Di Lintas Timur Sumatera, ”Transformer” Kehilangan Tenaga
Namun, sesampainya di perbatasan Riau-Jambi, kondisi Transformer mulai mengkhawatirkan. Lajunya seakan tidak bertenaga, tak lebih dari 30 km per jam. Padahal, saat itu di kanan-kiri adalah hutan sawit yang lebat.
Menelusuri jalan lintas timur Sumatera bersama ”Transformer” memang menyenangkan sekaligus menegangkan. Transformer adalah julukan yang diberikan rekan-rekan jurnalis di Palembang kepada mobil dinas Kompas, yakni Kijang kapsul keluaran tahun 2002.
Meskipun telah senja, mobil berkapasitas 1.500 cc itu itu masih bisa melaju dengan gagah. Entah mengapa, tampilannya mengingatkan pada mobil yang bisa beralih rupa menjadi robot, seperti dalam film Transformers.
Beragam medan sudah pernah ia tempuh. Mulai dari jalan berlumpur di Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, rute liputan perburuan emas milik Kedatuan Sriwijaya, hingga kawasan penambangan minyak ilegal di Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin. Sang Transformer juga pernah menemani saya meliput tragedi kecelakaan bus Sriwijaya yang jatuh ke jurang di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Kami juga pernah bertualang hingga ke Kepahiang, Bengkulu, untuk menyusuri jejak teh, bahkan hingga menyeberangi Selat Bangka untuk mencicipi jalur mulus antara Muntok dan Pangkal Pinang di Kepulauan Bangka Belitung.
Meski demikian, Transformer yang mulai renta ini terkadang bikin jantung berdebar kencang, khawatir ia bakal ngambek saat berhadapan dengan jalan rusak, seperti yang saya alami pada awal tahun 2023 lalu.
Saat itu saya hendak menjalani misi menyusuri jalan lintas timur dari Palembang, Sumatera Selatan, menuju Pekanbaru, Riau. Di sana, akan digelar peresmian Jalan Tol Pekanbaru-Bangkinang oleh Presiden Joko Widodo.
Awalnya, saya mengira keberangkatan ke Pekanbaru akan menumpang pesawat terbang. Namun, dugaan itu sirna karena selain harus meliput acara seremonial, Kepala Biro Kompas Sumatera Aufrida Wismi Warastri juga meminta saya untuk menyusuri jalur lintas timur Sumatera sejauh 706 kilometer. Tanpa pikir panjang, saya katakan siap.
Persis setelah menghabiskan cuti lima hari di pengujung tahun 2022, tugas pun ditunaikan. Dengan bekal pemeriksaan mesin seadanya dan ganti oli, saya memilih berangkat bersama rekan. Terus terang, sangat berisiko untuk mengendarai mobil tua sendirian.
Baca juga : Terpanggang ”10” Matahari di Morotai
Untuk mengusir rasa bosan selama perjalanan, musik beragam genre pun terus mengalun dari saluran Youtube yang terkadang harus terjeda akibat sinyal yang hilang tiba-tiba kala melintasi lebatnya perkebunan sawit dan hutan.
Selain kondisi jalan yang tidak selamanya mulus, kami juga kerap harus berbagi jalan dengan truk pengangkut komoditas seperti getah karet, batubara, dan kelapa sawit, selain dengan truk pengangkut kendaraan bermotor.
Beberapa kali saya berhenti untuk mengambil foto guna menggambarkan kondisi jalan lintas timur Sumatera yang terkadang mulus, ada pula yang sedikit bergelombang hingga rusak parah. Kondisi paling parah ditemukan di perbatasan antara Jambi dan Sumatera Selatan.
Rusaknya jalan di perbatasan Jambi-Sumsel, terutama dari Bayung Lencir hingga Jambi, sudah lama berlangsung. Sampai-sampai ada candaan berbau sarkasme yang berbunyi, ”Ketika Anda sedang tidur kala menyusuri jalur lintas timur Sumatera dari Aceh hingga Lampung, tetapi tiba-tiba Anda terbangun, berarti kendaraan Anda sedang berada di Sumsel”.
Baca juga : Demi Lengking Peluit di Pasar Barter Wulandoni
Lama perjalanan dari Palembang ke Pekanbaru nonstop sekitar 16 jam. Kami memilih menghentikan perjalanan saat malam datang untuk melepas lelah dengan menginap di Arumi, sebuah wisma sederhana yang masuk wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi,
Penginapan itu baru beroperasi satu tahun dan dijaga sendiri oleh pemiliknya, Sapriyanto. Pagi harinya, kami berbincang singkat dengan sang pemilik, terutama mengenai kegelisahannya terkait rencana pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera yang akan melintasi wilayah tersebut.
”Saya khawatir jumlah tamu yang datang akan berkurang karena tidak banyak lagi yang melintasi jalur arteri,” ujar Sapriyanto.
Kegelisahan yang sama juga kerap saya dengar dari sejumlah pelaku usaha kecil yang menggantungkan nasibnya di jalur lintas timur Sumatera.
Perjalanan kami lanjutkan pada pagi hari dengan harapan tiba di Pekanbaru, Riau, pada siang atau sore hari. Di sepanjang perjalanan dari Jambi hingga Pekanbaru, beberapa kali kami bertemu jalan yang sedang diperbaiki akibat longsor.
Baca juga : Cara Wartawan Mencari Kebahagiaan
Agar tidak terjadi kemacetan panjang akibat perbaikan jalan, warga setempat berinisiatif membantu pengaturan lalu lintas. Tentu dengan mengutip bayaran seikhlasnya dari pengguna jalan.
Tak disangka, Transformer tidak banyak mengalami masalah. Kami pun tiba di Pekanbaru dengan selamat. Transformer bahkan turut mengantarkan saya meliput peresmian jalan tol dan menjelajahi empat daerah di Riau, yakni Pekanbaru, Pelalawan, Dumai, dan Kampar.
Menyerah
Tugas peliputan selama sembilan hari di Riau pun usai. Selama itulah, saya tidak pernah lepas dari Transformer. Pada 9 Januari 2023, saya pulang ke Palembang sembari berharap si Transformer tetap prima hingga tiba kembali di ”Bumi Sriwijaya”.
Perjalanan berlangsung mulus tanpa kendala. Namun, sesampainya di perbatasan Riau-Jambi, kondisi mobil mulai mengkhawatirkan. Lajunya seakan tidak bertenaga.
Saking tak bertenaganya, sampai-sampai kesusul oleh laju motor, mobil, hingga truk yang semula jauh di belakang gara-gara mobil kami hanya mampu berlari dengan kecepatan tak lebih dari 30 km per jam.
Kecemasan kian meluap kala mentari mulai tenggelam. Saat itu, kami tiba di jalan yang di kanan kirinya berupa hutan sawit lebat. Dalam hati sempat membatin, jika mobil ini mogok di tengah jalan, akan sulit mencari pertolongan karena jauh dari permukiman warga.
Baca juga : Kepopuleran Produk Indonesia di Puncak Afrika
Beruntung, meski terseok-seok, Transformer masih sanggup mengantar kami hingga keluar kawasan kebun sawit dan tiba di pusat kota Muaro Jambi. Perjuangannya berakhir di sini. Transformer menyerah. Ia tak mampu lagi melaju.
Tak jauh dari lokasinya berhenti, terdapat sebuah bengkel mobil. Namun, karena bengkel sudah tutup dan tidak ada penginapan di dekat sana, kami terpaksa menghabiskan malam di dalam mobil, persis di halaman bengkel.
Keesokan harinya, tepat pukul 08.00, pemilik bengkel datang dan segera membuka tempat usahanya. Semangat kami pun seakan terbit kembali, berharap Transformer bisa segera diperbaiki.
Setelah berbagai pemeriksaan, montir menyimpulkan, penyebab mobil tidak bertenaga adalah habisnya kampas kopling mobil. Beruntung suku cadang yang dibutuhkan tersedia di bengkel ini.
Dari Transformer saya belajar menolak tua untuk tetap berkarya.
”Mobil ini belum tua-tua amat karena masih banyak mobil sejenis yang lebih tua yang dipakai untuk pergi ke kebun (sawit),” kata pemilik bengkel.
Omongannya ternyata bukan basi-basi. Beberapa pelanggan bengkel yang datang hari itu juga memiliki mobil sezaman, bahkan lebih tua, dibandingkan mobil yang saya bawa. Bahkan, salah satu pelanggan bengkel itu akhir tahun lalu baru saja mengendarai mobil buatan tahun 2000 dari Danau Toba ke Jambi. ”Mobil zaman dulu memang lebih bandel dibanding zaman sekarang,” ujar pelanggan bengkel itu.
Sama seperti oplet si Doel yang tetap bersemangat mengangkut penumpang dari Gandul ke Cinere, walaupun telah senja, mobil dinas kami pun tak kalah semangat menjalankan perannya, menyusuri sulitnya medan peliputan. Bagaikan seorang pejuang yang tetap semangat menjalankan tugasnya seoptimal mungkin.
Dari Transformer saya belajar menolak tua untuk tetap berkarya.