Terjebak Semalaman Bersama Pengungsi Banjir Kampung Melayu
Intensnya hujan hingga banjir di Jakarta membawa ingatan saat terjebak di lokasi pengungsian. Saya bersumpah saat itu adalah malam yang paling melelahkan.
Cuaca di Jakarta pada Mei 2022 sungguh membuat waswas. Memasuki masa peralihan musim, cuaca jadi begitu terik saat siang, sedangkan malamnya hujan turun.
Hujan menyebabkan banjir di sejumlah wilayah. Terakhir, banjir menggenangi sebagian Jakarta Timur dan Jakarta Selatan pada Minggu (15/5/2022). Banjir juga terjadi pada Kamis (5/5/2022) di Kebon Pala, Jatinegara, Jakarta Timur, yang dikabarkan akibat luapan air Sungai Ciliwung.
Mengetahui serangkaian kejadian itu turut membangkitkan lagi memori saya saat terjebak di pengungsian banjir, tahun lalu. Memori itu bangkit terutama karena peristiwa waktu itu juga terjadi di sekitar permukiman dekat Sungai Ciliwung, dan saya terjebak di sana hingga larut malam.
Kisah bermula ketika pada awal Februari 2021, saya mengetahui banjir melanda kawasan Kampung Melayu, Jatinegara. Saat itu masih dalam situasi darurat Covid-19, sedangkan sejumlah permukiman dekat Sungai Ciliwung telah tergenang. Saya membayangkan betapa sulitnya warga bertahan di sana.
Baca juga : Malam Panjang Pengungsi Banjir Kampung Melayu
Sesampainya di lokasi liputan, saya melihat warga berhamburan. Jangankan menjaga jarak, mengungsi dari rumah yang terendam banjir saja sudah susah payah.
Saya menunaikan kegiatan reportase di sana hingga menjelang malam. Ada banyak kisah duka dan kesulitan warga kala itu. Sebagian orang didera ketakutan ganda, yakni banjir dan risiko terpapar Covid-19 di pengungsian.
Satu hal yang mengganjal di tengah peliputan bahwa gedung posko pengungsian masih belum banyak terisi menjelang malam. Terlintas di benak saya, ke mana para pengungsi pergi? Padahal, banyak sekali warga yang lalu lalang di tengah banjir itu, tetapi posko tampak sepi.
Kondisi semakin gawat saat hujan deras pada malam hari. Banjir yang sebelumnya berangsur surut terlihat kembali tinggi. Sebagian orang, termasuk saya, mencari lokasi aman pada sejumlah bangunan dua lantai.
Baca juga : Tak Cukup Sepasang Mata
Saya pikir keadaan tak akan bertambah pelik, lalu saya bertemu seseorang bernama Wahyu Sudrajat (33). Malam itu di tengah hujan deras, dia bilang butuh bantuan karena banyak orang terjebak di sebuah masjid tidak jauh dari Sungai Ciliwung.
Ketika mengetahui saya wartawan, warga RW 008 Kampung Melayu ini berkeras mengajak saya melihat kondisi di masjid. Saya lantas menyanggupi ajakan dia, hitung-hitung membantu melaporkan kondisi warga yang terjebak di sana pada lurah setempat.
Saya tidak mengira bakal menempuh jalan yang lebih rendah dan berliku dari lokasi kami sebelumnya. Saya sebut berliku karena di kawasan itu, air masih tinggi sekitar 70 sentimeter dan mengalir sangat deras.
Saya beberapa kali hampir tergelincir, tetapi Wahyu menopang saya dari belakang. Saya bersyukur bisa menyeimbangkan diri dengan bertumpu seutas tali yang memanjang hingga ujung perumahan.
Baca juga : Babak Belur oleh Kerumunan Massa
Air terasa bertambah dalam saat saya melaju makin jauh. Saya menduga kawasan tersebut lebih rendah lagi dari sebelumnya, mungkin air mencapai tinggi kira-kira 80 cm. Satu-satunya kekhawatiran waktu itu adalah kamera di dalam tas saya tercelup air sehingga saya mengangkat tas setinggi mungkin.
Setelah beberapa kali mengarungi air, baru terlihat penampakan bangunan sebuah masjid dari kejauhan. Lantai dua bangunan ibadah itu tampak mencolok karena cahaya terang dari lampu dan riuh rendah warga. Mustahil untuk tak melihat ke arah sana dari kejauhan.
Di depan pagar terpampang tulisan Masjid Jami Ittihadul Ikhwan. Saya bersama Wahyu masuk dan bergegas menuju lantai dua. Yang saya pikirkan saat itu adalah segera rehat. Perjalanan tadi lumayan menguras energi, belum lagi ngeri karena air tinggi.
Seusai rehat agak lama malam itu, saya menyaksikan kegiatan warga tumpah di lantai yang sama. Lebih celaka lagi karena toilet di lantai bawah tidak berfungsi. Saya melihat beberapa orang dengan cuek membuang hajat di antara air. Ada pula yang buang air kecil dari balkon di lantai dua.
Sementara itu, air tampak bertambah tinggi dan deras seiring malam yang semakin larut. Saya bersumpah malam itu adalah malam paling melelahkan.
Baca juga : Selembar Surat di Tengah Hutan
Enggan mengungsi
Apabila melihat lokasi yang minim fasilitas dan logistik itu, saya jadi heran dengan alasan warga bertahan di sana. Sebagian warga enggan mengungsi karena lokasi pengungsian terlalu jauh dari rumah mereka. Sementara di rumah masih ada surat-surat berharga yang belum terselamatkan.
Yuniarti (32) bersama suami, misalnya, masih berupaya kembali ke rumah demi surat nikah yang tertinggal. Mereka yakin barang itu belum larut oleh air karena berada di atas atap rumah. Demi barang itu pula, suaminya rela menyelami air banjir ke wilayah yang lebih rendah.
Seperti Yuniarti, warga lainnya memiliki alasan masing-masing bertahan di sana. Saya menghubungi lurah setempat terkait kondisi tersebut. Lurah kala itu juga mengeluhkan sulitnya membujuk warga untuk mengungsi. Akhirnya opsi itu hanya menjadi imbauan bagi warga yang membutuhkan.
Saya menyaksikan sendiri pengungsian ternyata juga menjadi persoalan pelik. Sebagian warga memilih bertahan di lokasi yang tidak aman, membahayakan diri dan keluarga di tengah genangan banjir. Hal itu akan menjadi pekerjaan tambahan bagi regu penyelamat yang bertugas.
Baca juga : Remasan Sagu dan Mama-mama yang Menghilang
Saya melihat persoalan tersebut mestinya diselesaikan secara utuh. Wilayah bantaran sungai tidak semestinya dipadati permukiman, sedangkan warga pun berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak. Harus ada solusi yang menengahi dua kebutuhan itu.
Malam kian mendekati dini hari saat saya memutuskan kembali ke posko pengungsian. Saya memutuskan kembali ke posko karena ternyata tiada yang mau beranjak dari sana. Meski begitu, saya sudah titipkan pesan kepada lurah bahwa warga di sana kekurangan makanan dan minuman.
Rencana kembali ke posko pengungsian di dekat kantor lurah itu pun masih terhambat arus banjir yang deras. Tinggi genangan kala itu mungkin mencapai 100 cm.
Langkah untuk kembali ke posko ternyata lebih berat. Hal tersebut lantaran saya dan Wahyu harus melawan arus genangan ke arah sebaliknya. Alhasil, saya pulang dengan kaki keram dan badan lemas. Sungguh malam yang melelahkan.