Malam Sial di Pasaman Barat
”Ada, Bang. Masih ada kamar kosong,” jawaban lelaki lewat speaker ponsel. Bak harimau bertemu rusa, saya menggeber motor sekencang-kencangnya, tak mau kamar ini keburu diisi orang. Apa akan ada kesialan lain setelah ini?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F17%2Fb0ed87d1-134e-47c9-bd23-e3b24f5ee2b0_jpg.jpg)
Suasana lalu lintas di Bundaran Simpang Empat, Nagari Lingkuang Aua, Kecamatan Pasaman, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Rabu (9/3/2022) siang.
Saya tak paham apa yang salah dengan malam itu. Rasanya semua sudah saya persiapkan dengan baik. Walakin, persiapan baik tak menjamin semua rencana berjalan baik.
Pada 9 Maret 2022, untuk pertama kalinya, saya liputan ke Pasaman Barat (Pasbar), Sumatera Barat. Hari itu hari ke-13 pascagempa M 6,1 melanda Pasbar dan Pasaman, dua kabupaten di bagian barat laut Sumbar. Gempa menelan 20-an korban jiwa dan menyebabkan ribuan rumah rusak.
Meskipun kedua daerah itu merupakan wilayah liputan saya, saat kejadian, saya tidak bisa ke sana karena masih dalam proses isolasi mandiri akibat positif Covid-19 sejak 21 Februari 2022. Tugas liputan kemudian digantikan oleh rekan dari Batam dan Jakarta. Baru pada hari Rabu (9/3/2022) saya bisa ke lokasi untuk meliput proses penanganan pascagempa.
Tiga hari menjelang keberangkatan, saya sudah menyiapkan segala sesuatu, terutama kondisi sepeda motor. Saya ingin meminimalkan segala sesuatu yang berpotensi menghambat perjalanan sepanjang 176 km dari Kota Padang, tempat saya bermukim.
Saya memang lebih suka berangkat liputan ke mana-mana dengan motor, termasuk dinas luar kota (DLK). Sebenarnya, kantor menyediakan anggaran untuk sewa mobil selama DLK. Namun, selagi masih memungkinkan, bersepeda motor jadi pilihan utama saya.
Berangkat dengan sepeda motor memang melelahkan. Walakin, perjalanan dengan kendaraan roda dua ini lebih fleksibel dan bebas macet. Bisa menjangkau hingga ke jalan-jalan sempit.
Tiga hari menjelang keberangkatan, saya menyervis dan mengganti oli motor bebek merah saya di bengkel resmi. Servis ini lebih awal dari jadwal karena masih tersisa 450 km lagi. Saya ingin mengantisipasi kesulitan mencari bengkel di lokasi bencana.
Selain servis dan ganti oli, siang itu mekanik bengkel merekomendasikan agar ban belakang juga diganti karena habis masa pakainya. Tanpa pikir panjang, tawaran itu saya iyakan meskipun sehari sebelumnya ban dalamnya baru diganti. ”Yang penting perjalanan aman,” pikir saya.
Perjalanan pagi itu begitu menggairahkan karena ini hari pertama saya liputan kembali ke luar kota setelah terpapar Covid-19.
Ban belakang kemudian diganti ban tubeless, sama seperti kondisi awal ketika dibeli. Saya ingin memastikan kondisi motor keluaran 2019 itu benar-benar siap.
Rabu pagi, saya tancap gas dari indekos di Andalas, Padang, ke lokasi tujuan, yakni posko utama pengungsian di kompleks kantor Bupati Pasbar. Perlengkapan liputan, seperti kamera dan laptop, sudah siap di ransel dengan baterai penuh. Demikian pula dengan perlengkapan lainnya.
Ransel dan jok sepeda motor penuh dengan pakaian untuk lima hari. Tak lupa tiga batang besar cokelat sebagai jaga-jaga kalau kesulitan mencari makanan. Uang tunai juga sudah siap di dompet. Kostum perjalanan saya saat itu, jaket, celana kargo, kacamata, dan perlengkapan lainnya.
Perjalanan pagi itu begitu menggairahkan karena ini hari pertama saya liputan kembali ke luar kota setelah terpapar Covid-19. Rasanya seperti burung yang lepas dari sangkar. Merdeka dari 10 hari masa isolasi. Saya akhirnya bisa menikmati pemandangan dan menghirup udara segar. Playlist grup band Red Hot Chili Peppers yang enerjik menemani perjalanan selama empat jam bermotor.
Meskipun ini kunjungan perdana ke Pasbar, tak ada kendala berarti selama perjalanan. Google Maps lumayan bisa diandalkan untuk mencapai lokasi baru. Lagi pula setibanya di Agam atau sekitar 2/3 perjalanan, jalur menuju Pasbar relatif sederhana.
”Belok kiri, lurus sejauh 47 km,” kata ”mbak” Google Maps sesampainya di persimpangan terakhir di Agam menuju Pasbar. Ternyata benar, jalur ke lokasi itu lurus-lurus saja. Saya berpapasan dengan truk-truk pengangkut kelapa sawit yang silih berganti melintas di bawah terik mentari menjelang tengah hari.
Baca juga: Ternyata Susah Jadi Mantri Ternak
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F09%2F4b4a77e4-cb7d-4edb-ab20-95650b37a446_jpg.jpg)
Pengungsi gempa di posko utama yang berlokasi di kompleks kantor dan rumah dinas Bupati Pasaman Barat tengah berkemas untuk kembali ke rumah masing-masing di Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Rabu (9/3/2022). Mereka pulang dengan dibekali tenda keluarga, kebutuhan pokok, dan kebutuhan lainnya.
Saya tiba di posko utama pukul 11.40. Setelah 1,5 jam melepas penat, makan siang, menggali informasi dari rekan jurnalis setempat, dan mempelajari situasi, saya mulai bekerja.
Di posko yang berlokasi di pekarangan kantor dan rumah dinas bupati, Rabu siang itu, tinggal lima tenda besar yang berdiri dengan hanya satu di antaranya yang berisi. Sebelumnya, ada sekitar 20 tenda besar berdempet-dempet yang menampung hampir 3.000 pengungsi.
Sore itu, semua penyintas kembali ke daerah asal. Sebanyak 11 rumah tangga yang menempati satu tenda terakhir pulang ke kampung mereka di Nagari Kajai, Kecamatan Talamau. Mereka diantar dua bus milik Dinas Perhubungan Pasbar.
”Kembali ke rumah karena masa pengungsian sudah habis, tinggal sehari lagi. Selain itu, sudah bosan di sini,” kata Wasir (46), pengungsi dari Jorong Mudiak Simpang, Nagari Kajai, di sela-sela menunggu bus yang akan membawanya pulang bersama keluarga.
Setelah melengkapi semua bahan reportase, wawancara, dan foto, sorenya saya menumpang mengetik dan mengirim berita di base camp Aliansi Jurnalis Online (AJO) Pasbar, sekitar 2,4 km dari kantor bupati arah ke Padang. Rekan kontributor TVRI di daerah ini memperkenalkan saya dengan ketua dan para anggota AJO.
Baca juga: "Tersihir" Kebaikan di Lereng Bromo
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F09%2F07801436-3bc7-4075-91fb-d658d7d0d55f_jpg.jpg)
Anak-anak pengungsi gempa di posko utama di sekitar kantor dan rumah dinas Bupati Pasaman Barat menunggu jemputan untuk kembali ke rumah masing-masing di Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Rabu (9/3/2022).
Kawan-kawan AJO sempat menawari saya menginap di sana. Saya menolaknya dengan halus karena berencana mencari penginapan saja.
Akan tetapi, rencana itu harus saya tunda karena mendadak ada konferensi pers tentang penanganan gempa di rumah dinas bupati pukul 20.00. ”Selesaikan dulu semua tugas. Biar nanti bisa istirahat dengan tenang,” pikir saya waktu itu.
Selepas maghrib, saya bertolak dari base camp AJO ke kantor bupati. Lebih baik tiba lebih awal daripada terlambat. Namun, seperti kebiasaan orang Indonesia, tepat waktu adalah takhayul. Kegiatan yang akan dihadiri bupati dan petugas posko utama pengungsian itu ngaret hampir 1,5 jam.
Konferensi pers berlangsung 30 menit. Di luar, hujan mulai turun. Akibatnya, saya tak bisa langsung mencari penginapan. Mencari hotel baru bisa saya lakukan pukul 22.00 saat hujan berganti gerimis. Segera saya menuju Hotel Pasaman yang berjarak sekitar 4,7 km.
Belum separuh perjalanan, sepeda motor terasa bergoyang. Saya pikir gempa susulan kembali mengguncang. Memang sejak gempa utama, Pasbar dan Pasaman masih kerap digoyang gempa susulan. Saya menepi. Ternyata, ban belakang yang baru diganti tiga hari lalu bocor. Onde mande....
Baca juga: Berkubang Lumpur Mencari Guru di Perbatasan Indonesia-Malaysia
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F13%2Fc88b11ff-3eb0-48e3-85fa-3b4304e52ad9_jpeg.jpg)
Bupati Pasaman Barat Hamsuardi (tiga dari kanan) didampingi pejabat lainnya memberikan keterangan terbaru tentang penanganan gempa M 6,1 di rumah dinasnya, Simpang Empat, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Rabu (9/3/2022) malam.
Sembari mencari akal dan tempat tambal ban, saya mengisi perut di warung sate madura, tak jauh dari perhentian. Nikmatnya sate tak terasa karena pikiran terus menjelajah mencari jalan keluar. ”Masihkah ada tambal ban yang buka selarut ini?”
Tukang sate memberi secercah harapan. Katanya, sekitar 500 meter dari situ ada tambal ban yang buka hingga malam. Tanpa menunggu perut tenang, saya langsung bergerak mendorong motor ke tempat tersebut.
Tiba di lokasi, bunga yang mekar kembali layu. Patah hati. Tambal ban telah tutup. Peluh mengucur di tengah gerimis yang kembali turun. Saya menghela napas dalam, berupaya tetap tenang dan melanjutkan pencarian. Satu per satu kelompok warga yang nongkrong di warung kopi saya tanyai.
Saya menoleh kiri kanan mencari papan bertuliskan ”tambal ban” sambil mendorong motor di bawah rintik hujan yang perlahan menderas. Ketemu, tetapi lagi-lagi sudah tutup. Begitu juga dengan tempat ketiga, keempat, dan kelima.
Helaan napas dalam-dalam pun berganti misuh-misuh. Saya merutuki keadaan. ”Kenapa sesial ini? Padahal, ban baru saja diganti.” Hujan deras tak lagi saya hiraukan. Jaket dan celana telanjur basah karena lupa memasang jas hujan.
Dengan sisa-sisa harapan dan tenaga, saya terus berjalan di tengah hujan, berharap secuil keberuntungan. Dua kilometer dari perhentian, pukul 23.00, akhirnya bertemu juga tempat tambal ban yang masih buka. ”Alhamdulillah.” Saya tak ambil pusing saat ban tubeless itu dipasangi ban dalam karena peralatan di tempat itu tak lengkap.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F17%2F6280136a-cd7c-4c52-a47e-0563fb54f520_jpg.jpg)
Montir menambal ban sepeda motor di Nagari Lingkuang Aua, Kecamatan Pasaman, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Rabu (9/3/2022) malam.
Akhirnya, masalah ban bocor pun selesai. Kata terima kasih berulang kali saya ucapkan. Abang tukang tambal ban inilah pahlawan saya pada Rabu malam nan sial itu.
Berkat dia, saya bisa melanjutkan perjalanan ke Hotel Pasaman untuk memesan kamar. Sudah tak sabar tubuh ini merasakan empuknya kasur hotel agar keesokan paginya bisa melanjutkan perjalanan ke lokasi bencana yang berjarak satu jam berkendara. Harus diakui, perjalanan berangkat dari Padang, proses liputan, dan pencarian tempat tambal ban begitu melelahkan dan bikin sakit pinggang.
Akan tetapi, ternyata ini bukan akhir kemalangan. Tiba di hotel, harapan saya tersungkur oleh keterangan resepsionis hotel. ”Kamar sudah penuh, Pak.”
Setelah merenung sejenak, saya coba berpikiran baik. Ah, hotel ini penuh, pasti karena salah satu yang terbagus di Pasbar.
Saya kemudian beralih ke Hotel Guchi, arah ke kantor bupati. Saya menaruh harapan pada hotel yang termasuk bagus di kabupaten ini. Namun, ternyata, jawaban resepsionis pun idem. Begitu pula dengan jawaban resepsionis Hotel Al Istiqomah yang saya datangi selanjutnya, ”Maaf, kamar sudah penuh.”
Optimisme makin menipis. Walakin, batin tak terima mengalah pada keadaan. Saya akhirnya menuju homestay hasil pencarian di Google Maps yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari kantor bupati. Alih-alih homestay, tempat ini lebih mirip rumah indekos. Tapi daripada tak punya tempat menginap, saya tak mau pilih-pilih. Bisa tidur di kasur saja sudah syukur.
Saya gedor-gedor pintu kantor resepsionis. Tak ada respons. Saya kelilingi homestay itu, memanggil pemiliknya, tak ada jawaban. Saya terus berkeliling, tetapi tak berhasil bertemu siapa pun.
Kelelahan, saya duduk di sofa lusuh dekat pintu resepsionis. Beberapa menit kemudian, terdengar suara dari lantai dua. ”Sudah penuh, Bang,” kata lelaki sumber suara itu, yang entah penghuni, entah pemilik.
”Pakak (bodoh)”. Kenapa saya baru sadar. Ini kan Pasbar, tak serupa dengan kota lainnya. Tentu saja tak banyak pilihan hotel di daerah ini. Apalagi sedang masa penanganan pascabencana. Banyak orang dari luar daerah berdatangan, baik untuk mengantar bantuan maupun jadi sukarelawan. Mestinya pesan penginapan sejak sore.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F17%2Fbbf290d1-9689-4c0d-8bea-caece2a85cd2_jpg.jpg)
Suasana di sekitar Hostel Hazira, Jalan Raya Simpang Empat, Nagari Koto Baru, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Rabu (9/3/2022) malam.
Nasi sudah menjadi lontong, tak mungkin lagi kembali jadi bareh solok, nama beras ternama seperti dalam lirik lagu mendiang Elly Kasim. Mengutuki diri pun jadi pelampiasan kekesalan yang saya curahkan di story media sosial. Ada teman menyemangati, ada pula yang menyalahkan cara saya misuh-misuh.
Aroma tubuh makin tak karuan hasil campuran keringat dan hujan. Badan panas-dingin. Pinggang encok. Serasa mau meninggal, kata anak sekarang. Perut kembali lapar, mulai ”menjerit” tanda keroncongan. Untung ada cokelat untuk pengganjal.
Pikiran saya menerawang ke mana-mana. Bagaimana caranya menyelamatkan hari ini. Kembali ke base camp AJO Pasbar ibarat menjilat ludah sendiri. Mau menumpang tidur di rumah rekan jurnalis setempat tak enak karena ia sudah berkeluarga.
Sempat terpikir untuk tidur di masjid, tak jauh dari kantor bupati, tapi takut ketiban reruntuhan kalau terjadi gempa susulan. Sebagian dindingnya terlihat retak. Sempat terlintas untuk tidur di tenda pengungsian, tapi lantas teringat para pengungsi yang basah kuyup karena tendanya bocor. Ingin rasanya tidur di sofa ini saja.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F17%2F46503387-c05f-48ef-b79e-73f4f98d49ac_jpg.jpg)
Pintu-pintu kamar Hostel Hazira, Jalan Raya Simpang Empat, Nagari Koto Baru, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Rabu (9/3/2022) malam.
Tak terasa, hari telah berganti. Badan pun semakin penat. Tanpa banyak berharap, saya buka kembali peta. Ada Hostel Hazira, sekitar 7 km arah ke Padang, penginapan terjauh dari kantor bupati. Secepat mungkin jemari memencet nomor ponsel yang tertera.
”Ada, Bang. Masih ada kamar kosong,” jawaban lelaki lewat speaker ponsel. Bak harimau bertemu rusa, saya menggeber motor sekencang-kencangnya, tak mau kamar ini keburu diisi orang.
Untunglah, kamar hostel yang biasa jadi tempat menginap para sopir truk lintas itu berhasil jadi milik saya. Memang tak begitu besar dan bagus seperti hotel, tapi relatif bersih dan nyaman untuk kamar seharga tak sampai Rp 200.000 per malam itu. Akhirnya saya bisa istirahat lebih baik. Rentetan kesialan pun berakhir.