akses cepat bagi anak-anak untuk menggali dan menemukan berbagai ilmu pengetahuan, tapi di sisi lain internet menjadi ancaman yang akan merusak masa depan generasi penerus bangsa. Salah satu dampak yang paling fatal, yang dirasakan belakangan ini, adalah pengaruh konten pornografi-yang begitu mudahnya diakses anak-anak melalui gawai dan media lain yang tersambung dengan jaringan internet.
Selama lima tahun terakhir, pornografi benar-benar ancaman nyata bagi anak-anak. Tak hanya mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak, tetapi juga mengancam dan merusak masa depan sejumlah anak karena mereka terpapar pornografi. Bahkan sejumlah anak kini menjadi korban pornografi dan memerlukan penanganan khusus oleh Kementerian Sosial.
”Situasi anak-anak yang mengakses konten pornogafi sudah sangat mengkhawatirkan, sudah terjadi situasi genting,” ungkap Ahmad Sofian, Koordinator Nasional End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, awal Februari lalu.
Kondisi genting tersebut terlihat dari beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini antara lain, terjadi penyimpangan penggunaan internet oleh anak-anak ke arah konten naratif dan adanya tren orang dewasa memanfaatkan anak-anak untuk tujuan seksual misalnya maraknya tipu daya anak untuk melakukan live streaming secara telanjang, serta adanya praktik memperjualbelikan anak untuk tujuan komersial melalui internet.
Situasi tersebut menjadi topik pembahasan dalam Konferensi Nasional ”Internet Aman untuk Anak- Tem@n Anak#Saferinternetday 2018” pada 6 Februari 2018 di Jakarta. Konferensi yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), ECPAT, serta Google Indonesia.
Dari diskusi tersebut terungkap bagaimana teknologi baru dan pertumbuhan internet menciptakan lebih banyak kesempatan komersial untuk pelaku eksploitasi anak dan pengguna eksploitasi seksual terhadap anak secara daring. Bagaimana internet membuat anak-anak rentan terhadap eksploitasi seksual.
Menteri Komunikasi dan Informatikan Rudiantara mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial oleh individu Indonesia saat ini adalah masyarakat berusia 9-19 tahun (sebanyak 93, 52 persen). Bahkan sepanjang 2017 Menkominfo menerima 19.778 pengaduan tentang pornografi.
Ryan Rahardjo, Head of Public Policy & Government Relations Google Indonesia, mengungkapkan untuk keamanan berinternet bagi anak-anak, pihaknya menyediakan sistem pengamanan dalam jaringan dengan memberikan beberapa petunjuk.
”Orangtua bisa menyetel perangkat elektronik anak-anak baik gawai, laptop, maupun komputer dengan mode pencarian yang aman baik ketika membuka Google maupun Youtube. Caranya dengan mengikuti petunjuk di pengaturan (setting) dan mengaktifkan filter pencarian yang aman,” tutur Ryan.
Kendati Ryan mempraktikkan cara pengaturan pengamanan di telepon genggam, dalam acara tersebut ternyata banyak juga yang belum mengetahui cara mengoperasikan mode pengamanan tersebut.
Survei dan penelitian
Besarnya ancaman internet bagi anak-anak sesungguhnya telah disuarakan lantang dalam lima tahun terakhir. Hasil-hasil survei dan penelitian mengenai dampak negatif dari internet bagi anak-anak baik dari kementarian/lembaga maupun organisasi masyarakat sipil terus diungkap ke publik.
Yang terbaru, hasil penelitian ECPAT dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Kementerian Sosial yang diluncurkan akhir November 2017 lalu. Penelitian tersebut menemukan pornografi mendorong terjadinya kekerasan seksual oleh anak terhadap anak. Para pelaku rata-rata anak berusia 16 tahun dengan korban anak perempuan dan laki-laki.
Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengungkapkan sejak akhir 2016 Kementerian PPPA menerima informasi bahwa setiap hari di Indonesia ada sekitar 25.000 internet protokol (IP) yang mengunduh (download) dan mengunggah (upload) konten pornografi anak melalui media sosial. Facebook dan Twitter merupakan media sosial yang paling banyak digunakan user untuk download dan upload konten pornografi anak.
Kementerian PPPA menerima data Bareskrim Polri berdasarkan Laporan National Center Of Missing & Exploited Children (NCMEC), Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup tinggi aktivitas upload dan download konten-konten pornografi. Pada tahun 2015 IP Indonesia yang melakukan download/upload konten pornografi anak melalui media sosial sebanyak 299.602 IP.
Karena itulah, dalam setiap kesempatan Yohana selalu mengingatkan bahaya pornografi bagi anak-anak. Yohana meminta kepada orangtua untuk memperhatikan anak-anak jika menggunakan telepon seluler dan internet.
Empat tahun lalu (akhir 2014), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga sudah mengingatkan bahaya pornografi bagi bagi anak-anak ketika mengakses internet. Temuan KPAI ketika itu, sekitar 90 persen anak terpapar pornografi internet saat berusia 11 tahun, dan sebagian besar terjadi ketika mereka sedang mengerjakan PR. Faktanya beberapa situs dapat menyebabkan anak terpapar tanpa sengaja ketika sedang mengakses internet.
Peran orangtua
Bagaimana melindungi anak dari bahaya konten negatif dari internet, kuncinya adalah semua pihak harus berperan melindungi anak. Pemerintah dan masyarakat, keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat. Namun, kuncinya pada orangtua. Karena peran orangtua sangat penting dalam mendampingi dan mengarahkan anak-anak untuk menggunakan berbagai informasi daring dengan cara yang aman.
Orangtua bisa memproteksi anak-anak dari berbagai informasi negatif dengan melakukan berbagai langkah dan menerapkan cara penggunaan internet yang aman untuk anak.
Dalam diskusi ”Create, Connect, Respect: Memberdayakan Orang Tua untuk Memandu Anak-anak yang Terkoneksi” di Jakarta, 13 Februari lalu, yang digelar Netflix (perusahaan hiburan internet) dan KPPPA, salah satu pembicara Stephen Balkam (pendiri dan CEO, Family Online Safety Institute), membagikan tujuh langkah yang bisa diterapkan orangtua untuk melindungi anak-anak saat mengakses informasi melalui gawai dan perangkat elektronik lainnya. Tips ini bisa diakses melalui situs https://www.fosi.org/parenting.
Pertama, orangtua harus berbicara terbuka dengan anak bagaimana menggunakan internet yang aman. Kedua, orangtua harus mengedukasi dirinya sendiri dengan mempelajari berbagai informasi daring, mengetahui aplikasi-aplikasi termasuk permainan yang aman bagi anak. Ketiga, orangtua harus mengaktifkan pengaturan keamanan dalam setiap gawai dan perangkat elektronik yang dimanfaatkan anak-anak.
Adapun langkah keempat, membuat aturan dan sanksi dalam penggunaan gawai, melalui kesepakatan orangtua dan anak. Kelima, memantau teman-teman anak di media sosial dan mendorong anak-anak untuk menciptakan menggunakan gawai secara bertanggungjawab.
Keenam, orangtua harus mengatur waktu untuk bersama-sama dengan anak-anak menggunakan gawai, mengeksplor, dan mempelajari konten-konten dalam dunia daring. Ketujuh, orangtua dan anak berkolaborasi menciptakan role model tentang penggunaan internet yang baik dan aman.
Berbagai informasi tentang bagaimana melindungi anak dari bahaya konten negatif di internet memang sudah banyak. Sosialisasi kementerian/lembaga di berbagai pertemuan dan diskusi terus dilakukan. Pengaturan dan pengamanan sudah dibuat oleh sejumlah penyedia konten provider.
Akan tetapi, pertanyaannya apakah sosialisasi tersebut benar-benar sampai kepada semua orangtua dan guru atau orang-orang yang selama ini berinteraksi dengan anak-anak? Apakah edukasi mengenai penggunaan internet yang benar dan aman sudah dilakukan secara masif kepada anak-anak oleh pemerintah maupun penyedia konten provider? Lalu seberapa masif upaya pemerintah menangkal konten-konten negatif tersebut?
Jangan sampai sosialisasi tentang internet yang aman buat anak, hanya berhenti di ruang-ruang pertemuan. Sementara perkembangan teknologi informasi terus bergerak cepat, dan konten-konten negatif dari internet terus membayangi dan merusak pikiran anak-anak bangsa.