Tengah Malam, di antara Longsor dan Jenazah Korban
Perjalanan terasa makin mencekam karena kami harus melewati perkampungan sunyi yang porak-poranda. Beberapa kali kami melewati timbunan longsor atau rumah yang di dalamnya tampak jenazah korban.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F12%2Ff2de3738-4828-4e3b-a81a-450e420b9436_jpg.jpg)
Longsor dan banjir di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, menyebabkan banyak rumah hancur tertimpa longsor ataupun hanyut terbawa air. Longsor terparah terjadi antara lain di sepanjang jalur Malino-Sinjai di Kecamatan Sinjai Barat dan Sinjai Tengah.
Tak pernah menduga bahwa pada sore hingga malam itu, Rabu (21/6/2006), saya akan berjalan kaki nyaris tanpa henti selama lebih dari 8 jam. Di tengah kegelapan malam dan guyuran hujan, saya dan seorang teman harus menembus 37 titik longsor di jalur sepanjang lebih dari 20 kilometer yang masuk wilayah beberapa kecamatan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Rasanya ini menjadi salah satu perjalanan liputan yang paling berat dan lekat dalam ingatan.
Sambil berjalan menembus pekatnya malam, saya melewati rumah-rumah yang porak-poranda dengan tubuh-tubuh tak bernyawa di dalamnya, korban banjir bandang dan longsor. Tiang listrik dan pepohonan malang melintang di antara timbunan material berupa bongkahan bebatuan besar dan tanah yang tingginya mencapai lebih dari 15 meter.
Rasa takut muncul mengingat rute perjalanan berada di antara jurang dan tebing yang setiap saat bisa saja runtuh karena kondisinya yang masih labil. Hanya tekad untuk menembus wilayah yang terisolir akibat bencanalah yang membuat saya berusaha menepis rasa itu.
Belakangan, setibanya di tujuan, yakni Desa Kompang di Kecamatan Sinjai Tengah, barulah saya menyadari betapa banyak luka berdarah di kaki dan lengan. Rupanya, saat berjalan dan terbenam di lumpur yang tingginya terkadang hingga sepinggang, ada banyak potongan bambu dan ranting pohon yang menggores dan menyebabkan luka.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F12%2Fedf39488-08ea-4177-9373-208b93499281_jpg.jpg)
Longsor dan banjir yang melanda Kabupaten Sinjai dan sekitarnya membuat hampir seluruh wilayah Kabupaten Sinjai porak-poranda dan terisolasi. Di antaranya perkampungan di Desa Kompang dan sekitarnya di Kecamatan Sinjai Tengah.
Banjir bandang putus akses
Ketika mendapat informasi tentang peristiwa banjir di Sinjai yang terjadi pada Selasa dini hari, saya sudah siap berangkat. Sayangnya, informasi yang diterima awak redaksi di Kantor Kompas Biro Sulawesi dan Indonesia Timur di Makassar menyebutkan bahwa akses ke Sinjai terputus.
Dalam kondisi normal, Sinjai bisa dicapai dari Makassar melalui dataran tinggi Kanreapia di Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa. Jalur lain dengan menyisir pantai via Kabupaten Bulukumba atau melewati pegunungan karst di Kabupaten Bone via Camba. Akibat banjir, akses dari Bone dan Bulukumba terputus, sementara jalur via dataran tinggi Kanreapia tertutup longsor.
Rekan saya, wartawan Kompas, Dwi As Setianingsih, sudah berangkat lebih dulu pada Selasa pagi dengan mencoba jalur via Bone. Saya masih di Makassar mengumpulkan informasi untuk menentukan apakah akan lewat Bulukumba atau Kanreapia.
Iwan, anggota staf bagian rumah tangga di Kantor Biro Kompas saat itu adalah warga Sinjai. Di sana pula orangtua dan saudaranya berada. Dengan komunikasi terbatas akibat jaringan telepon di lokasi bencana yang terganggu, saya meminta Iwan menghubungi keluarganya. Saya ingin memastikan apakah memungkinkan untuk lewat Kanreapia.
Baca Juga: ”Lucky Journalism”, Ilmu Jurnalistik yang Tidak Bisa Dipelajari
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F12%2Fd210e72f-fad6-403d-9582-71bcfc4b22cc_jpg.jpg)
Sebagian lokasi bekas banjir masih belum dibersihkan, Kamis (22/6/2006), di Kelurahan Biringere, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, Sulsel. Minimnya air bersih membuat warga kesulitan membersihkan rumah mereka dari material lumpur.
Dari kerabat Iwan, kami mendapat kabar ada banyak titik longsor selepas Kanreapia hingga Sinjai Tengah. Namun, rasanya ada harapan saat kerabat Iwan mengatakan, kemungkinan mereka bisa menjemput dengan kendaraan roda dua setelah lokasi beberapa titik longsor.
Saya dan Iwan akhirnya berangkat pada Rabu (21/6/2006). Selain untuk teman jalan, keberangkatan Iwan juga untuk memastikan kondisi keluarganya.
Selepas Kanreapia, kami tiba di wilayah Sinjai Barat menjelang sore. Namun, ini baru di ujung Sinjai Barat. Tujuan kami masih jauh, Sinjai Tengah, tempat kami akan menginap. Saat itu banyak kendaraan dan kerumunan warga. Dari mereka, kami dapat kabar sulitnya menembus wilayah Sinjai Tengah dan sekitarnya. Sebagian besar kemudian memilih menunda perjalanan. Namun, harapan bahwa kami akan dijemput kendaraan roda dua setelah melewati beberapa titik longsor membuat saya dan Iwan memilih melanjutkan perjalanan.
Mobil, yang membawa kami dari Makassar, kami tinggal untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Hanya laptop dan beberapa perlengkapan yang saya bawa, ditambah beberapa lembar pakaian yang saya bungkus dengan plastik agar tidak basah.
Baca Juga: Cara Menjadi ”Ahli” Durian
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F12%2Ff28cf0c8-ecf2-4197-afa6-21c21b5cce2c_jpg.jpg)
Longsor yang menimbun hampir seluruh ruas jalan di sepanjang jalan poros Malino-Sinjai membuat desa-desa di Kecamatan Sinjai Barat dan Tengah terisolasi. Titik-titik longsor membuat banyak warga kesulitan mengungsi. Warga yang sakit harus diungsikan menggunakan tandu sarung yang dibuat dari batang bambu seadanya.
37 titik longsor sepanjang 20 kilometer
Baru saja mulai berjalan kaki, kami sudah dihadang titik longsor. Awalnya tinggi longsoran ”hanya” sekitar 5 meter dengan panjang 20-30 meter. Lama-lama, titik-titik longsor kian tinggi dan panjang. Jarak antara satu titik longsor dan titik lainnya juga kian rapat. Rasanya baru saja turun dari satu titik longsor, titik longsor berikutnya sudah di depan mata.
Kami terus berjalan ketika hujan deras turun jelang tengah malam. Kondisi ini membuat material longsor berubah menjadi bubur tanah. Suasana sangat gelap karena aliran listrik padam akibat bencana yang turut merobohkan tiang-tiang listrik. Sayangnya, kami melakukan kesalahan fatal dengan tidak membawa senter. Jas hujan pun tertinggal di mobil.
Terpaksa kami berjalan dalam gelap dan sesekali meraba-raba sekitar atau berpegangan pada pepohonan yang tumbang. Tubuh yang basah kuyup membuat kami kedinginan. Diam sebentar saja membuat tubuh saya menggigil. Satu-satunya cara agar tubuh tetap hangat adalah dengan terus berjalan.
Dalam perjalanan, beberapa kali kami terperosok ke dalam material longsor yang sudah berubah menjadi bubur tanah. Potongan bambu dan batang serta ranting pohon menggores dan menusuk kaki dan lengan. Anehnya, saat itu semua seperti tidak terasa.
Baca Juga: Perempuan yang Tidak Mendapat Segelas Kopi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F13%2Faa90257e-4fc3-439f-a57e-abb094c3fcbe_jpg.jpg)
Abdul Azis (10) sedang mengumpulkan krayon miliknya yang basah karena banjir di bangunan bekas rumahnya di Kelurahan Biringere, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, Sulsel, Kamis (22/6/2006). Jumlah korban meninggal akibat banjir dan tanah longsor tersebut mencapai 199 orang.
Perjalanan terasa makin mencekam karena kami harus melewati perkampungan sunyi yang porak-poranda. Bangunan-bangunan rumah jungkir balik di sana-sini. Ada yang terimpit material batu dan tanah. Ada pula yang bergeser hingga ke bibir jurang akibat terkena reruntuhan dari tebing. Beberapa kali kami melewati timbunan atau rumah yang di dalamnya tampak jenazah korban.
Sebenarnya kami sempat putus asa saat harus melewati longsoran demi longsoran yang seakan tiada habisnya. Pada satu titik, saya sempat berhenti setelah menyadari bahwa malam itu hanya kami berdua yang meneruskan perjalanan. Apalagi, tak ada tanda-tanda bahwa kami akan bisa dijemput dengan kendaraan roda dua. Saya lalu berdiskusi dengan Iwan, apakah sebaiknya kami kembali atau meneruskan perjalanan. Iwan mengatakan, kami tak punya pilihan selain melanjutkan perjalanan. Posisi kami yang setengah jalan membuat perjalanan kembali akan sama beratnya. Betul juga. Mau tak mau kami melanjutkan perjalanan.
Mulai berjalan kaki sekitar pukul 15.00 Wita, akhirnya kami berhasil tiba di Sinjai Tengah pukul 23.00 Wita. Kami menuju rumah keluarga Iwan yang ternyata dijadikan tempat mengungsi warga.
Baca Juga: Susahnya Mau Ketemu Xi Jinping
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F13%2F1f5c1d1e-2b69-4c15-9b9d-f17f19c176e3_jpg.jpg)
Surati, warga Kelurahan Biringere, Sinjai Utara, Sinjai, pingsan saat jasad anaknya ditemukan. Bencana banjir dan longsor yang terjadi pada pertengahan 2006 di Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai di Provinsi Sulsel menelan ratusan korban tewas, termasuk anak Surati. Bencana terjadi akibat penggundulan hutan.
Di tempat ini kami mendapati sebagian warga terluka. Ada pula yang mengalami patah tulang dan terpaksa hanya ditolong seadanya oleh warga kampung. Beberapa orang lain kondisinya cukup parah.
Keesokan paginya, saya mendapat kabar bahwa sebagian warga tak punya cukup persediaan bahan makanan. Di tempat ini, warga lazimnya berbelanja sekali sepekan pada hari pasar, yakni Selasa pagi, untuk kebutuhan seminggu. Banjir bandang dan longsor terjadi Selasa dini hari. Akibatnya, sebagian besar warga kehabisan bahan pangan karena belum sempat berbelanja lagi.
Sebenarnya warga menanam ubi dan pisang di sekitar rumah. Namun, tanaman-tanaman itu sebagian besar rusak terkena longsor. Warga mencoba menyelamatkan yang tersisa. Itulah yang kemudian mereka makan bersama. Warga yang masih memiliki bahan makanan pun tulus berbagi dengan warga lainnya.
Pagi itu saya mencoba berjalan keliling kampung yang kondisinya sudah tak karuan. Kampung ini benar-benar terisolasi. Dari arah Sinjai kota, longsor terjadi di mana-mana. Begitu pun dari arah Kanreapia.
Baca Juga: Desa Sikundo yang Viral Lalu Dilupakan

Sejumlah aparat TNI dibantu warga setempat, Rabu (21/6/2006), mengevakuasi korban yang tertimbun reruntuhan rumah mereka yang diterjang banjir bandang pada Selasa dini hari di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Banjir tersebut mengakibatkan ratusan warga tewas.
Saat itu jaringan komunikasi amat sulit. Listrik pun padam. Jika awalnya masih bisa menikmati listrik dari genset (generator set), hari-hari berikutnya kami melalui malam dengan lampu minyak. Warga mulai membutuhkan makanan dan obat-obatan.
Dalam kondisi seperti ini, bantuan hanya mungkin dikirimkan via helikopter. Saya meminta warga mencari lokasi terdekat yang sekiranya bisa dijadikan tempat pendaratan helikopter, tetapi ternyata tak ada. Artinya, jalan satu-satunya adalah dengan menjatuhkan bantuan dari helikopeter selama jalur darat masih tertutup.
Sulitnya komunikasi telepon membuat saya nyaris putus asa karena punya hasil pantauan lapangan dan data-data, tetapi sulit mengirim berita. Saat itu, hanya ada satu titik di area masjid yang mendapat sinyal jaringan komunikasi. Itu pun, kalau geser sedikit, bisa hilang sinyal. Untuk menelepon dan mengirim berita, saya harus menggantung telepon di titik terdapatnya sinyal. Beberapa kali berita harus saya kirim via pesan pendek alias SMS. Pada kesempatan lain, saya harus membacakan berita yang saya buat dan akan dicatat oleh rekan di Kantor Biro Kompas di Makassar. Mengirim gambar menjadi mustahil dilakukan.
Baca Juga: Ulah Wartawan kepada God Bless
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F13%2Fb8d3f4c0-4e0d-4c5d-ba82-67697a2c29a7_jpg.jpg)
Sebagian lokasi bekas banjir di Kelurahan Biringere, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Kamis (22/6/2006), belum dibersihkan.
Setelah urusan berita teratasi, saya berusaha membantu warga untuk mendapatkan pertolongan. Sudah beberapa hari, belum sedikitpun bantuan datang. Persediaan makanan di rumah-rumah warga kian menipis. Sisa bahan makanan di kebun lebih banyak yang tertimbun dan rusak ketimbang yang bisa diselamatkan. Warga bukan hanya terancam kelaparan, mereka juga butuh obat bagi yang sakit dan luka-luka.
Bantuan datang
Saat itu, baru saya satu-satunya orang luar kampung sekaligus wartawan yang tembus ke Sinjai Tengah. Tim SAR, bahkan aparat, belum ada yang tiba hingga hari keempat pascabencana. Konsentrasi regu penolong dan aparat terpusat di Sinjai kota yang terdampak parah akibat banjir bandang. Daerah-daerah dataran rendah diterjang banjir, sedangkan daerah dataran tinggi, seperti Sinjai Barat, Sinjai Tengah, dan sekitarnya, dihantam longsor parah.
Saya akhirnya memberanikan diri menelepon Syahrul Yasin Limpo, Wakil Gubernur Sulawesi Selatan saat itu, yang menjabat sebagai penanggung jawab penanggulangan bencana daerah. Saya ceritakan kondisi warga dan perkampungan yang terisolasi dengan terperinci. Saya juga menyampaikan bahwa distribusi bantuan paling memungkinkan adalah dengan helikopter.
Baca Juga: ”Apple Fanboy” di Pesta Penguasa Android
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F13%2Fe721c277-2f36-42df-bcc4-056523cf1001_jpg.jpg)
Seorang warga Kelurahan Biringere, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, tampak termenung di lokasi bekas bangunan rumahnya yang rusak diterjang banjir, Kamis (22/6/2006). Warga korban banjir dan longsor yang kehilangan rumah terpaksa tidur di tenda darurat, sementara siang hari mereka gunakan untuk mencari sisa-sisa barang yang masih bisa dimanfaatkan.
Komunikasi dengan Wagub membuahkan hasil. Keesokan harinya, suara heli terdengar di atas perkampungan. Namun, rimbun pepohonan dan kondisi material longsor di mana-mana membuat lokasi penjatuhan bantuan menjadi lebih jauh. Warga menjemput bantuan dan membawanya masuk kampung dengan cara estafet.
Selain itu, alat berat mulai diturunkan. Ada yang menggarapnya dari arah Sinjai kota dan sebagian lagi dari arah Kanreapia. Namun, besarnya material longsoran membuat alat berat satu per satu rusak. Butuh waktu lama sampai lingkungan benar-benar bebas dan bersih dari tumpukan material.
Beberapa hari kemudian, seusai menuntaskan liputan, saya meninggalkan Sinjai Tengah dan bergeser ke arah kota. Saya masih harus berjalan kaki melalui sejumlah titik longsor dan aliran sungai baru.
Bedanya, kali ini jalan mulai terbuka. Saya juga punya teman seperjalanan yang punya tujuan sama ke ibu kota kabupaten.