Keputusan tersebut disampaikan Komite Warisan Budaya Tak Benda Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dalam sidang ke-12 mereka di Pulau Jeju yang berlangsung sejak 4 Desember 2017 dan akan berakhir pada 9 Desember 2017.
”Sebagai bangsa Indonesia, kita semua patut bersyukur dan bangga dengan ditetapkannya seni pembuatan perahu pinisi dalam daftar warisan dunia tak benda UNESCO. Dunia saja mengakui, tentunya bangsa Indonesia harus lebih mengakui. Dan kita berharap para generasi muda menjadi lebih bangga dan mau menggali nilai tradisi budaya untuk lebih dikembangkan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, Kamis (7/12), di Jakarta.
Penetapan ini membawa konsekuensi bagi Indonesia untuk menjaga ketersediaan bahan baku pembuatan perahu pinisi. UNESCO juga menilai perlu transmisi nilai tentang teknik dan seni pembuatan perahu
tradisional ini kepada generasi muda.
Menurut Wakil Tetap RI di UNESCO, Hotmangaradja Pandjaitan, komunitas dan masyarakat menjadi bagian penting dalam pengusulan pinisi ke dalam daftar warisan dunia tak benda UNESCO. Momentum ini tepat untuk memberikan perhatian lebih dalam pengelolaan warisan budaya tak benda yang ada di setiap daerah.
Delapan warisan budaya
Dengan penetapan seni pembuatan perahu di Sulawesi Selatan ini, Indonesia telah memiliki delapan elemen budaya yang masuk dalam daftar warisan budaya tak benda UNESCO. Delapan elemen budaya itu adalah wayang (2008), keris (2008), batik (2009), angklung (2010), tari saman (2011), noken Papua (2012), tiga genre tari tradisional Bali (2015), serta satu program Pendidikan dan Pelatihan tentang Batik di Museum Batik Pekalongan (2009).
Menanggapi hal ini, Wakil Bupati Bulukumba Tomy Satria Yulianto meminta dukungan pemerintah pusat menjadikan pinisi sebagai sarana transportasi tol laut dan pelayaran rakyat. Ini akan jadi salah satu cara yang efektif melestarikan seni pembuatan pinisi. ”Selama ini pinisi banyak dibuat hanya untuk kapal wisata, dan yang bisa menikmati orang tertentu saja,” kata Tomy.
Dari sisi fungsi, ketangguhan pinisi sudah terbukti, di antaranya dalam beberapa pelayaran besar ke Kanada, Jepang, dan sejumlah negara lain. Sejarah juga mencatat pinisi sebagai sarana transportasi andalan penghubung antarpulau di Indonesia.
Pinisi adalah perahu tradisional Bugis-Makassar yang menjadi sarana pelayaran Nusantara sejak ratusan tahun lalu. Aktivitas pembuatan perahu dengan sistem dan teknik tradisional ini masih dipertahankan oleh para perajin pinisi di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
”Sepanjang kami masih membuat perahu, maka selama itu pula segala hal yang melekat, seperti kearifan lokal, budaya, dan tradisi, tetap akan kami jaga. Pantang kami membuat perahu tanpa melewati sejumlah proses dan ritual yang sudah dilakukan turun-temurun. Tak sekadar ritual, tetapi di situ juga ada gotong royong dan saling mendoakan,” ujar Rusli, salah satu perajin pinisi di Tana Beru, Bulukumba. (ABK/REN/ENG)