”Kupepet” Ketua MK hingga ke Bandara
Pak Sekjen menelepon, ”Jeng, sini ke ruangan.” Ada apa ini, batin saya. Saya pun naik ke lantai 11. Di sana Pak Janed menginformasikan bahwa Pak Hamdan setuju untuk wawancara, tetapi dalam perjalanan menuju bandara.

Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, saat Rapat Pleno Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2014 di Gedung KPU, Jakarta, Minggu (1/6/2014). Dari pengundian itu, pasangan Prabowo-Hatta mendapat nomor urut 1, sedangkan Jokowi-JK nomor urut 2.
Menjadi saksi langsung pertarungan pamungkas antara Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pemilu Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi cukup memacu adrenalin. Minimal ikut deg-degan saat menyaksikan ”duel” terbuka di ruang persidangan selama lebih kurang dua pekan.
Kira-kira, hasil Pilpres 2014 yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebelumnya akan berubah atau tidak ya? Seperti diketahui, pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-JK sudah ditetapkan KPU memenangi kontestasi lima tahunan untuk menjadi orang nomor satu dan dua di negeri yang menguasai 17.000 pulau ini.
Saat itu, tim Pembela Merah Putih yang menjadi kuasa hukum pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendalilkan terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilpres 2014. Pihaknya menduga ada penggelembungan 1,5 juta suara untuk pasangan Jokowi-JK dan pengurangan 1,2 juta suara Prabowo-Hatta di 155 tempat pemungutan suara.
Persidangan pertama dilakukan pada 6 Agustus 2014 diawali dengan pembacaan gugatan setebal 146 halaman selama lebih kurang dua jam. Sidang berlanjut hingga sembilan kali dan berakhir pada 21 Agustus saat MK mengukuhkan kemenangan Jokowi-JK.

Pemohon, Prabowo-Hatta, berbincang saat sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (6/8/2014). Dalam sidang itu, mereka meminta kepada MK untuk membatalkan SK Komisi Pemilihan Umum yang menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wapres terpilih dalam Pilpres 2014.
Bagi saya, MK sudah seperti rumah kedua karena hampir setiap hari menyambangi kantor ini, khususnya pada 2014 ketika sidang sengketa pemilu, baik pemilu legislatif (lebih kurang sebulan) maupun pemilu presiden (dua pekan) digelar.
Hari-hari saya dari pagi hingga malam ada di sekitar Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Sampai hafal dengan sosok-sosok pegawai MK, mulai dari petugas keamanan, humas, hingga ajudan hakim, dan lainnya.
Saya juga hafal dengan tukang nasi goreng dan tukang kopi yang mangkal di depan gedung RRI, penolong di kala sore hari, saat kelaparan atau kantuk tak tertahan. Banyak wartawan, pengunjung sidang, dan pegawai jika sore hari bertebaran duduk di pelataran gedung MK sembari menunggu pesanan yang akan diberikan melalui celah-celah pagar pembatas gedung MK dan gedung RRI yang bersebelahan.
Di masa sengketa seperti ini, sembilan hakim MK beserta organ pendukung, seperti panitera dan lainnya, kebanyakan bermalam di kantor. Bagaimana tidak, sidang terkadang berlangsung dari pagi hingga dini hari.
Seperti terjadi pada sidang pembacaan putusan sengketa pemilu legislatif, 25 Juni 2014. Meskipun sidang sudah dimulai sejak pukul 09.00 WIB, hakim baru kelar membacakan putusan pada pukul 02.14.
Keesokan harinya sidang kembali dilanjutkan pada jam yang sama untuk agenda yang juga sama tetapi dengan wilayah sengketa berbeda. Seperti diketahui, MK menangani sengketa hasil pemilu berdasarkan wilayah (provinsi).
Baca juga: Di Lintas Timur Sumatera, "Transformer" Kehilangan Tenaga

Suasana awak media peliput sidang sengketa Pemilu 2014.
Namun, sidang hingga dini hari tersebut hanya terjadi di sengketa pemilu legislatif. Untuk sengketa pilpres yang digelar belakangan, sidang digelar paling malam hingga sekitar pukul 21. 00.
Selama masa sengketa pemilu, baik legislatif maupun presiden, puluhan wartawan biasanya memenuhi ruang pers yang saat itu berada di samping ruang sidang pleno MK di lantai 2 gedung MK.
Tak cuma awak media, aparat kepolisian berbaju sipil alias intel pun berada di sana, bercampur dengan para jurnalis. Interaksi setiap hari dengan para aparat berbaju sipil tersebut menumbuhkan rasa saling memahami, toleransi, hingga akhirnya terjalin kerja sama.
Khusus untuk sidang-sidang yang berlangsung hingga dini hari dan tidak sempat terpantau, biasanya saya mengandalkan para aparat ini. Maklum, saya biasanya hengkang dari MK setelah jarum jam menunjuk pukul 21.00 atau 22.00.
Biasanya ketika datang kembali di pagi hari, saya menanyakan kejadian yang menarik malam sebelumnya. Perkara mana, untuk wilayah mana, cerita garis besarnya seperti apa. Setelah mendapat informasi garis besar dan ternyata betul ada peristiwa menarik, maka saya segera menuju ke lantai 3 ruangan Humas MK untuk meminta rekaman video dan audio sidang semalam untuk saya tonton kembali.
Itulah salah satu enaknya liputan di MK. Lembaga ini sangat rapi dalam urusan dokumentasi. Semua sidang direkam, baik audio maupun video. Risalah sidang pun ada meski harus menunggu beberapa waktu kemudian.
Baca juga: Cara Wartawan Mencari Kebahagiaan

Remote televisi kadang merupakan sesuatu yang sulit dicari ketika penonton begitu banyak. Salah satu jalan pintas untuk membesarkan atau mengecilkan volume secara langsung adalah dengan cara naik meja.
Pada saat itu, MK belum menyiarkan sidangnya di kanal Youtube seperti sekarang ini, tetapi menyiarkannya secara langsung lewat situs resmi MK.
Ada empat pilihan kanal ketika itu, yaitu ruang sidang utama/pleno, ruang sidang 1 di lantai 3, ruang sidang 2, dan kanal lain untuk konferensi lewat video dengan perguruan tinggi. Dengan fasilitas itu, terkadang selepas kembali ke rumah, saya masih sempat memantau jalannya sidang hingga akhirnya terlelap karena kecapekan.
Pada saat sengketa pemilu presiden berlangsung, kedua belah kubu mengeluarkan seluruh jurus yang dimiliki untuk dapat meyakinkan MK. Setiap kubu menyiapkan tim pengacara andal. Demikian pula dengan KPU untuk mempertahankan hasil pemilu yang ditetapkannya.
Prabowo-Hatta didampingi lebih dari 100 kuasa hukum, di antaranya Maqdir Ismail, Firman Wijaya, Alamsyah Hanafiah, Mahendradatta, Elza Syarief, dan lainnya.
Begitu juga kubu Jokowi-JK yang mengandalkan tim pengacara yang totalnya juga lebih dari 100, di antaranya Sirra Prayuna, Henry Yosodiningrat, Junimart Girsang, Taufik Basari, Teguh Samudra, Sugeng Tegung Santoso, M Asrun, dan lain-lain. Sementara KPU diwakili oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution.
Para awak televisi, baik juru kamera maupun reporter, dan yang lainnya sudah memenuhi area liputan ketika itu. Mobil-mobil SNG (satellite news gathering) juga sudah berada di sekitar gedung MK. Terbayang betapa pusingnya orang MK mengatur hajatan besar yang menentukan nasib RI untuk masa lima tahun mendatang ini.
Sehari sebelum putusan dibacakan, yaitu pada Rabu (20/8/2014), Sekretaris Jenderal MK saat itu, Janedjri M Gaffar, banyak membantu untuk mendapatkan akses informasi. Pada suatu pagi, Pak Janed menelepon saya.
”Kamu ada di mana?” katanya.
”Belum berangkat, Pak. Masih di rumah. Semalam sampai malam di MK. Kenapa Pak?” kataku.
Ia menjawab, ”Cepet ke sini. Fotografermu juga. Ini mau naik ke ruang RPH (rapat permusyawaratan hakim).”
Baca juga: Demi Lengking Peluit di Pasar Wulandoni

Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva (tengah) memimpin rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri delapan anggota hakim konstitusi; (searah jarum jam) Aswanto, Muhammad Alim, Anwar Usman, Arief Hidayat, Patrialis Akbar, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2014).
Saya pun meminta Pak Sekjen untuk menunggu sampai saya tiba di gedung MK. ”Tunggu saya, jangan naik dulu,” pinta saya.
Selain Pak Sekjen, beberapa orang humas pun menelepon saya. Rupanya mau mengabarkan hal yang sama. Alhamdulillah, saya bisa mencapai gedung MK dengan cepat.
Saat itu, ruang RPH hakim ada di lantai 16 gedung MK. Ruangan tersebut hanya dapat dicapai melalui tangga yang ada di lantai 15, di depan ruangan ketua MK. Pada masa kepemimpinan Mahfud MD, Akil Mochtar, dan Hamdan Zoelva, bisa dikatakan wartawan cukup sering mendatangi ruang ketua MK untuk menanyakan tanggapan MK mengenai isu-isu terkini.
Meski begitu, tetap sulit untuk mendapatkan akses mengintip ruang permusyawaratan hakim di mana hakim menyusun pendapat hukumnya menjadi sebuah putusan. Ruang itu menjadi tempat bagi sembilan hakim konstitusi memutuskan sah tidaknya hasil pemilu presiden di negeri ini.
Akhirnya berbondong-bondong fotografer datang dan bergantian memasuki ruangan untuk memotret para hakim membahas siapa yang berhak menjadi presiden dan wakil presiden untuk periode 2014-2019, Jokowi-JK ataukah Prabowo-Hatta. Perdebatan di ruang sakral ini menentukan hitam putihnya negeri ini untuk lima tahun ke depan.
Sewaktu memasuki ruangan, Pak Hamdan menyapa kami. Katanya, ”Silakan memotret tetapi tidak boleh bertanya tentang apa pun ya. Jaga ketenangan.”

Ruang Rapat Permusyawaratan Hakim, salah satu ruang sakral tempat pembuatan putusan yang tidak boleh sembarangan dimasuki orang.
Lantas, bagaimana ceritanya para awak media boleh memotret dan mengambil gambar sembilan hakim MK saat melaksanakan RPH? Upaya ini memang berawal ketika kepala Desk Politik dan Hukum Kompas saat itu meminta kepada Pak Janed, yang merupakan mantan pegawai di kesekretariatan DPR dan Pak Hamdan yang semula anggota DPR, agar diperkenankan melihat tempat hakim beraktivitas ketika tidak ada sidang dan tengah membahas perkara.
Permintaan itu direspons dengan membuka akses kepada semua media untuk melihat lokasi tersebut. Tentu hal tersebut dilakukan setelah mendapat persetujuan dari para hakim lainnya.
“Memepet” Pak Hamdan
Persidangan selama lebih dari satu bulan–jika dihitung sejak sengketa pemilu legislatif–telah menobatkan Hamdan Zoelva sebagai ”selebritas baru” di kalangan ibu-ibu. Wajahnya yang menghiasi layar kaca nasional setiap hari selama kurun waktu tersebut diakui oleh para ibu-ibu sebagai pria paruh baya yang ganteng.
Kegantengan Hamdan menjadi trending topic twitter di Indonesia selama masa sengketa pilpres. Tak sedikit masyarakat yang melihat sidang MK hanya karena ingin melihat Pak Hamdan yang wajahnya disebut oleh warganet mirip artis Vino G Bastian.
MK menjadi pos liputan saya sehingga hampir setiap hari saya menyambangi gedung MK di Jalan Medan Merdeka Barat tersebut. Kalau ibu-ibu tahu, mungkin saya sudah disebut ”beruntung” karena setiap hari bisa secara langsung melihat pak hakim yang disebut ganteng itu.
Sejujurnya saya baru ngeh dengan apa yang dikatakan ibu-ibu justru ketika sidang sengketa pilpres. Barangkali akibat tiap hari mantengin layar berisi wajah para hakim, termasuk Pak Hamdan.
Baca juga: Kepopuleran Produk Indonesia di Puncak Afrika

Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva (kiri) dan Sekjen MK Janedjri M Gaffar.
Meski berada di MK, saya memilih tidak masuk ke ruang sidang karena jumlah kursi pengunjung yang terbatas. Jadi saya memilih mengikuti dari layar televisi yang disediakan di Media Center MK. Ketika itu, ada tiga layar televisi yang disediakan. Barulah saat itu saya insyaf, ternyata benar kata ibu-ibu. Mungkin lebih tepatnya Pak Hamdan itu fotogenik.
Pada hari pembacaan putusan sengketa pilpres, Kamis, 21 Agustus 2014, saya sudah berada di MK sejak pukul 10.00. Padahal, putusan baru akan dibacakan pada pukul 14.00. Biasa, pekerjaan wartawan ingin tahu apa isi putusan sebelum dibacakan. Ada beberapa orang yang saya temui ketika itu, tetapi jawabannya tetap saja samar. ”Tunggu pukul 14.00.”
Saya sempat menyambangi ruangan Pak Janed di lantai 11 pada pagi hari sebelum sidang untuk menanyakan berbagai persiapan sidang pembacaan putusan, termasuk pengamanan yang dilakukan jika ada aksi-aksi yang tidak diinginkan.
Punah sudah harapan untuk mendapatkan informasi bagaimana proses pengambilan putusan sampai akhirnya tiba pada kesimpulan memenangkan salah satu pasangan calon presiden-wapres.
Ketika itu, saya juga melobi bagaimana caranya agar bisa mewawancarai ketua MK selepas sidang berakhir. Namun, keinginan tersebut kemungkinan besar sulit terwujud sebab Pak Hamdan harus terbang ke Denpasar, Bali, malam itu juga usai membacakan putusan.
Punah sudah harapan untuk mendapatkan informasi bagaimana proses pengambilan putusan sampai akhirnya tiba pada kesimpulan memenangkan salah satu pasangan calon presiden-wapres. Dan apakah perdebatan di antara sembilan hakim tersebut alot atau biasa saja.
Namun, saya tak mau menyerah begitu saja. Saya harus mendapatkan sesuatu yang lebih daripada yang sudah ada di televisi, mengingat sidang pembacaan putusan sengketa pilpres disiarkan secara langsung hampir oleh semua televisi nasional.

Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva (tengah) memimpin sidang putusan sengketa pemilu legislatif di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (25/6/2014). MK membacakan hasil putusan pileg 9 April 2014 secara berurutan untuk sembilan provinsi, yaitu DKI Jakarta, Bali, Riau, Kepulauan Riau, Banten, Babel, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Di dalam hati, saya sudah menyusun strategi untuk door stop Pak Hamdan begitu keluar dari ruang persidangan. Saya berharap bisa mendapatkan satu atau dua kalimat pada saat Pak Hamdan berjalan dari pintu khusus hakim dan panitera (di bagian belakang ruang sidang utama MK) ke lift yang berjarak 6-7 meter. ”Harus dapat,” pikir saya.
Sebenarnya, untuk bisa door stop Pak Hamdan, saya harus melewati pintu (belakang) media center yang selalu dijaga oleh petugas keamanan. Namun, karena hampir setiap hari saya liputan di MK, para petugas keamanan sudah kenal dan hafal dengan wajah saya. Saya biasa mengobrol dengan mereka sehingga saya cukup gampang melewati pintu tersebut.
Di masa-masa sidang sengketa pilpres, akses menuju lift dijaga lebih ketat. Kadang-kadang untuk naik ke lantai atas, misalnya ke tempat Pak Sekjen di lantai 11 atau ke ruangan humas di lantai 3, para petugas akan bertanya lebih dahulu: mau ke mana, sudah janjian atau belum, kepentingannya apa.
Jika mendapati keadaan seperti ini, biasanya saya bilang mau ke humas lalu naik menuju tangga yang ada di belakang lift. Baru dari lantai 3, saya teruskan menuju lantai selanjutnya. Atau, jika satpamnya baik dan mengizinkan untuk langsung masuk lift, saya bilang mau ke perpustakaan di lantai 7 meskipun praktiknya menuju ruangan lainnya.
Sore itu, rupanya dewi fortuna tengah menghampiri saya. Pak Sekjen menelepon. ”Jeng, sini ke ruangan,” katanya. Ada apa ini, batin saya. Saya pun langsung naik ke lantai 11. Di ruangan itulah Pak Janed menginformasikan bahwa Pak Hamdan setuju untuk wawancara, tetapi dalam perjalanan menuju bandara.
”Nanti kalau sidang selesai, kamu langsung turun ya, Jeng. Tunggu di pintu belakang. Pak Hamdan nanti naik dulu ke ruangan sebentar (lantai 15), tetapi langsung berangkat. Ini sidang mungkin sampai jam delapanan,” kata Pak Janed saat itu.

Terbitan koran Kompas sehari setelah sidang putusan MK tentang sengketa Pemilu 2014.
Syukurlah. Akhirnya dapat juga kesempatan untuk wawancara Pak Hamdan setelah memutuskan Jokowi-JK sah menjadi Presiden 2014-2019. Lega. Saya kemudian berkoordinasi dengan Editor di kantor, menawarkan siapa yang akan ditugaskan wawancara sebab saya masih harus menulis putusan sengketa pilpres.
Namun, Editor ternyata menugaskan saya juga untuk sekalian wawancara Pak Hamdan. Baiklah, saya jabanin saja meskipun sedikit panik. Dalam pikiran saya, ”Waduh, bagaimana ini caranya mengetik berita sengketa pilpres yang baru saja selesai, kemudian wawancara, lalu mentranskrip wawancara, kemudian menuliskan artikel wawancara. Semoga bisa mengejar deadline.”
Maka, sebisa mungkin ketika sidang pilpres saya mencatat poin-poin yang signifikan yang menjadi dasar MK menolak gugatan sengketa yang diajukan oleh Prabowo-Hatta. Setelah mendapatkan poin-poin ”jantung”-nya, menuliskannya akan lebih mudah.
Sebelum sidang berakhir, telepon saya berbunyi. Suara Pak Janed di seberang telepon mengingatkan supaya saya segera turun dan menunggu di pintu belakang. Pokoknya, harus siap ketika Pak Hamdan sampai pintu belakang gedung MK.
Ketika saya tiba, mobil patwal, mobil dinas ketua MK dengan nomor polisi RI9, dan mobil dinas Sekjen sudah berderet siap-siap mengantarkan rombongan ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten.
Beberapa menit setelah sidang berakhir pukul 20.44, Pak Hamdan tiba di pintu belakang dan langsung memasuki kendaraan. Saya pun diarahkan untuk duduk di kursi belakang, persis di samping Pak Hamdan. Kendaraan pun berjalan.

Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva (2014)
”Bagaimana Pak, capek ya?” kata saya begitu duduk.
Pak Hamdan pun membenarkan, Capek tetapi lega. Percakapan pun kemudian mengalir begitu saja. Semua pertanyaan dijawab, bagaimana proses pengambilan keputusan, apakah ada perdebatan di antara sesama hakim, apakah perdebatannya seru hingga menggebrak meja, hingga bagaimana perasaannya setelah melaksanakan tugas konstitusional yang sedemikian besar.
Tak lupa saya tanya komentarnya tentang statusnya sekarang yang menjadi idola kaum hawa. Seperti biasa, Pak Hamdan hanya tertawa saja sembari mengatakan, ”Ah, bisa saja.”
Tak terasa, perjalanan dari Jalan Abdul Muis (belakang gedung MK) menuju bandara terasa demikian cepat. Tak ada kemacetan waktu itu. Perjalanan yang memakan waktu 20-30 menit itu benar-benar tak terasa.
Barangkali akibat terlalu konsentrasi mengajukan pertanyaan dan mendengarkan jawaban Pak Hamdan, sampai-sampai saya tidak menyadari keadaan sekeliling. Bahkan, jalan mana yang dilalui, saya juga tidak tahu. Tahu-tahu sudah sampai di kawasan VIP Bandara Soekarno-Hatta dan masuk ruang tunggu sembari terus ”memepet” Pak Hamdan. Saya takut ada hal yang lupa saya tanyakan.
Setelah Pak Hamdan boarding, saya lalu duduk di ruangan yang sama, siap untuk mentranskrip rekaman wawancara. Ketika transkrip baru akan mulai, sopir Pak Sekjen bertanya, apakah saya ingin ikut balik ke MK atau tidak.

Hasil wawancara dengan Ketua MK saat itu, Hamdan Zoelva, yang dimuat sehari setelah pembacaan putusan sengketa pemilu presiden pada 21 Agustus 2014.
Saya memilih nebeng mobil dinas Pak Sekjen untuk kembali ke MK. Sepanjang perjalanan, saya mentranskrip hasil wawancara. Begitu sampai di MK, saya kembali ke media center. Ternyata masih ada beberapa wartawan yang tengah bekerja melaporkan hasil liputan.
”Kerja cepat,” perintah saya kepada diri sendiri. Saya selesaikan transkrip lalu mulai mengetik seluruh hasil kerja hari itu.
Esok harinya, saya buka koran. Hasil ”mepet” Pak Hamdan ada di halaman dua. Ada sedikit rasa puas, setidaknya ada yang berbeda di liputan Kompas hari itu, yaitu wawancara Ketua MK Hamdan Zoelva.