Ketika Harus Mengabadikan ”Ajeb-ajeb” di Tengah Lumpur
Tak seorang pun boleh membawa kamera profesional, baik DSLR maupun kamera video. Bersyukur masih diizinkan membawa ponsel. Bisa digunakan untuk memotret penonton yang berjingkrak dan geleng-geleng di tengah lumpur.
Dalam setiap liputan perjalanan, saya selalu membawa dua kamera, yakni kamera DSLR Nikon D300s yang saya miliki sejak tahun 2011 dan kamera ponsel. Meskipun pada praktiknya, saya tidak selalu menenteng keduanya ke lokasi pengambilan gambar.
Misalnya, di acara-acara yang agak santai, saya mengandalkan kamera ponsel. Saya pernah membawa ponsel dengan kamera yang mampu merekam hingga 5 megapiksel. Pada kesempatan lain bebeberapa tahun kemudian, saya membawa kamera berkemampuan 48 megapiksel dengan kamera ganda.
Ada kondisi tertentu ketika tidak memungkinkan membawa kamera DSLR. Ini, misalnya, saya alami ketika meliput Ultra Music Festival yang digelar di Ultra Park, Bayfront Avenue, Singapura, Sabtu dan Minggu (10-11/9/2016).
Selain panitia, tidak seorang pun boleh membawa kamera profesional, baik DSLR maupun kamera video yang biasa digunakan untuk kepentingan televisi. Panitia juga melarang penonton membawa benda-benda keras, seperti botol kaca atau botol berbahan plastik tebal seperti tumbler.
Alasannya sederhana, dalam acara kolosal dengan penonton sampai 20.000 jiwa seperti itu, rentan terjadi kontak fisik sehingga benda-benda keras rawan melukai orang lain.
Bersyukur masih diizinkan membawa ponsel. Maka, saya maksimalkan teknologi dan kemampuan kamera ponsel yang waktu itu mampu merekam gambar dengan resolusi hingga 5 megapiksel. Ini resolusi yang cukup memadai untuk kebutuhan koran.
Baca juga: Piala Thomas Mengingatkanku pada...
Hujan deras yang mengguyur Singapura pada pagi hari menyisakan lumpur dan becek di depan panggung utama Ultra Music Festival. Tetapi ini tak menyurutkan semangat para penyuka musik ”ajeb-ajeb”.
Sejak pukul 09.00, mereka telah berdatangan meskipun acara baru dimulai tiga jam kemudian. Begitu pembawa acara muncul, ribuan penonton langsung maju ke depan panggung utama yang mendadak menjadi penuh sesak. DJ Raiden membuka dengan musik mengentak yang langsung merangsang siapa saja untuk geleng-geleng dan berjingkrak. Segera, lapangan seakan gempa.
Karena habis hujan, saya perbanyak mengambil foto dengan angle bawah (low angle), memanfaatkan genangan untuk mempercantik gambar. Selain itu, saya juga mengajak ngobrol beberapa penonton yang berdandan unik dan menawari mereka untuk difoto. Mereka sangat terbuka diajak bicara. Rata-rata adalah generasi milenial yang memang doyan difoto.
Artinya, sangat penting memahami karakter orang-orang di sekitar ketika hendak mengambil gambar. Sebaiknya, memang jangan terburu-buru memotret sebelum paham lingkungan atau mengenal orang-orang di lokasi.
Yang menantang tentu saja saat pertunjukan di malam hari. Secara visual akan lebih menarik lantaran pendaran cahaya dari panggung dan sekitarnya akan terlihat lebih meriah. Saya berasumsi, beberapa frame gambar di malam hari akan mampu memberi imaji tentang gebyar acara tersebut.
Masalahnya, kamera ponsel saya tidak mampu menutup rana secara cepat dalam keadaan low light atau cahaya remang, selain butuh stabilitas tinggi. Maka, saya bergeser ke tempat yang lebih aman agar tidak begitu terganggu oleh lalu lalang atau penonton yang bergoyang, sembari menunggu betul saat intensitas cahaya meningkat.
Hasilnya, antara lain, seperti pada foto utama dalam tulisan ”Ajeb-ajeb” di Tengah Lumpur (Kompas, 18/9/2016). Banyak pembaca saat itu tidak menduga bahwa foto-foto itu hasil jepretan dengan kamera ponsel. Ini bukti bahwa kesenjangan kamera ponsel dan DSLR atau mirrorless makin tipis atau bahkan tidak ada lagi.
Baca juga: Merasakan Bali nan Sepi di Tengah Erupsi
Tiga tahun kemudian, saya diundang ke Jerman dan berkesempatan mencuri waktu untuk jalan-jalan di Hamburg dan Berlin bersama tiga wartawan lain. Pada suatu malam, ketika hendak jalan-jalan, cuaca kurang mendukung karena gerimis sejak sore. Namun, bagi saya, tidak bisa menunggu lagi karena waktu terbaik adalah saat berada di sana. Maka, rencana jalan-jalan pun tetap kami lakoni.
Mengingat gerimis dan sangat mungkin hujan menderas, saya memilih tidak membawa serta kamera DSLR karena berisiko rusak jika kena air. Lagi pula, kami punya rencana makan malam. Tidak nyaman jika kamera beserta lensa yang beratnya bisa sampai 2 kilogram itu duduk di meja makan.
Saya yakin, kamera ponsel cukup untuk mengabadikan beberapa peristiwa penting dalam perjalanan nanti. Dugaan saya benar, dengan penguasaan teknik seadanya, saya sudah bisa mendapatkan gambar-gambar yang tidak mengecewakan.
Beberapa foto itu bisa dinikmati dalam tulisan ”Singgah: Hamburg-Berlin” (Minggu, 3 November 2019). Tiga dari enam foto dalam tulisan tersebut saya ambil dengan kamera ponsel, termasuk foto Gedung Wali Kota Hamburg atau Rathaus, yang saya potret dengan memanfaatkan air Sungai Alster untuk menciptakan refleksi.
Sebelum memotret di satu tempat tujuan jalan-jalan, yang kita butuhkan adalah googling. Kita perlu mencari referensi visual lokasi tersebut untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan kita hadapi nanti.
Selain itu, kita harus menyiapkan alternatif titik, sudut, atau detail sebagaimana contoh foto dalam hasil pencarian kita. Jika ada foto yang menarik, tiru saja. Tidak berdosa kok meniru angle dan cara memotret. Yang berdosa itu jika kita mencuri foto orang lain.
Baca juga: ”Abang Jago” Membuat Saya Mempertanyakan Pilihan Hidup
Saat berselancar di internet tentang Rathaus, saya menemukan jutaan foto gedung itu dalam beragam waktu, cuaca, dan sudut. Berbekal referensi visual pada mesin pencari, saya bisa berhitung kira-kira visual seperti apa yang akan saya temui. Memungkinkan atau tidak membuat foto dengan hasil yang berbeda dengan yang sudah ada?
Akhirnya, saya menghasilkan beberapa foto yang menarik. Salah satunya seperti yang termuat bersama tulisan.
Dalam teori fotografi, waktu yang paling bagus untuk memotret adalah saat fajar atau senja. Bersyukur jika kita mendapat berkah bisa mengunjungi lokasi itu pada pagi atau senja hari. Kalaupun tidak, jangan lantas tidak memotret.
Sebab, ketika kita berada di lokasi tujuan wisata, waktu terbaik, ya, saat berada di sana. Kalau nunggu senja, bisa jadi ketinggalan rombongan. Menunggu matahari terbit malah bisa ketinggalan pesawat. Kalau memang pengorbanannya sepadan, silakan saja.
Perlu juga diingat, banyak fotografer pemula yang mengabaikan hal-hal kecil tapi prinsip. Salah duanya adalah baterai kosong dan memori penuh. Sebaiknya, sebelum keluar penginapan atau turun mobil untuk memotret, pastikan baterai penuh dan memori kosong. Setidaknya ada cukup kapasitas untuk memotret sesuai kebutuhan.
Baca juga: Menemukan ”Rumus Ajaib” Kemampuan Milenial Beli Rumah
Jika punya waktu cukup luang sebelum perjalanan, tidak rugi untuk mempelajari teknik-teknik dasar fotografi, seperti komposisi, pencahayaan, atau bahkan mengenali karakter kamera. Banyak hasil foto yang tak maksimal lantaran tidak mengenali fitur-fitur penting dalam kameranya, baik DSLR maupun kamera ponsel.
Sebenarnya tidak butuh waktu lama, sejam atau dua jam saja cukup. Yang penting setelah itu perbanyak latihan memotret dalam beragam kondisi. Paling tidak kita sadar bahwa kamera ponsel bukan hanya untuk selfie.
Lensa terbaik adalah yang kita miliki.
Dalam perjalanan, banyak moda transportasi yang bisa dipilih. Mobil, bus, kereta api, kapal laut, atau pesawat. Apa pun jenis kendaraannya, usahakan memilih duduk di dekat jendela. Jika mobil, usahakan duduk di depan di samping sopir. Tujuannya tentu saja agar dapat segera memotret jika ada visual menarik di jalan.
Khusus ketika naik pesawat terbang, pelajari rutenya dan pilihlah kursi agak belakang dekat jendela agar leluasa memotret pemandangan di luar tanpa terganggu sayap. Jika membawa DSLR atau mirrorless, pastikan membawa lensa telezoom. Jika tak punya tak apa, pakai saja lensa yang ada di tas. Lensa terbaik adalah yang kita miliki.
Nah, kita perlu siaga sesaat setelah pesawat lepas landas dan menjelang mendarat. Ini adalah dua kesempatan penting untuk memperoleh pemandangan di bawah yang relatif lebih baik karena pesawat belum terlalu tinggi mengangkasa. Sering kali pula pada saat itu pesawat menikung dan menghasilkan kemiringan dengan sudut pandang yang ideal untuk mengambil gambar.