Cara Wartawan Mencari Kebahagiaan
Sesi sore ditutup dengan testimoni pimpinan tentang acara itu. Acara ini sebenarnya rekayasa belaka karena tujuan utamanya adalah melemparkan bungkusan plastik berisi air kepada mereka. Tentu bukan untuk menyakiti.
Hari besar dan libur nasional yang ditandai dengan tanggal merah di kalender membawa kebahagiaan tersendiri bagi para pekerja surat kabar cetak, termasuk harian Kompas. Karena pada tanggal merah tersebut tidak ada penerbitan surat kabar, otomatis H-1-nya adalah hari libur bagi pekerja koran, termasuk wartawan, kecuali ada peristiwa luar biasa yang harus diliput.
Kebetulan pada 18 Februari 2023 adalah tanggal merah yang bertepatan dengan peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oleh awak Redaksi Kompas dan Kompas.id untuk outing alias tamasya bersama.
Tidak hanya wartawan, acara ini juga diikuti oleh teman-teman penyelaras bahasa, produksi, sekretariat redaksi, dan media sosial. Karena sesungguhnya sebuah produk jurnalistik tak mungkin digarap oleh satu orang. Di balik ruang redaksi, ada banyak yang turut berkontribusi.
Tentu saja, adanya kehangatan dan keakraban yang terjalin antarindividu akan kian mendukung iklim kerja yang menyenangkan. Untuk mencapai itu, awak Redaksi Kompas berusaha membahagiakan diri di tengah padatnya kerja memproduksi berita.
Dua tahun lebih pandemi Covid-19 yang membuat kami tidak bisa sering bertemu telah membuncahkan keinginan untuk tamasya bersama. Perlahan, tim panitia mulai dibentuk sampai akhirnya tanggal 17-18 Februari 2023 disepakati sebagai hari-H pelaksanaan tamasya. Konsepnya, semua hal dipersiapkan oleh redaksi untuk redaksi.
Karena sudah tidak ada kebijakan PPKM, kegiatan pun bisa digelar dengan bermalam di lokasi acara, yakni di Wisma Kompas Gramedia di Jalan Raya Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Perjalanan akan menggunakan bus pariwisata. Kehebohan pun mulai terasa di Lantai 5 Menara Kompas yang menjadi markas tim Redaksi.
Ada yang berencana tidur di kantor pada malam hari sebelum keberangkatan agar tidak ketinggalan bus yang rencananya bertolak pukul 06.00. Ada pula yang sibuk berlatih untuk kompetisi pentas seni (pensi), salah satu menu acara.
Hari yang dinanti pun tiba. Perjalanan menuju lokasi acara berjalan lancar dengan memakan waktu sekitar 2,5 jam. Sepanjang perjalanan diisi dengan acara mengobrol dengan teman sebangku atau berkaraoke ria.
Tiba di lokasi, sambil menebak-nebak keseruan apa yang akan dialami, peserta yang berjumlah 160 orang ini memanfaatkan waktu dengan saling mengakrabkan diri sambil menikmati makan siang.
Rasa keterpisahan akibat pandemi perlahan mencair dengan saling bertegur sapa dalam suasana rileks. Semboyan yang ditanamkan panitia saat itu, ”outing-nya suka-suka, kerjanya nanti saja”.
Usai sesi isoma dan foto bersama, peserta dikumpulkan di lapangan. Ada sejumlah permainan yang telah disiapkan, yakni ”menjerumuskan kepala desk” dan ”mau di bawa ke mana” ditambah permainan ”hewan mencari teman” dan ”komuni gambar” yang digelar di dalam ruang.
Berbagai permainan ini dirancang untuk menguji kekompakan setiap desk dan lintas desk. Untuk memudahkan kerja sehari-hari, tim Redaksi Kompas dikelompokkan ke dalam berbagai desk, seperti Desk Opini, Budaya, Ekonomi dan Bisnis, Internasional, Humaniora, Politik dan Hukum, Olahraga, Investigasi dan Jurnalisme Data, Multimedia, Foto, Regional, Visual, Video, ditambah Media Sosial, Produksi, dan Sekretariat.
Baca juga: Demi Lengking Peluit di Pasar Barter Wulandoni
Permainan ”menjerumuskan kepala desk” menjadi pembuka yang amat seru. Permainan ini mengajak para anggota desk untuk mengarahkan kepala desknya selamat sampai ke titik akhir tanpa menginjak koran-koran yang telah disebar di lapangan.
Mata kepala desk ditutup dengan kain dan anggota desk memberikan instruksi. Tidak mudah untuk mengarahkan kepala desk karena anggota desk lain dapat mengganggu desk lainnya dengan instruksi palsu.
Permainan berlanjut kompetitif untuk memperebutkan hadiah uang yang dibayar tunai. Semuanya berlangsung penuh kegembiraan dan canda tawa karena di sinilah kami bisa bertemu tanpa membicarakan kerjaan, apalagi deadline.
Obrolan tentang kerjaan hanya terjadi satu kali, yakni usai acara permainan, berupa sesi tanya-jawab tentang kondisi perusahaan dan perkembangannya oleh Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra.
Selama outing, obrolan antarindividu berlangsung cair, termasuk dengan pimpinan. Karena sehari-hari kami terbiasa mengobrol dengan sesama anggota Redaksi tanpa rasa canggung. Bahkan, terkadang diselingi guyonan saling meledek. Apakah akan ada yang sakit hati? Mungkin iya, mungkin tidak. Sejauh ini, belum ada kepalan tangan yang melayang ke wajah orang.
Sesi sore ditutup dengan testimoni pimpinan tentang acara hari itu. Acara ini sebenarnya rekayasa belaka karena tujuan utamanya adalah melemparkan bungkusan plastik berisi air kepada mereka. Bukan untuk menyakiti melainkan sebaliknya, sebagai simbol perhatian dan pengingat dari anak buah kepada pimpinan.
Baca juga: Kepopuleran Produk Indonesia di Puncak Afrika
”Pernah ngelemparin plastik isi air ke arah bos-bosmu? Belum pernah? Mau coba? Gabung ama kita aja di mari...,” kata Luki Aulia, wartawan Desk Internasional, dalam unggahan di Instagram-nya.
”Ini salah satu alasan kenapa saya betah kerja di harian Kompas. Hubungan sama bos-bos, senior-senior, dan manteman itu egaliter aja. Mau protes bisa, mau marah boleh, mau ngenyekyo bisa. Manggil-nya cukup pake Mas dan Mbak, yang dipanggil ’Bapak’ cuma Pak JO,” lanjutnya.
Melewati sore, suhu di lokasi outing turun menjadi 21 derajat celsius. Namun, dinginnya malam itu terkalahkan dengan hangat obrolan saat makan malam. Acara berlanjut dengan pensi yang mengajak setiap desk menyiapkan pertunjukan seni, seperti pentas musik, stand up comedy, dan drama. Semuanya tampil memukau!
Ternyata banyak anggota Redaksi yang memiliki talenta istimewa yang selama ini terpendam dan tidak diketahui teman-teman kantornya. Salah satunya, bakat menyanyi dan main gitar yang ditunjukkan fotografer Rony Ariyanto Nugroho. Tidak menyangka Mas Rony bisa se-ngeblues itu.
Baca juga: Rumitnya Membongkar Skandal Joki di Kalangan Akademisi
Ada pula Mas C Anto Saptowalyono yang penampilannya bikin orang tertawa. Mas CAS, begitu panggilan akrabnya, menarik perhatian dengan penampilannya yang mirip seorang politisi senior.
Belum lagi Mas Arga dan Supriyanto yang ternyata jago ngelawak ala stand up comedy. Masih ditambah dengan bakat-bakat mas dan mbak penampil lainnya. Pendek kata, malam itu ”pecah”.
”Dalam sejarah hidup saya di Kompas, baru kali ini merasakan ’kacau’-nya anak-anak Kompas,” komentar Mas Maryoto, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas, di grup percakapan kantor.
Di sela-sela pensi, digelar pembagian doorprize yang membuat suasana kian ramai dengan beragam hadiah hiburan hingga hadiah utama, seperti cangkul, stagen, rantang, hingga ponsel, tablet, dan jam tangan. Acara pentas seni ditutup dengan penampilan organ tunggal dengan beragam lagu dangdut plus poco-poco dan maumere yang mengundang peserta turut ”melantai”.
Beberapa peserta sempat menyawer sang penyanyi dangdut. Salah satunya Adhitya Ramadhan. Oleh beberapa teman, itu disebut sebagai kunci keberhasilannya meraih salah satu hadiah utama berupa ponsel merek ternama. ”Lumayan, balik modal,” seloroh Adhit.
Baca juga: Hampir Patah Arang Berujung Menang
Keseruan berlanjut di jalanan
Tak ada pesta yang tak usai. Hari Sabtu (18/2/2023) pagi, acara kami hanya sarapan karena harus segera kembali ke Jakarta untuk menghindari kemacetan lalu lintas akhir pekan di wilayah Puncak. Namun, meski sudah berangkat pukul 07.30, bus kami terkena operasi ”buka tutup jalur Jakarta-Puncak” tepat pukul 08.00. Buyarlah target tiba di Jakarta pada tengah hari.
Kendaraan dari arah Puncak ke Jakarta harus ”parkir” manis di jalanan. Seisi bus pun mulai gelisah. Beberapa orang mulai turun dari bus. Ketika penjaja makanan lewat, seperti gemblong, cilok, bakso tusuk, dan telur gulung, penghuni bus tergoda untuk mencicipinya, termasuk Mas Pemred, Sutta Dharmasaputra.
Sebagian teman pergi ke toilet. Pulang-pulang menenteng seplastik ubi Cilembu panggang. Ada pula yang singgah di warung untuk makan mi rebus atau ngopi. Foto-foto sambil memamerkan jajanannya tentu saja tidak ketinggalan. Momen sederhana tetapi seru ini cukup mampu menghibur hati yang gelisah karena dari Pacet kena macet.
Saat ada rombongan pesepeda yang susah payah berusaha menanjak, teman-teman secara spontan bertepuk tangan memberikan dukungan. Hal itu berlangsung beberapa kali. Para pesepeda pun hanya bisa senyum salah tingkah atau sebaliknya, membalas penuh percaya diri dengan kepalan tangan tanda semangat. ”Sungguh gabut,” kata seorang teman mengomentari kelakuan teman-temannya yang mulai ”mati gaya”.
Karena penutupan arus berlangsung lama, sejak pukul 08.00 hingga akhirnya mulai dibuka sekitar pukul 13.30, teman-teman berusaha melakukan berbagai hal untuk membunuh waktu.
Turun naik bus, mengobrol, jajan, makan, foto-foto, ke toilet, jalan-jalan ke kebun teh, hingga tidur di bagasi yang terbuka. Untung ada tambahan ”hiburan” menyoraki para pesepeda dan menonton atraksi paralayang dari balik jendela bus. Benar-benar ”wisata macet”. Beberapa teman yang beruntung berhasil memejamkan mata sejenak dan terlupa dari kemacetan.
Pukul 13.46, antrean kendaraan menuju Jakarta mulai lancar. Setelah menunggu lebih dari lima jam, akhirnya jalur Puncak-Jakarta dibuka dan kami dapat melanjutkan perjalanan. Tiba di Palmerah 2,5 jam setelahnya. Lebih lama macetnya daripada perjalanannya.
Menara Kompas yang menjulang di hadapan mengingatkan, kami telah kembali ke dunia nyata. Tugas-tugas menanti dengan tambahan semangat dari Pacet dan harapan, kapan ya outing lagi?