Rebutan air dengan sapi menjadi drama rutin setiap hari selama musim kemarau. Berkat para pembaca, cerita ini diharapkan tak lagi ada. Kini telah dibangun 16 sumur bor bagi 10.522 warga di lima kabupaten di Pulau Timor.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
Suatu hari di bulan Oktober 2020. Bus yang membawa penumpang sejak pagi dari Kota Kupang baru tiba di Desa Manulea menjelang gelap. Jarak tempuh sebenarnya hanya 257 kilometer. Namun, karena banyak ruas jalan berkelok yang kondisinya rusak berat, waktu tempuh lebih dari delapan jam! Tulang belakang rasanya bengkok gara-gara seharian duduk bersandar di bangku bus.
Manulea yang berada di pedalaman Pulau Timor menyambut kedatangan dengan suhu dinginnya. Selain berada di dataran tinggi, selama bulan Juni hingga Oktober, Manulea diembus angin timur dari Australia yang membawa suhu dingin dari sisi Laut Timor. Membuat hawa dingin kian menusuk. Upaya untuk menghangatkan tubuh dengan segelas kopi panas tak terlalu berhasil. Baru seruputan ketiga, rasa panasnya sudah hilang.
Saya sengaja datang ke Manulea di Kabupaten Malaka, NTT, setelah mendapat informasi bahwa kampung itu selama bertahun-tahun mengalami krisis air. Memang kondisi semacam itu banyak juga ditemukan di kampung-kampung lain di NTT. Tetapi, apa yang terjadi di Manulea sebenarnya bukan sekadar krisis air biasa. Di sana, warga bahkan harus berebut air dengan sapi. Inilah yang menggugah nurani saya.
Potret krisis air tampak jelas ketika berkunjung ke rumah penduduk. Setiap rumah biasanya memiliki tempat penampungan air yang terhubung dengan talang air yang menyalurkan air dari atap rumah saat hujan.
Sayangnya, hasil tampungan itu hanya cukup untuk bertahan beberapa bulan saja. Memasuki bulan Agustus, saat kemarau panjang, yang tersisa hanyalah endapan lumpur kering di dasar bak penampung.
Untuk memenuhi kebutuhan air minum, mereka membeli dari mobil tangki. Itu pun tidak semua mampu membelinya karena sebagian besar warga masuk kelompok ekonomi menengah ke bawah. Harga air satu tangki berukuran 5.000 liter sekitar Rp 500.000. Sebagai perbandingan, di Kota Kupang, harganya Rp 60.000 untuk jumlah air yang sama.
Satu-satunya andalan warga untuk memenuhi kebutuhan air adalah kali atau sungai. Di dekat kampung itu terdapat sebuah kali yang mulai mengering akibat kemarau.
Untuk sampai ke sana, saya harus melangkah penuh kehati-hatian karena jalannya menurun terjal dan berbatu. Namun, tidak begitu dengan ibu-ibu setempat. Mereka tampak lincah melewatinya. Padahal, kepala mereka menyunggi ember berisi pakaian kotor. Belum lagi mereka juga mengendong anak dan salah satu tangan menenteng jeriken. Sungguh luar biasa.
Siang itu, langkah mereka seperti setengah berlari. ”Cepat, nanti sapi sudah datang, air tidak bisa pakai lagi,” teriak Vita Metom (40), salah seorang ibu, kepada ibu-ibu lainnya.
Mereka takut keduluan kawanan sapi yang hendak minum di kali itu. Sayangnya, ibu-ibu itu terlambat. Sapi sudah lebih dulu tiba.
Akibatnya, warna air sungai pun menjadi kecoklatan. Kotoran sapi jatuh ke mana-mana, mengotori air sungai. Ibu-ibu itu terpaksa menunggu. Mereka membersihkan baju sambil menanti hingga air terlihat jernih kembali. Butuh waktu satu jam sebelum akhirnya mereka bisa lanjut dengan kegiatan mandi-cuci-kakus. Rebutan air dengan sapi menjadi drama rutin yang mereka alami setiap hari selama musim kemarau.
Selain di Manulea, saya juga pernah meliput krisis air bersih di sisi selatan Pulau Timor, tepatnya di Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang. Saya menjangkau hingga ke Desa Enoraen, yang berjarak sekitar 90 kilometer dari Kota Kupang. Untuk ke sana, saya menggunakan sepeda motor. Kondisi jalan rusak parah sehingga waktu tempuh lebih dari tiga jam.
Sumur yang menjadi sumber air warga setempat sayangnya sudah mulai mengering sejak bulan Juni dan baru akan terisi lagi saat hujan turun mendekati akhir tahun. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mereka harus patungan untuk membeli satu tangki air ukuran 5.000 liter seharga Rp 1 juta. ”Ini lebih mahal dari harga 1 gram emas,” ujar Thomas Alva Edison (35), guru di daerah itu.
Krisis air bersih juga dialami warga eks Timor Timur yang menetap di sejumlah daerah di Pulau Timor. Mereka dengan fondasi ekonomi yang lemah hanya bisa menanti bantuan dari pemerintah. Ada yang direspons, namun banyak yang berjuang sendiri. Mereka berutang demi bisa memiliki sumur. Satu sumur dipakai puluhan keluarga.
Krisis air bersih menjadi pangkal berbagai persoalan. Yang paling mendasar adalah sanitasi, yang berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat. Pertumbuhan anak balita ikut dipengaruhi oleh sanitasi. Tak heran, banyak anak tumbuh dalam kondisi tidak ideal atau tengkes (stunting) disebabkan oleh faktor gizi yang diperburuk sanitasi.
Menurut Studi Status Gizi Indonesia 2021, prevalensi tengkes tertinggi nasional ada di NTT. Dari 22 kabupaten/kota di NTT, 15 di antaranya berada pada zona merah (prevalensi di atas 30 persen) dan 7 lainnya berada pada zona kuning (20-30 persen). Tak ada satu pun kabupaten/kota di NTT yang masuk zona hijau (10-20 persen), apalagi zona biru (di bawah 10 persen).
Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi daerah dengan prevalensi tertinggi, yakni 48,3 persen. Hal ini berarti 48 dari 100 anak balita di daerah itu mengalami tengkes. Itu merupakan angka tertinggi untuk level provinsi sekaligus nasional. Angka 48,3 persen itu dua kali lipat lebih daripada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memberi toleransi pada angka 20 persen.
Bangun sumur bor
Rupanya serangkaian laporan tentang krisis air bersih di Kompas itu mendapat respons dari para pembaca. Suatu malam pada bulan Agustus 2021, Letnan Jenderal (Purn) Doni Monardo, yang kini menjabat Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI AD, menghubungi saya. Doni menyampaikan keprihatinannya atas persoalan air bersih di NTT. Ia pun berniat membantu.
Setelah bertukar pikiran dengan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid, mereka berencana membangun sumur bor bagi warga. Sumur bor itu dikerjakan oleh prajurit TNI AD di bawah pengawasan Letnan Jenderal Maruli Simanjuntak yang kini menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis AD.
Pada 11 Juli 2022 lalu, sebanyak 16 sumur bor yang telah selesai dikerjakan diserahkan kepada warga di 16 permukiman. Sasaran penggunanya adalah 1.674 keluarga atau 10.522 jiwa. Lokasi sumur tersebar di lima kabupaten di Pulau Timor, yaitu Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, dan Belu.
Saya ikut meliput acara peresmian yang dipusatkan di Desa Noelbaki, Kabupaten Kupang, itu. Selain Doni, Arsjad, dan Maruli, hadir juga Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal Iwan Setiawan, Komandan Pangkalan TNI AU Eltari Marsekal Pertama Aldrin P Mongan, Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosiana Silalahi, Bupati Kupang Korinus Masneno, para pejabat daerah, dan ratusan warga.
Bagi saya, puncak dari kerja seorang jurnalis itu ketika karyanya berguna bagi masyarakat.
Hal tak terduga pun terjadi. Saat memberi sambutan, Doni tiba-tiba menyebut nama saya. Ia lalu meminta saya ke depan dan memberikan podium kehormatannya. Dia ingin saya berbicara. ”Tanpa bantuan Pak Frans, pembangunan sumur bor ini belum tentu ada. Pak Frans menulis artikel di Kompas,” kata Doni memperkenalkan saya.
Doni mengungkapkan kepada semua yang hadir bahwa program air bersih itu hadir berkat laporan saya di harian Kompas. Saya ikut senang lantaran ada orang seperti Doni, Arsjad, dan Maruli yang tergugah nuraninya berkat pemberitaan media. Saya berterima kasih kepada mereka.
Setidaknya perjalanan saya dalam meliput krisis air bersih di Pulau Timor membuahkan hasil. Bagi saya, puncak dari kerja seorang jurnalis adalah ketika karyanya berguna bagi masyarakat. Lewat ujung pena jurnalis, menetes air bersih untuk warga yang selama ini terbelenggu krisis air.