Siksaan Mobil Mogok Saat Liputan Kebakaran Kapal Cilacap
Setelah 30 menit terjebak macet tiba-tiba mesin mobil mati. Panik menyergap lantaran di belakang terdapat ratusan mobil. Saya mencoba tetap tenang sambil mencoba menghidupkan mesin mobil. Berulang kali mencoba dan gagal.
Hari Selasa (3/5/2022) beredar informasi, puluhan kapal nelayan terbakar di kawasan Dermaga Wijayapura, Cilacap. Hari itu bertepatan dengan hari kedua Lebaran. Suasana meriah sukacita hari raya pun seolah terhenti, berganti nestapa dengan terjadinya musibah.
Saya yang semula hendak mempersiapkan diri untuk liputan festival balon udara di Wonosobo, segera berganti haluan dan bersiap menuju Cilacap.
Info kebakaran itu saya peroleh sekitar pukul 18.00. Karena saya berbasis di Purwokerto, untuk berita awalan saya menghubungi sejumlah narasumber terkait di Cilacap.
Salah satunya, Ketua Kelompok Nelayan Pandanarang Teluk Penyu Cilacap yang mengungkapkan ada lebih dari 20 kapal berukuran 30 grosston yang terbakar.
Jumlahnya bahkan bisa mencapai 50 kapal. Kebakaran berawal dari ledakan yang terjadi di sebuah kapal. Api dengan cepat merembet ke kapal-kapal lainnya.
Sembari saya melakukan konfirmasi peristiwa dan mengirim berita pertama, istri menyiapkan pakaian dan perlengkapan yang diperlukan untuk liputan di Cilacap. Akhirnya setelah berita terkirim pukul 19.00, saya segera bersiap untuk berangkat.
Baca juga: Tersentuh Saat Dievakuasi oleh Warga Korban Longsor
Namun, ada satu kekhawatiran saya. Mobil tua milik bapak yang biasa saya gunakan untuk liputan jarak jauh, sedang bermasalah radiatornya. Padahal belum sebulan menjalani service lengkap.
Entah mengapa air pendingin radiatornya dengan cepat menyusut. Seorang teman mengatakan, kondisi itu harus segera dicek ke bengkel karena bisa berbahaya bagi mesin kendaraan.
Namun, belum sempat ke bengkel, saya sudah harus berangkat ke Cilacap. Saya yang tidak paham permesinan, hanya terpikir bagaimana caranya agar persediaan air pendingin radiator cukup.
Cadangan di jeriken tinggal beberapa milliliter saja. Mau beli ke toko atau bengkel, tidak memungkinkan karena hari sudah petang. Apalagi ini masih Lebaran hari kedua, toko dan bengkel rata-rata belum buka.
Saya pun segera berkeliling ke tetangga untuk meminjam air radiator. Seandainya nanti di tengah perjalanan, air radiator benar-benar surut, saya bisa segera mengisinya ulang. Yang penting, saya bisa sampai dulu ke Cilacap.
Sebenarnya ada opsi lain untuk ke Cilacap, yakni dengan sepeda motor. Namun, opsi itu tidak saya ambil karena hari sudah malam dan kondisi cuaca sedang tidak menentu. Syukurlah, akhirnya saya bisa mendapat pinjaman air pendingin radiator.
Baca juga: Kiat Wartawan Liburan
Saya pun segera tancap gas ke Cilacap. Lalu lintas saya perkirakan ramai tetapi lancar karena sudah masuk Lebaran hari kedua. Akan tetapi dugaan saya keliru. Baru saja menuruni jalan alternatif di Gunung Tugel, Banyumas, antrean kendaraan telah mengular sepanjang 500 meter sebelum lampu merah.
Wah, ternyata macet parah, sama seperti visual yang ditunjukkan Google Maps yang saya cek. Jalur tampak memerah ke arah Patikraja sepanjang 5 kilometer hingga sekitar Bendung Gerak Serayu.
Di saat terjebak macet itu, saya mencoba memberikan foto terkini ke grup Whatsapp Polresta Banyumas. Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Banyumas Komisaris Ari Prayitno segera merespons dan membenarkan bahwa jalur itu sedang padat. Petugas sudah berada di lokasi untuk "mengalirkan" kendaraan.
Baca juga: Tanyakan pada Petir yang Menyambar
Mobil bergerak perlahan. Setelah 30 menit terjebak macet, tiba-tiba mesin mobil mati. Panik segera menyergap lantaran di belakang saya terdapat ratusan mobil. Saya mencoba tetap tenang sambil mencoba menghidupkan mesin mobil. Berulang kali mencoba dan gagal.
Seorang warga di tepi jalan segera menghampiri dan meminta mobil-mobil di belakang saya untuk mendahului. Setelah sekitar 5 menit memutar kunci kontak setengah paksa, mesin akhirnya menyala kembali.
Perasaan pun sedikit lega. Namun, kemacetan masih terjadi. Akibatnya mobil hanya bisa berjalan perlahan. Rasa khawatir pun kembali menyergap, takut mobil mogok kembali.
Saya sempat terpikir untuk putar balik dan berganti naik sepeda motor. Tetapi saya ragu mobil berhasil sampai rumah. Jangan-jangan malah harus diderek.
Pikiran pun galau. Namun, akhirnya setelah terjebak hampir 1,5 jam di jalur Gunung Tugel-Patikraja-Notog-Rawalo, sampai juga saya di tepian Bendung Gerak Serayu.
Saya berhenti untuk mengecek air radiator. Benar saja, kondisinya sudah surut. Dengan pinjaman air radiator dari tetangga, saya isi radiator sambil menunggu beberapa menit agar mesin mendingin.
Perjalanan berlanjut dan sesampainya di simpang Rawalo, kepadatan kembali terjadi. Untung saja meski padat, lalu lintas relatif lancar meski dari jalur barat ke timur, antrean kendaraan mengular.
Setelah belok kiri meninggalkan jalan nasional menuju ke arah Menganti, Cilacap, jalanan sangat sepi dan lancar. Memasuki gapura selamat datang Cilacap, hujan lebat segera menyambut.
Seolah-olah air ditumpahkan dari langit setelah hampir seminggu tiada hujan. Derasnya bukan main. Air menggenang di sisi kiri jalan yang akan langsung menyemprot apapun di dekatnya saat diterjang kendaraan.
Baca juga: 4 Hari 3 Malam Menyusuri Jalur Tol dan Pantura
Batin saya kembali tidak tenang. Meski tinggal 10 kilometer untuk sampai ke hotel yang saya tuju, kondisi mesin sudah terasa panas sekali. Firasat pun terbukti.
Sekitar 1 kilometer sebelum Tugu Lilin Cilacap, mesin mobil kembali mati. Dengan sisa-sisa dorongan laju mobil, saya segera menepi. Mobil berhasil merapat di sisi kiri jalan.
Di bawah guyuran hujan yang kian lebat, saya berulang kali mencoba menghidupkan mobil dan gagal. Kaca mobil bagian dalam sudah penuh berembun. Penyeka kaca (wiper) tidak menyala. Lampu senja pun mati.
Saya hanya khawatir jika tiba-tiba tertabrak kendaraan lain dari belakang.
Saya hanya khawatir jika tiba-tiba tertabrak kendaraan lain dari belakang. Saat itu, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 22.00. Air radiator ternyata sudah surut kembali. Saya coba mengisinya lagi. Tetapi mesin masih belum mau menyala juga.
Saya mencoba menghubungi beberapa teman wartawan. Namun, hampir tiada respons. Maklum, saat itu sudah malam, masih dalam suasana Hari Raya pula. Saya pun sebenarnya tidak enak hendak mengganggu mereka.
Setelah hampir 30 menit mogok, mesin berhasil menyala kembali. Buru-buru saya pacu mobil menuju hotel. Puji Tuhan, mobil akhirnya tiba di halaman hotel dan masih tersisa satu kamar kosong untuk menginap. Saya segera menaruh barang bawaan dan menghubungi salah satu sahabat yang masih aktif Whatsapp-nya.
Baca juga: Tak Cukup Sepasang Mata
Saya meminta informasi persewaan sepeda motor dan nomor telepon mekanik atau bengkel mobil yang kemungkinan buka esok hari. Berkat kebaikan hati sahabat saya ini, Mas Sandy Riyadi, saya bisa meminjam motornya untuk liputan ke dermaga. Dengan diantar ojek daring, saya meluncur ke rumahnya untuk mengambil motor.
Sayangnya, saya kelupaan membawa jaket. Perjalanan menuju lokasi kebakaran pun berteman angin malam dan angin laut yang terasa sangat dingin.
Sekitar pukul 23.00, api masih tampak berkobar dari kapal-kapal yang terbakar di sekitar dermaga. Sejumlah petugas pemadam kebakaran dan relawan tampak berjibaku memadamkan api. Bau solar menyengat di sepanjang dermaga. Saya langsung memotret dan mencari narasumber yang dapat diwawancarai.
Di lokasi, saya berjumpa dengan Mas Darbe, jurnalis Metro TV yang juga dari Purwokerto. Tidak tampak banyak wartawan karena saat itu masih dalam suasana Hari Raya. Proses liputan pun ditemani hujan gerimis dan jalanan yang becek. Untung saja, di motor Mas Sandy tersimpan jas hujan.
Sayangnya, dalam kondisi begini, tidak mudah untuk mendekati narasumber, seperti relawan atau pemilik kapal yang tertimpa bencana. Mereka tengah kalut menangani bencana atau cemas dibayangi kerugian besar.
Saya pun sempat ditolak ketika hendak mewawancarai pemilik kapal padahal sudah berusaha sehalus mungkin dengan terlebih dahulu menyampaikan ungkapan turut prihatin. Barulah keesokan harinya, setelah situasi cukup terkendali, sang pemilik kapal bersedia diwawancarai.
Baca juga: Yang Menyebalkan Jadi Perempuan Wartawan
Malam itu, setelah cukup mengambil gambar dan wawancara pihak berwenang, pada pukul 23.44 saya meninggalkan lokasi kebakaran. Hujan kian lebat. Saya menepi ke gerai ATM yang cukup aman menaungi guna memasukkan kamera ke dalam tas.
Sesampai di kota, saya mencari pom bensin dan warung untuk membeli makan. Meski sudah sempat makan di rumah sebelum berangkat, udara yang dingin tanpa jaket membuat perut terasa kembung. Saya mengharuskan diri untuk makan demi menjaga kondisi tubuh. Daripada masuk angin.
Sebuah warung nasi goreng tampak masih buka tetapi ternyata sudah habis saat saya hampiri. Saya mencari tempat lain dan menemukan warung sate ayam yang masih buka. Di sanalah, saya memesan makanan untuk dibawa ke hotel.
Setelah mandi dan makan, saya tidur sebentar hingga pukul 04.00, sebelum kemudian menulis hasil liputan dan mengirimkannya pada pukul 06.00.
Selesai dengan urusan berita, saya langsung mengontak beberapa mekanik bengkel. Namun, baru pukul 08.00, saya menerima respons dari salah satu mekanik di Jalan Karimunjawa, Cilacap, yang bersedia menerima service mobil.
Bergegas saya ke lokasi. Puji Tuhan, jarak sekitar 3 kilometer menuju bengkel masih bisa ditempuh mobil rakitan 1995 ini. Mobil lalu ditinggal karena saya harus kembali liputan ke dermaga untuk memperbarui kondisi terkini terkait kebakaran kapal.
Di sana, sejumlah kapal yang terbakar masih berkobar. Usai mewawancarai Kapolda Jawa Tengah yang berkunjung ke lokasi, saya kembali ke hotel. Saya mengetik dan mengirim berita perkembangan kebakaran kapal sambil menunggu kabar dari bengkel. Baru pukul 16.00, datang kabar bahwa mobil sudah siap diambil.
Saya memesan ojek daring untuk pergi ke bengkel. Baru sekitar 45 menit kemudian ada pengemudi yang datang menjemput saya. “Banyak yang libur jadi driver-nya jarang,” tutur sang pengemudi.
Di bengkel mobil, mekanik memberi tahu bahwa masalah terletak di radiator yang kemungkinan bocor sehingga harus di-korok atau dibersihkan. Dengan penuh syukur, saya berterima kasih dan membawa mobil itu kembali ke hotel.
Ganti, saya mengembalikan motor pinjaman dari Mas Sandy. Rumahnya tidak jauh, hanya sekitar 1,5 kilometer. Motor diterima sang kakak. Saya menghaturkan terima kasih dan segera memesan ojek online.
Tidak disangka, 3 kali pesan, 3 kali pula gagal, lantaran ketiadaan pengemudi. Dengan sisa-sisa tenaga, akhirnya saya putuskan berjalan kaki untuk kembali ke hotel. Tidak jauh sebenarnya, tapi karena sudah kelelahan, keringat pun mengucur membasahi kaos yang saya kenakan
Setelah istirahat semalaman, hari Kamis pagi saya kembali ke Purwokerto. Kondisi jalanan masih padat tetapi relatif lancar. Mobil pun tidak lagi mogok. Hari Jumat, saya cek kembali radiator mobil.
Ternyata airnya surut tak berbekas. Wah, ini benar-benar serius. Saya mengisi air radiator lagi dan pada Sabtu pagi, mobil saya bawa ke bengkel.
“Ini bisa lama, tidak cukup 1 atau 2 hari. Mungkin bisa seminggu, semoga tidak sampai turun mesin,” kata sang mekanik. Mendengar ucapannya itu, saya hanya pasrah sambil berharap kerusakan tidak memakan biaya yang besar.
Dari pengalaman ini, saya belajar, kesiapan fisik dan perlengkapan liputan, termasuk jaket dan kendaraan, menjadi pendukung penting dalam meliput. Jika satu di antaranya bermasalah, tentu akan mengganggu proses peliputan selanjutnya.
Selama ini, Puji Tuhan, mobil tua milik bapak masih bisa dimanfaatkan untuk liputan ke luar kota, seperti ke Cilacap yang berjarak tempuh 52 kilometer. Bahkan mobil ini juga sering dipakai untuk liputan bersama dengan rekan-rekan wartawan lain hingga ke Dieng yang jaraknya nyaris 100 kilometer. Kini, si mobil butuh rehat dan service yang seperti lumayan besar. Semua memang ada waktunya.