Berguru pada Seorang Loper Buta
Anda mungkin pernah kagum dengan dedikasi seseorang pada pekerjaan. Saya juga pernah menyimpan kekaguman itu untuk seseorang. Bukan pada tokoh ataupun pesohor, melainkan pada seorang loper buta!
Sebagian Anda mungkin pernah kagum dengan dedikasi seseorang pada pekerjaan. Sampai-sampai Anda merasa perlu angkat topi tinggi-tinggi untuknya.
Saya juga pernah menyimpan kekaguman itu untuk seseorang. Bukan pada tokoh ataupun pesohor, melainkan pada seorang loper buta. Ya, buta. Saya bilang begitu karena menurut pria ini, apa yang dia lihat melalui matanya hanyalah berupa bayang-bayang.
Semua ini adalah cerita pertemuan saya dengan Firmansyah (56) yang akrab disapa Anen. Pria dengan gangguan penglihatan ini adalah seorang loper yang rutin menjajakan koran di sekitar Stasiun Gondangdia, Jakarta, sejak 2005.
Kekaguman bermula saat mendapat cerita tentang Anen di media sosial sekitar Oktober 2019 dari seorang pembaca Kompas. Redaksi lantas meminta saya meliput kisah Anen.
Sepulang liputan harian, saya menanyakan informasi tentang Anen kepada para pedagang dan pengojek di Stasiun Gondangdia. Dari situ saya tahu kebiasaan Anen. Ia akan ada di pintu keluar stasiun sejak pukul 06.00 setiap harinya, kecuali hari Minggu.
Pada suatu pagi, saya benar-benar menemuinya. Saya amati kedatangan Anen yang dituntun seorang pengojek yang mangkal di stasiun. Saya lalu minta izin mengikuti kegiatannya seharian.
Baca juga : Kebutaan yang Menguatkan Seorang Loper
Anen mengatur sendiri sebagian surat kabar dan majalah yang dijajakannya. Sebagian lagi dibantu oleh Raky, pengojek yang membantunya hari itu. Saya amati, Anen akan memilah koran dan majalah dengan cara meraba kertasnya. Dia mampu mengenali dan membedakan setiap koran lewat tekstur kertas masing-masing, termasuk koran Kompas.
Namun, dengan kondisi penglihatannya yang terbatas, Anen terkadang dibantu oleh temannya. Misalnya, saat harus memberikan uang kembali kepada pembeli. Sesekali terlihat, pembeli mengikhlaskan uang kembaliannya setelah melihat kondisi Anen.
Biasanya, Anen akan berdagang koran dan majalah hingga sekitar pukul 09.30. Setelah itu, dia harus mengantarkan koran ke sejumlah pelanggan di kawasan Senen, Kramat Raya, dan Kwitang, dengan berjalan kaki. Kadang-kadang ada yang membantu menuntunnya. Tapi lebih sering, ia berjalan sendiri menuju alamat pelanggan.
Setelah semua rutinitas pengantaran hari itu selesai, barulah kami bisa ngobrol santai. Anen lalu bercerita panjang lebar, mulai dari gangguan penglihatan yang dialaminya sejak kecil hingga sulitnya menjajakan koran di masa sekarang.
Baca juga : Dari Susah Sinyal sampai Sandal Tertukar
Semua ceritanya sangat berkesan sekaligus ”menampar”saya. Anen dengan keterbatasannya, tetap giat bekerja demi menghidupi keluarga. Setiap subuh, dia akan berangkat dari Stasiun Depok Lama untuk mengantar koran. Dialah salah satu agen penyambung koran secara langsung kepada pembaca.
”Saya memang punya keterbatasan, tapi saya juga enggak mau minta-minta dan cuma dikasihani. Saya lebih senang kalau jerih payah ini dihargai orang,” kata Anen.
Ungkapan kegigihan itu membuat saya kagum. Saya berpikir, kalau loper saja bisa dengan gigih bekerja meski dalam kondisi penuh keterbatasan, berarti wartawan yang menghimpun informasi untuk surat kabar juga tidak boleh kalah gigihnya. Pertemuan dengan Anen itu terekam baik dalam ingatan dan kemudian menjadi penyemangat saat saya berada di titik terendah.
Baca juga : Lima Jam yang Menentukan Usai Erupsi Semeru
Bertukar kabar
Sesudah pertemuan tahun 2019 itu, saya lumayan aktif bertukar kabar dengan Anen. Namun, karena keterbatasan, dia hanya bisa dihubungi lewat telepon. Saya pun hanya bisa menelepon dirinya pada kesempatan tertentu, misalkan saat Lebaran.
Dalam beberapa kesempatan, saya juga membagikan cerita atau keluh kesah Anen lewat akun Twitter pribadi. Saya sedikit berharap, siapa tahu orang yang membaca cerita saya itu dapat turut membantu Anen.
Memasuki masa pandemi Covid-19, saya kembali menanyakan kabar Anen. Ternyata saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) fase awal di Jakarta, dia sempat tidak bisa mengantar koran.
Mobilitas kereta rel listrik yang dibatasi ketat menjadi kendala utama. Kondisi itu membuatnya sulit bertahan di tengah pandemi.
Saya kembali terhubung dengan Anen, tak lama setelah Pak Jakob Oetama berpulang pada awal September 2020. Saya teringat padanya karena kala itu kami tengah mengumpulkan cerita dari ”wong cilik” tentang kesan mereka terhadap salah seorang pendiri Kompas ini.
Cerita Anen kala itu membuat saya terenyuh. ”Di masa lalu, saya bisa membiayai anak hingga kuliah dan membangun rumah dari berjualan koran. Meski tidak mengenal langsung pendiri Kompas, saya sangat berterima kasih karena koran selalu ada,” ungkapnya. Kisah Anen itu lalu dimuat di halaman satu koran Kompas edisi 11 September 2020.
Baca juga : Detik-detik Mengenang Kerendahhatian
Kesulitan
Hubungan dengan Anen terus berlanjut. Ia kembali menelepon saya Oktober silam dan menceritakan kesulitan ekonomi keluarganya. Saat itu, ia bertanya apakah Kompas memberi paket bantuan sosial untuk loper. Bentuk bantuan apapun ia terima, terutama yang bisa membantunya membeli gawai agar anaknya bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh.
Saya sempat menanyakan bantuan itu pada unit terkait. Sayangnya tidak ada respons. Teman-teman sesama wartawanlah yang kemudian menyarankan saya menggalang donasi secara swadaya untuk Anen.
Terkumpulah sejumlah uang donasi dari rekan-rekan wartawan Kompas. Anen sangat berterima kasih saat menerimanya. Ia berjanji memanfaatkan donasi itu sebaik-baiknya.
Teman-teman sesama wartawanlah yang kemudian menyarankan saya menggalang donasi secara swadaya untuk Anen.
Bantuan dana itu sebenarnya ”tidak seberapa” dibandingkan pengabdian Anen sebagai loper Kompas sejak 1983. Saya sendiri hanya berupaya membantunya sebisa mungkin.
Seandainya suatu saat Anda bertemu Anen di Stasiun Gondangdia, saya sangat berharap Anda dapat turut membantunya. Ungkapan doa pun rasanya pantas diberikan untuk Anen yang telah gigih memperjuangkan hidup di tengah keterbatasan.