JAKARTA, KOMPAS — Keragaman budaya bangsa harus terus dirawat. Perawatan itu dapat dilakukan dengan menulis karya sastra berlatar keragaman budaya atau kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini.
Salah satu karya sastra yang mengambil latar budaya Indonesia yakni novel berjudul Suara Samudra: Catatan dari Lamalera karya Maria Matildis Banda. Novel ini dikupas dalam acara bedah buku yang nerupakan rangkaian acara Bulan Bahasa dan Sastra 2017 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Rabu (11/10).
Hadir dalam bedah buku novel yang mengambil latar budaya dan kehidupan masyarakat Lamalera, Nusa Tenggara Timur, antara lain Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Dadang Sunendar, pengajar Universitas Sanatha Dharma Yogyakarta Yoseph Yapi Taum, dan tetua adat masyarakat Lamera Sony Keraf.
Sony menyambut baik kehidupan masyarakat Lamera yang terkenal dengan tradisi berburu paus. Ada banyak nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut.
”Kalau film dokumenter hingga riset sudah banyak. Ditambah dalam bentuk novel bisa terungkap banyak nilai kisah yang dituturkan,” kata Sony.
Yoseph yang membedah novel mengatakan, novel Suara Samudra menyorot aspek religiusitas dan kebumian. ”Berkisah soal manusia yang ingin tahu asal-usul dan jati dirinya. Yang menulis perpaduan sastrawan dan akademisi sehingga memaparkan cerita dari riset dan hasil wawancara yang dalam,” katanya.
Maria, yang merupakan dosen di Universitas Udayana, Bali, mengatakan, proses kreatif novel ini diselesaikan 10 tahun. ”Tertunda cukup lama karena kesibukan. Saya terinspirasi setelah menonton film dokumenter tentang tradisi penangkapan paus di Lamalera,” kata Maria.
Sementara itu, Dadang mengatakan, pemerintah daerah punya tanggung jawab untuk memelihara dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah. ”Banyak kearifan lokal yang bisa diangkat menjadi cerita fiksi yang menarik. Masyarakat jadi bisa saling belajar keragaman budaya bangsa,” ujarnya.