Terpanggang ”10” Matahari di Morotai
Malam mulai larut. Untuk kembali ke kota yang berjarak 41 kilometer, lampu dekat motor ternyata mati. Kalau lampu jauh ikut mati, bisa-bisa berkendara dalam gulita, tanpa sinyal telepon, dan berpotensi ketemu hewan buas.

Dua nelayan mencari ikan dengan menebar jala di perairan tidak jauh dari Sentra Kawasan Perikanan Terpadu Morotai Daeo di Desa Daeo Majiko, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, Rabu (27/7/2022).
”Mas, di Morotai mataharinya ada sepuluh. Jadi lebih baik agak mendung tetapi tidak hujan,” ujar seorang narasumber, menanggapi celoteh saya, Juli 2022. Saat itu, saya menulis status di Whatsapp, berharap cuaca di Morotai, Maluku Utara, hari itu lebih bersahabat.
Saat itu adalah hari kedua saya di Morotai. Matahari di puncak musim kemarau waktu itu benar-benar terik. Padahal, saya hendak menjelajah kawasan pesisir tenggara pulau seluas 2.337 kilometer persegi itu dengan menggunakan sepeda motor yang kondisinya tidak terlalu prima.
Ya, dalam beberapa hari ke depan, saya bakal berada di pulau yang langsung menghadap ke Samudra Pasifik itu untuk menjalankan tugas peliputan edisi Kemerdekaan Ke-77 Republik Indonesia. Tema liputan soal perikanan dan pariwisata kesejarahan di salah satu pulau tersebut.
Sebelum berangkat dari penginapan di pinggiran kota kecil Daruba, ujian pertama sudah harus saya hadapi, yakni mencari tukang tambal ban. Sepele memang, tetapi penting.
Ban sepeda belakang sepeda motor matik yang saya sewa dari seorang resepsionis hotel tiba-tiba kempes. Padahal, saya baru menaikinya beberapa puluh meter.
Buta dengan wilayah setempat, saya pun mesti bertanya kepada penduduk sekitar. Jawabannya sudah bisa ditebak. Dia hanya menunjuk ke arah lokasi sambil berujar ”di sana” tanpa ada penjelasan detail mengenai jarak dan lokasi.

Pantai Army Dock di Desa Darame-Pandanga, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, sepi, Sabtu (30/7/2022). Destinasi wisata ini cukup mudah dijangkau dan letaknya dekat dengan ibu kota Kabupaten Pulau Morotai di Daruba.
Tak ada pilihan lain. Saya pun hanya bisa menuruti arahan itu sambil tetap menaiki sepeda motor yang bannya meleyot. Tak ingin kondisi ban kian rusak, saya pun terpaksa duduk di ujung depan jok sambil mengempiskan perut dengan maksud agar berat tubuh saya lebih terdistribusi ke depan.
Cara ini terpaksa saya lakukan dari pada harus menuntun sepeda motor dalam jarak jauh. Sementara untuk mengembalikan sepeda motor itu ke pemiliknya lalu menyewa kendaraan lain bukan perkara mudah.
Pekerjaan saya bisa tertunda satu hari hanya untuk sekadar mencari kendaraan pengganti. Padahal, untuk perjalanan dari Malang (home base saya) ke pulau itu saja, saya sudah menghabiskan waktu dua hari perjalanan karena harus transit di Surabaya dan Ternate.
Walakin, sampai di lokasi, bengkel tambal ban yang dimaksud ternyata tutup. ”Oalahhh…,” gumam spontan saya menunjukkan rasa kecewa berat.
Sang pemilik bengkel rupanya sedang merenovasi tempat usahanya. Untungnya, ia kemudian menunjukkan arah ke bengkel lain yang tak jauh dari situ.
Sampai di bengkel kedua, barulah bisa menghirup napas sedikit lega. Sambil menunggu proses penambalan rampung, yang menurut saya caranya kurang meyakinkan karena tanpa proses pemanasan, tak henti punggung telapak tangan saya menyeka peluh yang mengucur deras di dahi. Kaus di dalam jaket pun sudah basah oleh keringat. Padahal, jarum jam baru menunjuk pukul 10.00 WIT.
Baca juga: Cerita Bahagia para Penangkap Tuna di Morotai

Dari kejauhan, seorang pengendara sepeda motor tengah melintas di Jalan Darupa-Sangowo di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara. Kiri-kanan berhiaskan pohon kelapa, Juli 2022.
Setelah ban sepeda motor kembali terisi angin, saya pun melaju menyusuri jalanan di bawah terik mentari. Embusan angin laut yang cukup kencang segera menyapu mendung yang sempat singkat menggelayut. Redup pun kembali berubah terik.
Saya menyesal karena memilih lokasi liputan di daerah yang fasilitasnya masih terbatas. Namun, perasaan itu segera terobati oleh jalanan panjang nan sepi dengan rimbun pepohonan di kiri-kanan jalan. Pemandangan pantai dan laut lepas yang sesekali terlihat dari balik pepohonan kian menghibur hati.
Melaju sendiri di atas sepeda motor dengan tubuh diterpa angin membawa keasyikan tersendiri. Terus terang, bersepeda motor di daerah baru sebenarnya bukan barang baru bagi saya.
Saya menyesal karena memilih lokasi liputan di daerah yang fasilitasnya masih terbatas.
Saat bertugas di Kalimantan tahun 2010-2013, saya sering mengendarai sepeda motor hingga ratusan kilometer, mulai dari Kalimantan Selatan sampai Kalimantan Tengah. Selama bertugas di Jawa pun, sejak 2004-sekarang, ke mana-mana saya lebih memilih roda dua sebagai tunggangan.
Di Morotai ini, makin jauh dari kawasan permukiman (desa), makin hilang pula sinyal telepon apalagi koneksi internet. Hal ini baru saya sadari belakangan setelah mengalaminya sendiri.
Alhasil, Google Map pun tak lagi diandalkan untuk membantu menunjuk jalan. Padahal, papan penunjuk arah sangat sedikit. Akhirnya, ditempuhlah cara konvensional dengan bertanya ke setiap orang yang ditemui agar laju kendaraan tidak ngelantur arahnya.
Baca juga: Imlek dan Kenangan Belajar Seni di China

Dua anak nelayan Desa Sangowo, Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, tersenyum mengangkat ikan kecil hasil tangkapan, Rabu (27/7/2022).
Di sinilah benar-benar terasa bahwa Morotai bukan Jawa. Akhirnya, saya hanya bisa maklum jika jaringan infrastruktur masih sangat terbatas, termasuk jaringan komunikasi (sinyal hanya ada di spot tertentu). Maklum, ini kan di salah satu pulau terluar di Indonesia timur.
Ingatan pun kembali ke satu hari sebelumnya, pada kata-kata sopir taksi yang mengantar saya dari Bandara Leo Wattimena ke penginapan. Saat itu dia juga menawarkan untuk mengantarkan saya liputan dengan mobil karena melihat saya belum mengenal medan.
Namun, tawaran itu saya tolak. Alasannya, biaya sewa mobil plus sopir cukup mahal. Selain itu, cukup sulit untuk mendapatkan bahan bakar dalam jumlah banyak. Di SPBU, antrean kendaraan roda empat sering mengular dan ditinggal begitu saja oleh pemiliknya selama berjam-jam sembari menunggu kiriman bahan bakar tiba.
Selain itu, pertimbangan lain tidak menyewa mobil karena akan lebih banyak tempat bisa saya kunjungi jika menggunakan sepeda motor. Dengan sepeda motor, saya lebih mudah untuk pergi dan berhenti di sembarang daerah tanpa harus beradu argumentasi dengan sopir yang terkadang rewel mengikuti cara kerja kita.
Akhirnya, setelah melaju lebih dari satu jam, sampai juga saya di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Daeo Majiko di Kecamatan Morotai Selatan, yang berjarak sekitar 26 km dari Daruba. Setelah wawancara dengan sejumlah orang, termasuk pihak pengelola, saya melaju ke desa nelayan Sangowo, Kecamatan Morotai Timur, yang berjarak 15 km.
Sebelum meninggalkan SKPT, saya minta nomor kontak Pak Irfan Lastori, salah satu pegawai SKPT yang juga keluarga nelayan di Desa Sangowo. Saya lalu membuat janji temu pada sore hari di rumahnya.
Baca juga: Berjuang Mencapai Daratan Usai Kapal Kandas di Selat Berhala

Kendaraan tempur yang berada di depan area Museum Perang Dunia II dan Trikora di Desa Wawama, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, Sabtu (30/7/2022)
Sampai di Sangowo, matahari sudah condong ke ufuk barat. Saya merasakan suasana perkampungan yang nyaman. Warga setempat sangat ramah dan bersahaja, terutama kerabat Pak Irfan.
Sambil menahan terpaan angin laut di bibir pantai yang menjadi tempat pendaratan ikan, saya berinteraksi dan ngobrol tentang apa saja dengan beberapa warga. Tentang kehidupan nelayan, hasil tangkapan tuna, cuaca, kehidupan, dan banyak lainnya. Tentu saja, obrolan itu saya lakukan sambil mengumpulkan data, memotret, dan mengabadikan dengan video.
Tak terasa terang telah berubah menjadi gelap. Niat bermalam di rumah Pak Irfan belum ada kejelasan. Untuk pulang kembali ke kota Daruba yang berjarak 41 kilometer, saya teringat kondisi sepeda motor yang ternyata lampu dekatnya mati (tinggal lampu jauh).
Artinya, jika di tengah perjalanan lampu jauh sepeda motor menyusul mati, saya akan berkendara dalam gulita. Tentu ini bukan pilihan yang bagus mengingat saya belum hafal rute. Ditambah lagi kondisi jalan yang minim lampu penerangan, tak ada sinyal telepon (kecuali di Desa Sangowo), ternak yang bebas berkeliaran di jalan, hujan deras, hingga ancaman hewan buas. Semua itu jadi pertimbangan.
Tebersit untuk menginap di warung pisang goreng yang pedagangnya ternyata orang asli Tuban, Jawa Timur. Di tempat itu ada kursi panjang yang terbuat dari beberapa bilah kayu. Meski cukup keras, rasanya lumayan untuk tempat meluruskan punggung yang seharian di atas motor dan pantai.
Untungnya, selepas pukul 22.00, ketika saya mencoba kembali ke rumah Pak Irfan, ada anggota keluarganya yang membukakan pintu dan mempersilakan saya masuk untuk bermalam. Rupanya, Pak Irfan ketiduran karena capek bekerja seharian sehingga tak merespons panggilan telepon saya.
Baca juga: Morotai Mutiara Perang Dunia II di Bibir Pasifik

Seorang nelayan di Desa Sangowo, Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, Rabu (27/7/2022), memanggul tuna dari atas perahu untuk dibawa ke tempat penimbangan di bibir pantai.
Dengan alasan sungkan tidur di kamar yang dipakai anggota keluarga yang lain, akhirnya selembar tikar saya pilih untuk merebahkan badan di ruang tamu. Tempat ini jauh lebih baik dibandingkan warung pisang goreng tadi. Berteman losion antinyamuk, akhirnya terlelap juga saya sampai subuh. Terima kasih banyak Pak Irfan atas tumpangannya.
Hari ketiga di Morotai, saya gunakan untuk wawancara dengan beberapa narasumber dari pemerintah daerah setempat. Di sela-sela itu, saya mengunjungi narasumber yang sangat ramah kepada Kompas, Muhlis Eso namanya. Dia pendiri museum swadaya Perang Dunia II di Desa Joubela, Kecamatan Morotai Selatan.
Rupanya Pak Muhlis pernah menerima kunjungan beberapa rekan Kompas sebelumnya. Satu bulan kemudian, setelah artikel soal kiprahnya dimuat dalam rubrik Sosok di harian Kompas, dia mengabari bahwa aliran listrik ke tempatnya telah dipasang. Sebelumnya, Pak Muhlis hanya menggunakan lampu solar sel yang terbatas untuk penerangan museum.
Selama di Morotai saya tak hanya mengumpulkan bahan soal ikan tuna, tetapi juga wisata kesejarahan. Morotai kaya akan jejak sejarah Perang Dunia II. Artefak sisa perang mudah dijumpai di banyak tempat, khususnya di kawasan pantai.
Selain itu, ada hal lain yang menarik untuk saya dapatkan, yakni kuliner papeda. Sejak beberapa hari menjejakkan kaki di pulau itu, saya belum pernah mendapati makanan khas tersebut. Yang banyak justru masakan Padang, masakan khas Jawa, dan nasi kuning setempat yang enak.
Pun di penginapan, tak menyediakan papeda meski singkong, ubi, dan pisang rebus/goreng selalu ada. Saat saya tanyakan hal itu ke orang-orang jawaban mereka hampir seragam, yakni ”Mesti pesan dulu, kalau yang siap makan jarang ada.”
Baca juga: Getar Kehidupan dari Balik Reruntuhan

Mama Salma Baya (58) menyiapkan menu papeda dan masakan lainnya di warung miliknya di Daruba, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, akhir Juli 2022.
Akhirnya, begitu bahan liputan soal tuna dan sejarah terkumpul, pada hari kelima saya bisa lebih fokus ke kuliner. Saya menelusuri warung-warung makan di daerah yang ramai kegiatan ekonominya, mulai dari Kampung China hingga Pasar Gotalamo. Di Pasar Gotalamo, saya hanya menemukan bahan baku papeda.
Seorang pedagang (ibu) asli Morotai yang bersuamikan orang Jawa (sehingga fasih berbahasa Jawa) di Pasar Gotalamo, bahkan meminta pemilik warung lain untuk memasakkan papeda buat saya tetapi permintaan itu ditolak oleh yang bersangkutan.
Dari mulut ke mulut, dari warung ke warung, akhirnya saya diarahkan ke salah satu warung makan yang berada tidak jauh dari Pelabuhan Daruba. Di situlah akhirnya saya bisa mendapatkan makanan itu dengan cara memesan sehari sebelumnya.
Di hari terakhir di Morotai, beberapa jam sebelum saya naik pesawat ke Ternate untuk kembali ke Jawa, menu papeda dengan lauk dan sayur pun bisa saya nikmati. Menu istimewa itu sekaligus menutup ”petualangan” saya di salah satu pulau terluar nan eksotik yang kaya akan sejarah masa lalu itu.