”Tersihir” Kebaikan di Lereng Bromo
Di lereng Bromo, keteledoran saya berbuah kepanikan. Pintu mobil sudah tertutup dan dalam kondisi terkunci. Teman-teman mencoba menenangkan. Mereka juga berusaha mencari cara untuk membuka pintu mobil.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F21%2F33cd7cc4-9ee0-42dd-990a-655a132aecb1_jpg.jpg)
Dukun Tengger
Upacara Kasada 2022 yang digelar pada 15-16 Juni 2022 tidak sekadar membawa hikmah bagi masyarakat Tengger yang melaksanakannya. Perayaan rutin tahunan itu juga membawa hikmah luar biasa bagi penulis.
Bisa dibilang, Kasada menjadi agenda liputan tahunan, terutama bagi jurnalis yang bertugas di wilayah yang mencakup Bromo. Khusus tahun ini, pelaksanaan Kasada sedikit berbeda karena digelar setelah pandemi. Apa perbedaannya, itu yang harus saya cari tahu dalam liputan kali ini.
Berbeda dengan Kasada sebelum-sebelumnya, saat saya bisa berangkat liputan dari Malang (homebase saya di Kota Malang) karena ada rekan wartawan Malang yang sama-sama liputan atau keluarga yang bisa mengantar, kali ini tidak.
Kali ini saya berangkat bersama teman-teman jurnalis dari Probolinggo. Kebetulan, saya pernah dua tahun ditugaskan di Probolinggo sehingga sampai sekarang hubungan dengan teman-teman di sana masih terjaga baik.
Baca juga: Cinta yang Menyatukan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F16%2Fd2a360df-e6d2-4a61-987b-8dac4be92eef_jpg.jpg)
Keindahan Gunung Bromo dan Gunung Batok, Kamis (16/6/2022).
Pada waktu yang telah disepakati, berangkatlah kami berombongan naik dua kendaraan. Ritual Kasada dimulai pada Rabu (15/6/2022) malam hingga mencapai puncak perayaan pada keesokan paginya, Kamis (16/6/2022).
Setelah liputan, teman-teman Probolinggo mengajak singgah sejenak di suatu tempat untuk mengirim berita terlebih dahulu. Maklum, rata-rata mereka jurnalis TV yang harus cepat mengirim laporannya agar tidak basi.
Rombongan kami kemudian berhenti di sebuah warung di kawasan Cemoro Lawang. Satu mobil pulang terlebih dahulu karena keburu ada urusan. Tersisa saya dan empat jurnalis lain, yaitu Farid (JTV), Rofiq (Trans TV/Detik), Ivan (SCTV), dan Danendra (Surya).
Baca juga: Pesona dan Misteri Bromo Tengger Semeru
Acara mengetik laporan kami sambi dengan sarapan dan menyeruput kopi atau wedang jahe. Tak lama, kami pun bersiap pulang.
Sampai di sini, semuanya berjalan lancar. Saya pun sudah selesai mengetik berita dan menyimpannya di folder personal. Menurut rencana, tulisan itu akan saya kirim setelah tiba kembali di Kota Probolinggo, sambil menunggu foto-foto kiriman dari fotografer Kompas untuk melengkapi tulisan.
Masalah mulai muncul saat kunci mobil diserahkan kepada saya oleh Rofiq, teman yang menyetir kendaraan selama perjalanan. Maksudnya, agar saya bisa meletakkan tas ransel saya yang terlihat berat di dalam mobil dan tak perlu membawanya ke sana sini. Sebenarnya tas itu tidak terlalu berat. Ukuran yang besarlah yang membuatnya tampak sangat berat.
Baca juga: Karantina China Nyaris Bikin Gila
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F21%2F9d97a283-1f67-483c-baed-ea316e8b133d_jpg.jpg)
Teman-teman jurnalis Probolinggo mencoba membuka pintu.
Kunci tertinggal
Saya kemudian pergi ke mobil bersama tiga teman lainnya untuk meletakkan barang-barang kami. Oleh karena tak lagi merasa dingin, saya pun melepas jaket dan meletakkannya di bagasi mobil bersama tas.
Waktu itu sekitar pukul 10.42 WIB. Setelah itu, kami beranjak kembali ke tempat semula untuk menunggu seorang teman yang masih dalam proses pengiriman berita.
Namun, belum lama meninggalkan mobil, saya tersentak karena teringat sesuatu, kunci mobil! Saya mulai merogoh kantong-kantong baju dan celana mencari kunci itu, tetapi hasilnya nihil. Yang ada hanya ponsel.
Saya mulai bingung karena pintu-pintu mobil sudah tertutup dalam kondisi terkunci. Setelah itu, ingatan mulai menguat. Rasanya saya meletakkan kunci di jaket dan jaketnya saya taruh di dalam bagasi mobil. Duh, bagaimana ini?
Keteledoran saya berbuah kepanikan. Teman-teman mencoba menenangkan. Mereka juga berusaha mencari cara untuk membuka pintu mobil. Mulai dari mencari tali rafia, bilah bambu tipis, dan barang lainnya yang sekiranya bisa untuk membuka pintu.
Baca juga: Beda Wartawan ASEAN dan Wartawan Bule
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F21%2F5c86e13f-c855-4073-bcd9-90d1390aa0e6_jpg.jpg)
Suasana Pura Luhur Poten di Kawasan Gunung Bromo.
Melihat kehebohan kami, satu dua warga mendekat dan bertanya. Saya menceritakan masalah kami. Tanpa diduga-duga, mereka dengan senang hati membantu, termasuk menyarankan kami memberi tahu petugas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang berada di loket pintu masuk. Untunglah, posisi kendaraan kami tak jauh dari loket masuk TNBTS.
”Di sini beberapa kali kasus kunci tertinggal di dalam mobil. Biasanya menggunakan tali atau penggaris bisa…,” kata mereka sambil berusaha mencari alat yang tepat.
Mereka sangat bersemangat membantu karena tidak ada tukang kunci di sana. Tukang kunci hanya ada di Kota Probolinggo, yang artinya harus turun dulu lebih dari 30 kilometer (km). Itu pun untung-untungan untuk bisa langsung menemukan tukang kunci.
Oleh karena itu, pilihan paling masuk akal adalah sebisa mungkin membuka pintu kendaraan. Tak lama, muncul seorang warga Tengger lainnya, pemilik jip. Dengan cekatan, ia mengeluarkan beberapa alat seperti obeng dan tali. Kami lalu diminta mencari kawat yang kira-kira bisa untuk menarik tuas pintu.
Baca juga: 20 Tahun Lalu di Bundaran HI
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F21%2F21f52a00-a31f-4959-ba3b-a30c21321e1c_jpg.jpg)
\
Andrianto alias Cepuk mencoba membantu membuka pintu mobil.
Saya teringat pernah melihat seutas kawat tergantung di warung. Kawat itu digunakan untuk menggantung makanan kecil yang dijajakan. Kepada pemilik warung, saya sampaikan niat membeli makanan kecil tersebut sekaligus kawat gantungannya.
”Tidak boleh. Kalau butuh kawatnya, ini saya pinjami saja. Tidak usah beli,” kata ibu pemilik warung sambil tersenyum.
Saya pun lega karena bisa mendapatkan kawat tersebut.
Kawat itu lalu digunakan untuk membuka tuas pintu. Sayangnya, mobil dengan kunci sentral berada di sisi kanan depan itu bergeming.
”Ya, memang harus sabar. Seperti ini tidak bisa diburu-buru. Kuncinya harus sabar,” kata Mas Andrianto alias Cepuk, petugas loket TNBTS yang sejak awal membantu kami.
Bantuan
Rasa lelah mulai menghampiri. Sudah lebih dari satu jam berusaha, tetapi tidak ada tanda-tanda berhasil. Seorang warga Sukapura yang ternyata kenalan salah seorang rekan kami melintas dan sejenak berhenti. Namanya Mas Prasojo. Setelah mendengarkan kisah kami, ia tampak menelepon sana-sini.
Tak lama, seorang petugas Babinsa di wilayah Sukapura, bernama Mas Agung/Wahyu, datang untuk membantu. Setelah mencari tahu kondisi kendaraan, ia mencoba membuka pintu dengan cara lain.
Bukan dengan menarik tuas pintu, melainkan dengan menekan tombol pembuka pintu yang merupakan pengunci sentral. Ia meminta sebilah bambu yang dapat digunakan untuk menjangkau tombol.
Baca juga: Suku Tengger Memilih
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F16%2F29ae0608-6f16-49ac-8f2e-d4e382596739_jpg.jpg)
Kawah Gunung Bromo saat pelaksanaan Yadnya Kasada di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Kamis (16/6/2022). Perayaan dilakukan setahun sekali pada hari ke-14 bulan Kasada sesuai penanggalan tradisional Tengger.
Dengan bantuan Mas Prasojo yang mencari potongan bambu panjang dan Rofiq yang memipihkan bilah bambu itu, akhirnya diperoleh sebilah bambu panjang yang siap dijadikan alat untuk menekan tombol kunci dari luar.
Beberapa kali mencoba menekannya, tetapi masih gagal juga. Seorang warga lain kemudian mengulurkan boding (semacam sabit) untuk mengganjal pintu, agar pintu lebih terbuka. Sebelumnya, pintu diganjal dengan obeng.
Semua orang di situ mencurahkan tenaga dan perhatiannya untuk memantau letak dan mengarahkan bilah bambu pada tombol. Ketika itulah, tiba-tiba terdengar bunyi klik. Tombol manual pembuka kunci sentral terbuka, dan otomatis semua pintu terbuka.
Ah…, sungguh kebaikan dan keramahan warga Tengger dan orang-orang di kawasan Bromo begitu berkesan dan ”menyihir ” diri ini.
”Alhamdulillah…!!!” seru hampir semua yang ada di sana.
Cepat-cepat pintu dibuka. Saya segera mengambil jaket dan kunci dari kantongnya. Setelah lebih kurang 2 jam berusaha, pintu mobil berhasil dibuka. Dan kami pun bisa pulang. Akhirnya.…
Menariknya, orang-orang yang membantu kami segera melesat pergi begitu mobil terbuka. Mulai dari warga Tengger pemilik jip dan warga lainnya hingga petugas Babinsa, Mas Agung/Wahyu.
Mereka dengan tegas menolak saat kami ingin memberikan buah tangan sebagai tanda terima kasih. Bahkan, ibu pemilik warung makan yang kawatnya saya pinjam pun menolak saat saya hendak membayarnya. Padahal, kawat tersebut rusak setelah diotak-atik untuk dipakai membuka pintu.
Ah…, sungguh kebaikan dan keramahan warga Tengger dan orang-orang di kawasan Bromo begitu berkesan dan ”menyihir” diri ini. Mereka mau membuang waktu untuk menolong kami yang sebetulnya orang asing bagi mereka.
Baca juga: Terpikat Kehangatan Bromo Tengger Semeru
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2Ff0a68564-b1b2-437f-85a9-c64780bf6a43_jpg.jpg)
Warga Tengger menuju kawah Gunung Bromo untuk merarayakan Yadnya Kasada di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Senin (10/7). Selain bentuk syukur kepada Tuhan, Yadnya Kasada merupakan bentuk hormat suku Tengger kepada nenek moyang mereka dengan cara melarung hasil bumi ke kawah Bromo.
Terjebak macet
Keramahan serupa sebenarnya bukan baru kali ini saja saya rasakan. Entah pada Kasada tahun berapa saya mengalami. Saat itu, saya baru saja bertugas meliput di Probolinggo.
Saya berangkat menuju Bromo bersama keluarga. Kami berangkat dari Malang pada jam yang sudah diperhitungkan akan tiba di lokasi tepat waktu. Saat maghrib, kami masih berada di jalan berliku dan berkelok sepanjang Sukapura.
Naas, tiba di sebuah tanjakan berbelok, mesin mobil tiba-tiba mati. Setirnya tidak bisa digerakkan sama sekali. Beruntung, saat itu ada rombongan teman jurnalis Probolinggo yang tengah melintas. Mereka pun mencoba membantu kami. Beberapa warga lokal juga berhenti dan mencoba membantu kami.
Oleh karena waktu selamatan Kasada makin dekat, dan saya keburu liputan, kami memilih meninggalkan mobil tersebut di rumah seorang warga setempat yang ternyata biasa memperbaiki mobil.
”Ditinggal di sini saja. Besok pagi diperbaiki bentar. Semoga bisa dipakai lagi. Aman, kok, di sini. Tenang saja,” katanya.
Baca juga: Kasada dan "Hong Ulun Basuki Langgeng", Menang Atas Pandemi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2Fe7a4a398-5419-405f-9554-38422b2c77d8_jpg.jpg)
Warga Tengger membawa ongkek berisi hasil bumi untuk dilarung di kawah Gunung Bromo saat puncak Yadnya Kasada di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Senin (10/7).
Warga itu pula yang membantu kami naik ke Bromo. Ia menyediakan rumahnya untuk kami menginap, dan mencarikan jip yang bisa membawa kami ke laut pasir. Akhirnya saya bisa meliput upacara Kasada tepat waktu dengan lancar hingga akhir.
Dua pengalaman tidak mengenakkan di Bromo itu sudah sepatutnya membuat saya bertanya pada diri sendiri. Jika meminjam ajaran Tri Hitta Karana (kehidupan harmonis manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia) yang diyakini warga Tengger, sepatutnya saya bertanya: saya sudah berbuat apa? Takaburkah saya sebagai manusia? Jahatkah saya pada alam sekitar? Toh, tanpa bantuan orang lain, saya tak bisa mengatasi masalah yang saya hadapi.
Peristiwa demi peristiwa itu seakan menyisakan tanya pada diri sendiri: sudah berbuat baikkah saya kepada Tuhan, alam, dan manusia?
Sungguh pelajaran luar biasa yang saya petik setiap kali pulang dari Bromo.