Berkubang Lumpur Mencari Guru di Perbatasan Indonesia-Malaysia
Untuk mencapai SDN 014 Krayan di perbatasan, selama berjam-jam kami harus menaklukkan jalan yang lebih pas disebut kubangan lumpur. Tiba di sana, kami bertemu para guru dengan gaji seadanya yang mengabdi dalam sunyi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F27%2F90a31351-8ee2-4de1-8944-1f19afca3210_jpeg.jpg)
Seorang pengendara motor berbincang dengan warga saat akan melintasi jalan terjal dan becek di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Jumat (26/11/2021). Adanya jadwal pengisian dan stok bensin yang terbatas membuat sejumlah warga membeli secara eceran karena mobilitas mereka yang tinggi.
Akhir November 2021, saya bertolak ke Kecamatan Krayan. Wilayah dataran tinggi ini terletak di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang berbatasan darat dengan Malaysia. Saat itu, kantor meminta saya untuk meliput kisah guru-guru di tapal batas negeri ini.
Ini kesempatan perdana saya meliput ke Krayan setelah hampir tiga tahun bertugas di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Oleh karena tenggat tulisan, kantor meminta saya bergegas ke daerah itu agar keesokan harinya saya sudah mengantongi paling tidak bahan acuan liputan.
Setelah riset kecil-kecilan melalui arsip berita, saya menelepon Kepala Dinas Kabupaten Nunukan saat itu, Pak Junaidi. Dari Pak Junaidi saya mendapat sejumlah gambaran pendidikan di perbatasan. Untuk meliput di tempat yang asing sama sekali, saya juga meminta rekomendasi penduduk lokal yang mengerti medan, budaya setempat, dan lain-lain.
Sialnya, pesawat dari Kota Balikpapan menuju Tarakan saat itu sudah penuh. Jadilah, saya harus menempuh jalur kedua yang lebih panjang.
Saya kemudian diminta mengontak Oktavianus Ramli, Kepala Unit Pelaksanaan Teknis Pengelola Pendidikan Dasar yang bertugas di Krayan. Pak Okta menyebutkan, Krayan tak bisa dijangkau melalui jalur darat. Satu-satunya transportasi yang bisa menjangkau Krayan adalah pesawat perintis.
Lelaki berkacamata itu memberi dua alternatif perjalanan dari Kota Balikpapan, tempat saya tinggal. Pertama, saya harus naik pesawat ke Kota Tarakan, kemudian naik pesawat perintis ke Krayan. Sialnya, pesawat dari Kota Balikpapan menuju Tarakan saat itu sudah penuh.
Jadilah, saya harus menempuh jalur kedua yang lebih panjang. Dari Balikpapan, saya naik pesawat ke Kabupaten Berau selama 1 jam, dilanjutkan tiga jam perjalanan darat menuju Kabupaten Bulungan. Dari Tanjung Selor, pusat pemerintahan Kabupaten Bulungan, perjalanan disambung dengan naik pesawat perintis ke Krayan selama 1 jam.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2F0769cf7e-6bad-4263-8348-99594a506e23_jpg.jpg)
Bandara Krayan (2017).
Namun, ternyata saya tidak bisa bertemu dengan Pak Okta karena ia sedang mengikuti pelatihan di luar kota. Ia lantas memberi kontak Pak Lastilo, rekan kerjanya yang juga warga Krayan.
”Tapi sinyal di Krayan sedang sulit. Kalau tidak bisa menghubungi Pak Lastilo, Mas Cipto datang saja besok. Nanti pasti ada yang jemput di bandara. Biar saya yang coba hubungi Pak Lastilo. Kalau dicoba berkali-kali biasanya bisa,” katanya, melalui sambungan telepon.
Wah gawat, perkara sinyal telepon dan internet bisa jadi kendala pengiriman foto dan berita. ”Bagaimana dengan sinyal internet, Pak?” tanya saya.
”Sering gangguan juga. Ada yang berbayar, ada yang gratis di sekolah atau kantor desa. Kalau cuaca bagus, internet lancar,” katanya.
Terjebak lumpur
Pak Lastilo ternyata bisa menjemput. Saya menjumpainya setiba di Bandara Yuvai Semaring di Long Bawan, pusat Kecamatan Krayan. Dengan mudah ia mengenali saya. Warga Krayan saling mengenal satu sama lain sehingga bisa cepat mengenali jika ada orang luar datang di bandara kecil tersebut.
Ditambah lagi, ciri fisik warga Krayan berbeda dengan saya yang keturunan Jawa dengan kulit sawo matang dan rambut bergelombang. Orang Dayak Lundayeh di Krayan berkulit putih layaknya suku dayak pada umumnya dengan mata sipit dan rambut lurus.
Krayan begitu berbeda dengan kebanyakan daerah di Kaltim dan Kalimantan Utara yang pernah saya kunjungi. Krayan berada di dataran tinggi, yakni 700-1.500 meter di atas permukaan laut. Turun dari pesawat perintis, cuaca terasa begitu sejuk. Sepanjang mata memandang, terdapat pegunungan dan bukit yang mengelilingi Krayan.
Baca Juga: Guru Honorer di Perbatasan: Gaji Seadanya, Bertani, dan Mengabdi Seutuhnya
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F27%2Ff9ad340e-33b4-411a-a760-d5032d73b003_jpeg.jpg)
Lastilo (47) berfoto bersama anaknya, Valerie Janeth Theresa (18), di rumahnya di Desa Long Bawan, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Sabtu (27/11/2021). Janeth adalah lulusan SMAN 1 Krayan tahun 2020 yang lolos seleksi SNMPTN jalur undangan di Jurusan Fisika Medis dan Biofisika Universitas Indonesia.
Singkat cerita, Pak Lastilo langsung menghubungkan saya dengan sejumlah guru dan kepala sekolah. Salah satunya, Pak Mordani, Kepala SDN 014 Krayan. Mordani bersemangat mengajak saya untuk pergi ke sekolah yang ia pimpin. ”Biar Mas tahu bagaimana kami mengajar di perbatasan,” katanya tersenyum.
Kami sepakat berangkat ke SDN 014 Krayan pada Jumat (26/11/2021) pukul 08.00 Wita. Namun, hujan lebat turun sejak sebelum subuh. Hujan baru benar-benar reda pukul 09.00 Wita. Pak Mordani kemudian menjemput saya dengan sepeda motor Suzuki Satria R 2 tak.
Pria berkulit putih itu mengenakan sepatu bot karet. Di pinggangnya tersampir parang. Katanya, perjalanan akan berat karena jalan pasti berlumpur dan kerap terhalang pohon tumbang.
Kami memutuskan membawa dua sepeda motor agar perjalanan menjadi lebih ringan: Saya membawa sepeda motor bebek 4 tak pinjaman dari Pak Lastilo, sedangkan Pak Mordani menggunakan Suzuki Satria R 2 tak miliknya.
Semula, kami hanya melewati jalan kerikil dan berbatu. Sepeda motor kami berhasil melewati beberapa kubangan lumpur. Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan, kami berhenti di depan tanjakan. Jalan di tanjakan itu amat berlumpur seperti baru saja dibuka oleh alat berat. Ditambah guyuran hujan, jalanan itu pun berubah menjadi kubangan lumpur.
Pak Mordani melewati tanjakan terlebih dahulu. Namun, sepeda motornya tak bisa melewati kubangan lumpur yang ternyata begitu dalam, hampir menutupi seluruh ban sepeda motornya. Saya turun dari sepeda motor dan mendorongnya dari belakang. Sepatu dan celana saya penuh lumpur.
Baca Juga: Ironi Perdagangan di Tapal Batas Saat Pandemi, Semen di Krayan Capai Rp 300.000 Per Zak
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F28%2Ff8639ea5-48c0-4cba-b0c3-7ee78f9b889d_jpg.jpg)
Kepala SDN 014 Krayan Mordani menuntun sepeda motornya saat terjebak di kubangan tanah berlumpur ketika menuju sekolah di Desa Pa’padi, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Jumat (26/11/2021). Perjalanan yang seharusnya satu jam menjadi tiga jam saat musim hujan.
Kurang lebih 30 menit kami melewati kubangan dan tanjakan itu. Di ujung tanjakan, kami berdua terengah-engah sambil melihat ke bawah. Di sana masih terparkir sepeda motor yang saya bawa.
”Kalau kita bawa dua sepeda motor, bisa seharian kita sampai sekolah. Bagaimana kalau pakai sepeda motor saya saja? Sepeda motor Mas Cipto ditinggal saja di pinggir hutan itu. Aman,” kata Pak Mordani sambil mengusap keringat.
Saya menurut saja. Rasanya, perjalanan memang bakal lebih panjang jika harus menggunakan dua sepeda motor karena harus saling bantu untuk keluar dari kubangan lumpur. Setelah berhenti untuk minum dan membersihkan ban sepeda motor, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini, saya dibonceng Pak Mordani.
Benar saja, ternyata jalan itu baru saja dibuka dengan alat berat. Akibatnya, tanah yang tersebar di jalan belum begitu padat sehingga amat licin dilewati. Puluhan jalan menanjak, menurun, dan berkelok kami lewati. Puluhan kali pula saya harus turun untuk mendorong sepeda motor keluar dari kubangan.
Jika ditarik garis lurus menggunakan Google Earth, SDN 014 Krayan sebenarnya hanya berjarak sekitar 25 kilometer dari Desa Long Bawan, pusat Kecamatan Krayan. Namun, dengan kondisinya yang terjal sekaligus begitu becek dan rumit, kami baru berhasil menyelesaikan rute pendek itu setelah tiga jam perjalanan.
Tancap gas mulai pukul 09.00 Wita, kami baru sampai di SDN 014 Krayan di Desa Pa'padi pukul 12.00 Wita. Artinya, kami hanya mampu melaju dengan kecepatan rata-rata 8 kilometer per jam di jalan kubangan lumpur itu.
Baca Juga: Guru di Perbatasan Hadir Lebih Dahulu, Jauh Sebelum Bantuan Pemerintah Datang
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F27%2F29e9b10f-9a96-4af1-84c7-458c69e0d009_jpeg.jpg)
Para guru SDN 014 Krayan berpose di depan bangunan ruang kelas yang terbuat dari kayu di Desa Pa’padi, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Jumat (26/11/2021).
Hati lembut para guru
Sesampainya di sekolah, kami disambut oleh para guru yang baru saja selesai mengajar. Lantaran perjalanan yang begitu lama, saya jadi kehabisan waktu dan tak bisa mengambil gambar saat mereka mengajar.
SDN 014 Krayan hanya memiliki 14 siswa. Bukan karena banyak siswanya putus sekolah, melainkan karena anak usia sekolah di sekitar Desa Pa’padi memang hanya ada 14 orang.
Saya lantas bertemu Aprem Acob (48), guru kelas III, yang mengajar dua siswa saja. Salah satu siswanya belum lancar membaca dan menulis.
Aprem secara sukarela meluangkan waktu berkunjung ke rumah si siswa agar bisa mengatasi ketertinggalannya. Rumah warga di Desa Pa’padi saling berdekatan, termasuk rumah Aprem dan muridnya.
Dalam kunjungan itu, Aprem meminta siswanya menulis abjad lalu membacanya. Si anak membaca dengan terbata-bata. Aprem membantu dan memberi penjelasan cara membaca.
”Saya kasih tugas (siswa) menirukan tulisan, kemudian dikumpulkan. Saat tugas diserahkan, saya minta ia untuk membacanya. Kalau ada kesulitan, saya ajarkan. Saya juga berkunjung ke rumahnya untuk memberi latihan tambahan,” ujar lelaki keturunan Dayak Lundayeh itu.
Aprem melaksanakan tugasnya itu dengan status guru honorer sejak tahun 2005. Gajinya tak tentu karena mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Rata-rata, Aprem menerima Rp 75.000 per bulan. Gajinya dibayarkan tiga bulan sekali.
Baca Juga: Karantina China Nyaris Bikin Gila
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F27%2Fea758109-1bb9-485b-967d-2e6b23c5c454_jpeg.jpg)
SDN 014 Krayan (bangunan bercat kuning dan beratap merah), dilihat dari salah satu bukit di Desa Pa’padi, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Jumat (26/11/2021).
Untunglah pada 2014, Aprem diangkat menjadi PNS setelah 9 tahun mengabdi dengan gaji tak tentu. Setelah menjadi ASN pun, gaji Aprem hanya sekitar Rp 2 juta per bulan. Lantas, kenapa Aprem tetap mengajar di perbatasan meski dengan gaji seadanya?
”Kasihan anak-anak di sini yang sekolah karena gurunya kurang,” kata Aprem tersenyum.
Rata-rata guru seperti Aprem di Krayan bertahan hidup dari bertani. Mereka menggarap sawah tanpa mengganggu kegiatan mengajar. Dari 1 hektar sawah, mereka bisa memanen padi sekitar 50 kaleng. Setiap kaleng berisi 15 kilogram padi.
Setelah disisihkan untuk kebutuhan keluarga, beras Krayan dijual ke Malaysia. ”Sekali panen, saya bisa jual padi Rp 4 juta untuk kebutuhan rumah dan sekolah anak,” ujar Aprem.
Terus menjadi guru honorer
Selain guru seperti Aprem, saya menemui Bu Norse yang sudah menjadi guru honorer di SDN 014 Krayan selama 16 tahun. Perempuan 52 tahun itu tak ada niatan berhenti mengajar meski di usianya yang menjelang pensiun itu, statusnya tetap saja guru honorer.
Norse mengawali profesi sebagai guru honorer pada 2005 ketika SDN 014 Krayan kekurangan guru. Ia diminta oleh kepala sekolah saat itu untuk membantu mengajar. Sebab, murid di sana waktu itu benar-benar butuh guru setelah banyak pengajar yang pensiun.
Lulusan Akademi Teologi Samarinda tahun 1991 itu tak kuasa menolak. ”Lingkungan tempat tinggal saya saat itu benar-benar butuh tenaga pendidik,” kata Norse.
Baca Juga: Beda Wartawan ASEAN dan Wartawan Bule
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F28%2F31438a04-a0c3-41d0-a215-bf21540a0c75_jpeg.jpg)
Dari kanan ke kiri: Norse (guru honorer), Juan Vicki Ada’ Komman (guru honorer), dan Steventong (guru ASN) berfoto bersama di depan ruang kelas SDN 014 Krayan di Desa Pa’padi, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Jumat (26/11/2021).
Menjadi guru honorer seperti Norse amat perih. Mengajar setiap hari, tetapi gaji tak tentu dan tanpa tunjangan, jenjang karier, bahkan jaminan masa pensiun. Gajinya semula Rp 75.000 per bulan yang setara tiga liter bensin eceran di Desa Long Bawan, Kecamatan Krayan. Itu pun cairnya setiap tiga bulan sekali ketika dana bantuan operasional sekolah (BOS) ditransfer ke sekolah.
Jadilah dalam tiga bulan Norse hanya mendapat Rp 225.000. Memang itu bukan salah sekolah sebab besaran dana BOS pada masa awal Norse menjadi guru honorer disesuaikan dengan jumlah murid. Adapun sesuai petunjuk teknis BOS sebelum 2020, besaran untuk membayar gaji guru honorer hanya 15 persen.
Baru pada 2020, Norse bisa mendapat sekitar Rp 2,5 juta untuk tiga bulan gaji dari dana BOS setelah ada kebijakan baru dari pemerintah. ”Kami putuskan 80 persen untuk (gaji) guru honorer karena beban mereka sejatinya sama dengan guru pegawai negeri sipil,” kata Mordani.
Di tengah perjalanan pulang yang berat itu, saya kemudian teringat perjuangan guru seperti Pak Aprem dan Bu Norse yang tak kalah berat. Mereka tetap mengajar meski dengan gaji yang tak bisa diandalkan.
Jumlah itu pun sebenarnya masih sangat kecil untuk guru di perbatasan dengan kondisi akses internet dan pelatihan yang terbatas. Sama seperti Aprem, Norse mengandalkan pemenuhan kebutuhan hidupnya bukan dari mengajar, melainkan dari hasil membuat kerajinan rajutan dan bertani di lahan milik keluarga. Dalam setahun, setidaknya Norse bisa mengumpulkan Rp 4 juta-Rp 5 juta dari bertani dan merajut.
Selesai berbincang dengan para guru tersebut, saya bersiap kembali ke Desa Long Bawan, Pusat Kecamatan Krayan. Saya dan Pak Mordani kembali harus menaklukkan jalur terjal bersama selama 3 jam. Artinya, pulang pergi kami harus berkubang lumpur selama 6 jam.
Di tengah perjalanan pulang yang berat itu, saya teringat perjuangan guru seperti Pak Aprem dan Bu Norse yang jauh lebih berat. Selama bertahun-tahun mereka tetap mengajar meski dengan gaji yang tak bisa diandalkan. Alam yang keras di perbatasan, seolah menempa para guru itu memiliki mental dan tekad baja untuk benar-benar mengabdi.
Di perbatasan itu, saya menemui orang-orang yang benar-benar mendedikasikan dirinya dalam laku sunyi. Tak tersorot kamera, berjuang sedapat mungkin, dan berbuat nyata bagi anak-anak di wilayah perbatasan. Dalam perjalanan berkubang lumpur itu, saya berdoa agar berkat Tuhan turun bagi guru-guru yang saya temui di Krayan.