Adegan di panggung memperlihatkan seorang pendeta pemimpin padepokan, Empu Barada, berkostum baju pendeta serba putih. Di depannya, para murid, tiga pemuda, duduk bersila. Di layar belakang panggung tampak pemandangan tepian hutan yang permai. Empu Barada yang duduk di balai-balai bambu sambil berpegangan pada tongkat kayu berupa ukiran ular bertanya kepada salah satu murid atau cantriknya.
"Kamu sudah lama tinggal di padepokan ini. Sebenarnya kamu sudah lulus menuntut ilmu kanuragan. Kenapa kamu masih di sini?" tanya Empu Barada yang dikenal dekat dengan Prabu Airlangga.
Sang murid menjawab, "Anu Romo, saya masih betah di sini sebab di sini WiFi-nya lancar. Saya lebih mudah buka media sosial." Sebanyak 200-an penonton di Gedung Pringgondani, kompleks Taman Hiburan Rakyat, Surabaya, Minggu (26/3) malam, pun tertawa terpingkal-pingkal.
Empu Barada melanjutkan pertanyaan. "Lha, kamu kerja apa untuk dapat uang?" Cantrik pun menjawab, "Saya jualan pulsa Romo." Penonton kembali dibuat tertawa.
Adegan dan dialog lucu di sana-sini itu cukup menyegarkan pementasan tiga jam pentas langka ludruk yang dikerjakan kelompok pementasan Luntas—akronim dari Ludruk Nom Noman Tjap Arek Surabaya—yang berbasis di Surabaya.
Pementasan lakon "Calon Arang" pada Minggu malam itu menimbulkan kegembiraan. Ludruk diam-diam kian menemukan jalan untuk hidup kembali. Sebanyak 200 lembar tiket yang dijual dengan harga Rp 15.000 pun ludes.
Penonton tak beranjak dari tempat duduk sampai pertunjukan yang dimulai pukul 20.00 itu berakhir pada pukul 22.30. Ini sesuatu yang amat berbeda dari kesan selama ini tentang nasib dan masa depan ludruk sebagai kesenian tradisi. Ketua kelompok Luntas Robertus Robert menjelaskan, pementasan Minggu malam itu merupakan pentas atau produksi ke-11 ludruk yang ia dirikan, pimpin, dan sutradarai ini.
Robert mengatakan berlatar belakang teater yang digeluti sejak kuliah. Bersama istrinya, Paramita, dan satu mitra teater lain, Sanusi, pada 2016 tertantang dalam diskusi di media sosial Facebook untuk mengorganisasi pementasan ludruk. Grup diskusi ludruk di Facebook makin lama berkembang serius untuk menyelenggarakan pentas. Produksi ke-11 terlaksana dengan selang waktu tiga bulan antarpentas.
Robert menerapkan beraneka teknik pementasan, pemilihan naskah, dan strategi produksi lain untuk melaksanakan tugas itu. Tidak sepele karena tidak ada sumber daya apa pun untuk memulai produksi.
"Tidak ada pemimpin, orang datang semata karena alasan kerelaan. Tidak ada bayaran bagi pemain. Untuk satu pementasan tak mungkin dibuat latihan intensif, apalagi kedisiplinan. Para pemain sudah bersedia datang berlatih saja sudah luar biasa," ujar Robert.
Latar belakang beragam
Paramita menjelaskan, untuk satu pentas, latihan hanya bisa dilakukan empat kali. Menjaga kontinuitas dan kesetiaan berlatih merupakan tugas amat besar. Para pemain terundang semata karena minat. Mereka sama sekali tidak berlatar pemain ludruk atau teater atau seni apa pun. Pemainnya siapa saja, mahasiswa, karyawan, buruh pabrik, bahkan tukang gigi, ada juga pengusaha. Pilihan lakon dan adegan disesuaikan saja dengan keberadaan pemain.
Hasilnya di panggung memang lucu dan aneh untuk orang yang sudah pernah menonton ludruk. Namun, segala kekurangan seperti dialog yang kaku, akting tidak mulus, berakhir dengan reaksi tertawa penonton. Hasilnya adalah hiburan.
Misalnya, ketika adegan merayu murid laki-laki Empu Barada dengan anak perempuan Calon Arang, demi tujuan mencuri kitab kesaktian Calon Arang, di belakang keduanya ada pemain yang seharusnya tidak hadir di panggung, berpakaian serba hitam hingga penutup wajah. Pemain ini melambai-lambaikan gambar tanda cinta. Ia seperti ikon pop up dalam layar HP atau cerita sinetron. Penonton paham, lalu lagi-lagi tertawa.
Pemain ini kembali muncul di adegan perang. Ia membawa kilatan api dari bahan styrofoam, lalu kilatan api itu dihantamkan ke arah Calon Arang dari Empu Barada. Calon Arang terjungkal oleh kilatan api yang dibawa pemain ini. Penonton tertawa terbahak, bahkan bertepuk tangan larut dalam drama kalahnya kekuatan hitam Calon Arang. Pemain berkostum serba gelap ini juga masuk panggung melemparkan efek asap dalam adegan puncak peperangan.
Ani dan Oni, pasangan suami istri, mengaku senang dan puas menonton. "Saya mengajak teman-teman saya reuni SMP di Surabaya. Kami senang bisa lihat ludruk lagi. Tak bisa disamakan dengan film atau televisi. Nonton panggung dengan sorot lampu begini saja rasanya sudah beda sekali," kata Ani yang berusia 40-an tahun.
Luntas seperti menimbulkan harapan baru bangkitnya kembali ludruk yang pernah begitu berjaya di Surabaya.