20 Tahun lalu, saya dan ribuan warga menjadi saksi sebuah peristiwa bersamaan dengan puncak perayaan HUT Kota Jakarta. Malam itu, saya tengah bertugas memotret dan harus segera kembali untuk mencuci rol film.
Oleh
YUNIADHI AGUNG
·4 menit baca
Sebagai jurnalis foto, saya beruntung bisa merasakan dua era fotografi, yaitu era dengan film negatif dan era fotografi digital. Keduanya memberikan keseruan yang membuat pengalaman saya berlimpah ruah.
Hari ulang tahun ke-495 Kota Jakarta pada 22 Juni 2022 lalu membuka kenangan saya tentang memotret dengan kamera film. Tepatnya kembali ke masa dua puluh tahun lalu, saat saya masih proses pendidikan calon wartawan Kompas.
Hari itu bertepatan dengan puncak perayaan HUT Ke-475 Kota Jakarta yang berlangsung pada 23 Juni 2002. Sejak awal saya sudah bersiaga di sekitar kolam Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Malam itu, rencananya akan diresmikan kolam air mancur Bundaran HI. Kolam yang berada di bawah tugu itu belum lama selesai direnovasi dan dijanjikan nantinya akan menampilkan visual semburan air mancur yang memukau.
Cuaca yang cerah mendorong ribuan warga berbondong-bondong memadati kawasan itu. Mereka penasaran dan ingin menjadi saksi pertama pesta air mancur.
Foto air mancur Bundaran HI yang akan saya kerjakan rencananya menjadi foto utama halaman depan harian Kompas.
Nantinya setelah terbit, satu eksemplar koran itu saya simpan karena ini adalah kali kedua foto saya tampil di halaman muka. Yang pertama adalah foto arak-arakan tim Piala Thomas. Bagi anak magang, fotonya bisa muncul menghiasi halaman muka koran adalah sebuah kebanggaan.
Sebelum berangkat, saya menyiapkan keperluan untuk memotret air mancur, yakni kamera personal Nikon F90. Sebelum diangkat menjadi karyawan Kompas, kami menggunakan kamera pribadi untuk liputan.
Saya kemudian mengambil film Fuji Superia asa tinggi di loker kantor yang berisi ratusan rol film. Saya tidak ingat persis apakah itu asa 800 atau 1600.
Editor foto Kompas, Karyono Ryadi (almarhum), meminta staf Desk Foto, Saeran (juga almarhum), untuk menelepon laboratorium foto agar menunggu foto hasil liputan air mancur yang akan saya garap.
Sebelum era digital, Kompas memiliki lab foto yang dikelola oleh koperasi kantor. Lab foto ini akan memproses film negatif dan mencetak foto hingga ukuran 5R.
Semua fotografer Kompas akan melakukan rutinitas yang sama usai liputan. Setelah memotret, kami akan datang ke lab foto dan menunggu film negatif selesai diproses. Film tersebut kemudian diproses lanjutan untuk dipindai sebelum disetor kepada editor.
Selain fotografer Kompas, para fotografer media lain di bawah grup Kompas Gramedia, seperti harian Warta Kota dan tabloid Nova, juga rutin jadi penghuni lab foto Kompas. Fotografer koran The Jakarta Post kadang-kadang juga muncul untuk mencuci atau mencetak foto.
Malam itu, usai memotret air mancur, saya segera kembali ke kantor dan tiba di lab foto menjelang pukul 22.00. Petugas lab segera menyambut dengan gembira karena mereka biasanya tutup pukul 20.30. Akan tetapi, karena sudah ada telepon dari redaksi untuk siaga menunggu, jadilah mereka tetap berada di tempat menanti hingga fotografer yang bertugas datang. Hal ini sudah biasa mereka lakukan karena cukup sering ada liputan foto yang berlangsung hingga malam.
”Mana rolnya?" tanya Purwanto, petugas lab foto yang akrab dengan para fotografer yang setiap sore ngetem di tempat itu.
Setelah rol film berpindah tangan, petugas segera mengolahnya. Sekitar 10 menit kemudian proses selesai. Usai menyerahkan film kepada saya, penjaga lab mematikan mesin dan lampu-lampu ruangan. Saya menunggu hingga dia selesai mengunci pintu lab seraya mengucap terima kasih.
Pada masa itu, lab foto tersebut menempati fungsi vital bagi proses produksi koran Kompas karena dari tempat itulah”lahir”foto-foto yang termuat di harian Kompas. ”Bidan”-nya adalah para petugas yang setia menunggu jika ada peristiwa penting yang terjadi di malam hari.
Dengan keberadaan lab foto tersebut yang siap melayani sejak siang hingga tenggat waktu cetak koran menjelang tengah malam, foto-foto hasil liputan malam pun bisa terpasang di koran terbitan esok hari.
Ini tidak mungkin terjadi jika hanya mengandalkan jasa lab cuci cetak foto komersial yang rata-rata tutupnya pukul 21.00.
Setelah era digital, lab foto itu kemudian ditutup. Para petugasnya berpindah tugas ke koperasi. Era fotografi digital memang memudahkan pekerjaan jurnalistik. Namun, saya merasa beruntung bisa merasakan dua era fotografi yang berbeda.
Bagi saya pribadi, hingga kini tak ada yang menandingi rasa penasaran saat menunggu hasil foto muncul di film negatif.