Perempuan (di) Borobudur dalam Kacamata Sastra Rupa
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
”Parit keruh dusun dena itu. Air mata para ibu. Burung uang kertas beterbangan. Angan tak teraih tangan. Tak jauh, monument abad sembilan. Dirias genit laiknya wanita sewaan. Makelar dan mucikari pesta pora kesetanan. Gerabah jelata diinjak remuk berserakan” (Puisi Perempuan Gerabah karya Landung Simatupang).
Hanya beberapa jengkal dari warisan mahakarya kebanggaan dunia itu, ibu-ibu tua perajin gerabah di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, tetap bertekun dalam kesibukan mereka di ruang-ruang sempit. Mereka seolah-olah tak tersentuh dengan gemerlap bisnis wisata Candi Borobudur meski menurut cerita turun-menurun, di dusun itulah konon dulu para perempuan memasak bersama untuk para pekerja yang membangun Candi Borobudur sekitar 12 abad silam.
Dengan menggunakan dua pisau kajian yang berbeda, yaitu sastra dan seni rupa, perupa Dyan Anggraini dan penyair Landung Simatupang mencoba menggali ulang fenomena-fenomena di seputar Candi Borobudur. Mereka tidak hanya mengangkat pesan-pesan moral dalam dari relief-relief candi, tetapi juga mencoba mengamati realitas riil masyarakat setempat, terutama seputar nasib perempuan.
Dengan menggunakan dua pisau kajian yang berbeda, yaitu sastra dan seni rupa, perupa Dyan Anggraini dan penyair Landung Simatupang mencoba menggali ulang fenomena-fenomena di seputar Candi Borobudur.
Pengamatan Landung dan Dyan terhadap simbok-simbok perajin gerabah di Dusun Klipoh mereka diskripsikan dalam sebuah lukisan berjudul ”Perempuan Gerabah” berupa gambar sesosok ibu tua dikelilingi burung-burung uang kertas beterbangan di sekelilingnya. Di atas kepala ibu itu, tertulis syair-syair puisi Perempuan Gerabah Landung.
”Burung uang kertas beterbangan. Angan tak teraih tangan. Tak jauh, monument abad sembilan,” tulis Landung.
Dengan syair-syair itu, lukisan Dyan tentang perempuan tua mendapatkan rohnya, bagaimana ibu-ibu tua perajin gerabah yang hidup di sekitar tempat wisata dunia itu tetap tak bisa meraih angan-angannya. Mereka terlindas oleh roda kapitalisasi wisata.
Berawal dari angan-angan
Lukisan ”Perempuan Gerabah” hanyalah satu dari 37 karya hasil kolaborasi sastra dan seni Landung serta Dyan. Dalam pameran bertajuk Perempuan (di) Borobudur yang digelar di Galeri Nasional Indonesia, 21 Februari-5 Maret itu mereka menyuguhkan karya dua dimensi dan tiga dimensi. Pameran ini dibuka oleh sineas Nia Dinata, Selasa (20/2) malam.
”Pameran ini berawal dari ajakan kolaborasi untuk membuat program bersama yang melibatkan berbagai bidang kesenian, mulai dari tari, teater, musik, sastra, hingga seni rupa sekitar lima tahun lalu. Kami sebenarnya ingin mengajak banyak pihak untuk bersama-sama mengangkat pesan-pesan moral dan spiritual dari Borobudur. Tapi, apalah kami ini, angan-angan itu gagal. Akhirnya, kami putuskan bergerak berdua saja terlebih dulu,” papar Landung.
Hanya bermodalkan gagasan dan tekad, Landung dan Dyan akhirnya mempersiapkan proyek kolaborasi mereka. Keduanya berangkat ke Borobudur untuk melakukan pengamatan dan riset. Selanjutnya, Dyan mengawali dengan membuat karya seni rupa lukisan terlebih dulu yang kemudian direspons Landung dengan syair-syairnya yang penuh kedalaman. Karya seni dan sastra itu akhirnya tampil menjadi satu, saling mengisi dan menguatkan.
Hanya bermodalkan gagasan dan tekad, Landung dan Dyan akhirnya mempersiapkan proyek kolaborasi mereka. Keduanya berangkat ke Borobudur untuk melakukan pengamatan dan riset.
Selain mengangkat fenomena riil, sejumlah karya yang ditampilkan dalam pameran ini juga mengangkat sosok-sosok perempuan yang muncul di relief-relief Candi Borobudur. Satu lukisan berjudul ”Lumbini” mencoba mengangkat kisah ketika Ratu Maya yang melahirkan Siddhartha Gautama yang kemudian menjadi Sang Buddha di Taman Lumbini.
Lukisan ”Lumbini” direspons Landung dengan syair-syairnya yang singkat tapi bernas… ”Bunga-bunga sala hormat menyalam. Guagarba pencerahan, kudus lotus, kelana terpana”.
Selain karya dua dimensi, Dyan juga membuat karya tiga dimensi berbentuk patung perempuan berukuran raksasa berjudul ”Tiwikrama”. Patung perempuan bertangan banyak yang tengah mencengkeram aneka muka manusia itu dihiasi dengan rapal atau mantra-mantra Landung menggambarkan sosok perempuan yang sedang mengerahkan segala kekuatannya.
”Patung Tiwikrama ini sebenarnya menggambarkan Dyan sendiri yang tengah mengerahkan segala kekuatan dan kehebatannya untuk berkarya,” papar Landung.
Butuh kerendahan hati
Kurator pameran ini, Suwarno Wisetrotomo, melihat kolaborasi antara Landung dan Dyan sebagai upaya untuk mencari sudut pandang lain dari fenomena Candi Borobudur, kemudian menggubahnya menjadi karya-karya seni rupa yang menggugah dan menggertak kesadaran kritis penonton. ”Kolaborasi seperti ini jarang dilakukan para seniman. Kalaupun ada yang mencoba menggabungkan dua jenis bidang seni berbeda, biasanya salah satu di antaranya hanyalah semacam tempelan atau aksesori dan bukan menjadi bagian integral,” katanya.
Suwarno Wisetrotomo melihat kolaborasi antara Landung dan Dyan sebagai upaya untuk mencari sudut pandang lain dari fenomena Candi Borobudur, kemudian menggubahnya menjadi karya-karya seni rupa yang menggugah dan menggertak kesadaran kritis penonton.
Konsekuensi kerja kolaborasi lintas bidang seni adalah masing-masing seniman mesti memiliki kerendahan hati untuk bisa menerima ide dan gagasan lain. Mereka dituntut untuk bisa mengalahkan egoisme-egoisme pribadi agar nantinya muncul hasil karya kolaboratif yang kaya akan ide-ide serta energi baru.